Menikmati Sajian Bubur Kacang Ijo Chocolato

Perjalananku siang hari ini sungguh terasa gerah. Sudah sekitar sejam aku berada di kendali setir mobil pick up untuk mengangkut hasil pertanian seorang saudagar dan menyebarkannya ke beberapa desa, antar kota dan antar kabupaten.

Advertisement

Kerongkonganku terasa kering. Setiap beberapa menit, aku menyeka peluh yang bercucuran di sekitar wajah. Aku lupa membeli air mineral, sehingga kerongkonganku sekarang terasa terbakar. Untung saja angin yang masuk dari jendela membuat keadaan menjadi agak lumayan. Aku lega pekerjaanku hari ini sudah selesai, jadi aku bisa sedikit bersantai.

Aku menepi di sebuah warung di pinggir jalan raya. Siapa tahu saja ada minuman dingin di sini, yang bisa membuat tubuhku yang terasa lemas karena panas menyengat di puncak musim kemarau ini menjadi segar kembali.

Warung itu ramai, memang persis selalu ramai setiap aku melewatinya. Kebanyakan pelanggan memesan bubur kacang ijo (kacang hijau).— Bubur kacang ijo di warung ini sedikit berbeda dengan kebanyakan bubur kacang ijo yang dijual di warung-warung lainnya. Perbedaan itu terletak pada kuahnya. Kuah bubur kacang ijo yang biasanya berasal dari kuah santan diganti dengan kuah coklat yang menggiurkan. Namanya, bubur kacang ijo chocolato.

Advertisement

Seketika niatku untuk memesan es sirna. “Bubur kacang ijo coklat satu, Bu!”, perintahku kepada Bu Entis. Nama itu aku tahu dari spanduk yang terpampang besar di depan warung ini. Aku juga sesekali mendengar pelanggan memanggilnya ‘Bu En! Bu En!", meskipun aku tahu benar logat orang yang berasal dari sini, tak sepenuhnya sama dengan daerah asal Bu Entis, Sunda.

Suguhan kacang ijo coklat hangat sudah tersedia di hadapanku. Hawa panas siang ini tidak menyurutkan niatku untuk mencicipi kacang ijo hangat ini. Aroma khas coklatnya langsung tercium. Ketika aku menggerakkan sendok terlihat bulir-bulir kacang hijau yang melimpah, siap untuk mengisi perutku.

Advertisement

Kuahnya masih seperti kacang hijau madura kesukaanku, tetap membuat hangat di dada. Kandungan jahe khas kacang hijau madura tidak disingkirkan. Menenangkan serta membuat pikiranku menjadi fresh. Kehangatan, ketenangan dan kesegarannya sangat berbeda ketika merasakan kesegaran dengan meminum es.

Ketika kau meminum es, kau akan mendapat kesegaran pada saat kau meminumnya saja, setelah itu kesegaran tersebut akan segera hilang ketika kau sudah selesai meminumnya. Tetapi bubur kacang ijo ini; hangat, tenang dan segarnya mungkin akan hilang ketika kau sudah sampai di rumah.

Aku melanjutkan melahap bubur kacang ijo tersebut sampai habis.

Aku berniat membungkus beberapa untuk keluarga di rumah. Mereka pasti akan senang ketika merasakan rasa kacang ijo chocolato yang fantastis ini.

“Bungkus dua, Bu!” kataku ketika sudah berada di depan rombong, tempat bu Entis mengaduk dan menyajikan setiap pesanan ke dalam mangkuk.

Bukan menjawab pertanyaanku Bu Entis malah menoleh ke belakang, “Pak apakah bisa dibungkus?” tanya Bu Entis ke suaminya.

Si bapak melihatku. “Untuk dibawa kemana? Seberapa Jauh?”

“Ke rumah, sekitar satu jam perjalanan.” Aku menimpali si bapak.

“Tidak bisa,” sahut si bapak dengan pasti. “Rasanya akan buruk jika dibiarkan selama 30 menit.”

Aku mengurungkan niatku untuk membawakan keluarga di rumah. Ketika aku hendak membayar, aku dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang menyapaku. Ia adalah Niko, saudara jauhku.

“Lagi makan kacang ijo, ya!” sambutnya. “Traktir dong!” Ia meminta. “Sudah lama gak ketemu.”

Niko pernah tinggal dekat denganku, dulu, ketika kami masih remaja. Kami selalu bermain bersama. Dulu kami memang terbiasa saling mentraktir. Tapi aku yang sering mentraktirnya. Jadi, hal traktir-mentraktir adalah hal yang lumrah bagi kami.

Aku gamang ketika hendak memeriksa kantung celana. Pasalnya, seingatku, uang di kantungku hanya tersisa lima puluh ribu.

Aku menengok sekilas, ‘150.000 rupiah’ di tanganku saat itu. Lega…, aku bisa mentraktir Niko dengan tenang. Setelah Niko mengambil makanan yang ia sukai, aku segera membayar karena aku sedang berada dalam tugas. Aku harus mengantar pulang pick up ini ke tuannya.

Bu Entis terlihat bingung. “Kembaliannya masih kurang,” katanya masih sibuk mencari uang kecil.

“Ya udah, aku ambil es ini aja.” Nama es itu adalah es Pacu Tenaga. Aku mendapat dua bungkus sebagai kembalian.

Aku menawarkan ke Niko satu. Ia mengangguk dan aku memberinya.

Aku melangkah ke mobil pick up sambil menyeruput es ini. Es ini ternyata enak juga. Hampir semua di warung itu sepertinya makanan dan minuman yang luar biasa. Tenagaku kembali terpacu. Pantas saja nama minuman tersebut, es Pacu Tenaga. Tubuhku terasa segar dan siap untuk berkendara sepanjang tujuh puluh kilometer.

Aku mengemudikan mobil ini dengan memikirkan sesuatu.—Sesuatu yang masih tertinggal di warung itu. Bukan barang atau uang. Akan tetapi sebuah pertanyaan yang seharusnya aku pertanyakan. “Dari mana pemilik toko yang berasal dari sunda, belajar membuat bubur kacang ijo khas madura?”

Pertanyaan dengan berbagai macam kemungkinan untuk jawabannnya, seperti : Ia belajar dari buku resep, atau ia adalah perantau ulung dan sempat merantau juga ke madura, lalu di sanalah ia mendapat ilmu membuat bubur kacang ijo dan masih banyak kemungkinan lain.

Tetapi dia termasuk visioner karena berani menginovasikan suatu produk menjadi lebih Anti-mainstream. Mungkin ke depannya dia akan berinovasi kembali menggunakan kuah duren, atau hal semacam lainnya yang berbeda dari kebanyakan pedagang biasa.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dari sebuah desa terpencil di pulau yang juga kecil. Pulau Lombok— Pulau dengan level kepedasan paling tinggi dari pada pulau-pulau yang lainnya di Indonesia.