Tak menyangka ternyata menjilat ludah sendiri itu tidak terlalu mengerikan. Aku yang dari dulu selalu bersikukuh tidak mau balikan setelah putus ternyata terpaksa menelan omonganku sendiri. Kadang aku suka melupakan ada yang dinamakan kuasa Tuhan, tidak sulit bagi Sang Pemilik Rasa untuk membolak balikkan hati manusia. Termasuk hatiku yang kadang seperti batu.
Singkat cerita tiga tahun yang lalu aku putus dengan mantanku. Kami putus baik-baik, hanya karena kami tidak mampu menjalani hubungan jarak jauh. Aku di Jogja dan dia harus mengadu nasib dengan kerasnya kehidupan ibu kota. Dua bulan awal semuanya masih terkendali, komunikasi masih baik, dan aku masih bisa menahan segala rindu yang menggebu. Bulan ketiga hingga ketujuh, kami mulai sering berselisih paham. Aku mulai curiga dan dia mulai bosan dengan segala sikap posesifku.
Bulan kedelapan hingga kesembilan, kami mulai berbesar hati untuk beradaptasi. Bulan kesepuluh, aku memilih menyibukkan diri seperti dia yang juga selalu kali sibuk dan di bulan kesepuluh pula kami hampir jarang berkabar, seperti lupa rasanya punya pacar. Bulan kesebelas, kami bertengkar lebih dari biasanya – hingga akhir tepat setahun menjalani LDR kami memutuskan untuk menyudahinya.
"Capek gak sih setiap hari marahan atau setiap hari saling curiga?" katanya suatu hari ketika kami bertengkar hebat
"Capek banget, capek aku nangis setiap hari," kataku masih emosi
"Break aja apa?" suatu kalimat yang selalu aku takutkan
"…." aku diam tak menjawab
"Kasihan aku liat kamu tiap hari uring-uringan, aku pun juga kepikiran kalo kamu malemnya ngambek," dia melanjutkan
" …." aku masih diam
"Kemarin ibu sampai telepon kenapa kamu uring-uringan terus sebulan ini, ibu sampai bertanya apa kita sedang ada masalah," dia masih terus melanjutkan
"Ibu telepon kamu?" akhirnya aku buka suara
"Iya, ibu khawatir sama kamu. Aku juga sangat khawatir," katanya
Malam itu akhirnya aku melepaskan dia, laki-laki yang menemani hari-hari kuliahku selama 4 tahun. Laki-laki yang selalu dianggap menjadi anak sendiri oleh kedua orangtuaku ketika bertandang ke rumah dan laki-laki yang selalu dihubungi oleh adik lelakiku ketika dia butuh teman main PS. Malam itu aku patah hati karena orangtuaku terpaksa melepas salah satu anak kesayangannya.
Awalnya kami masih saling berhubungan, sesekali masih saling bertegur sapa. Hingga akhirnya 6 bulan kemudian aku tak pernah mendengar kabarnya ataupun melihat bayangannya muncul di sosial media. Aku pun tidak berusaha mengirim pesan singkat kepadanya terlebih dahulu atau bertanya kepada kawan dekatnya. Sesekali aku masih melihat dia di beberapa Instagram Story temanku karena mereka tinggal di kota yang sama. Aku pun sesekali ingin mencari tau tentang kabarnya, namun kuurungkan niat tersebut.
Setelah setahun setengah kami putus, aku tak pernah menyapanya sama sekali. Aku hanya mendengar kabar jika dia sedang dekat dengan rekan kerja barunya. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu, aku hanya menyibukkan diri dengan pekerjaan baru dan menyiapkan kepindahanku ke ibu kota.
"Nanti gimana kalo kamu ketemu dia di Jakarta? Nggak mungkin sih kalian nggak saling ketemu, secara kalian masih teman satu angkatan. Sering kan anak-anak masih suka kumpul-kumpul," ujar seorang kawan yang mengantarku ke bandara
"Yasudah berjumpa saja, aku juga udah enggak ada rasa. Lagian aku nggak mau sih balikan sama mantan," ucapku mantap sembari membangun tembok pertahanan yang kuat.
"Jangan mendahului Tuhan kamu," katanya
"Hahaha itu namanya prinsip," ucapku sambil bercanda
Tepat seperti dugaan kawanku, aku ternyata sering berjumpa dengannya. Lebih sering dari yang dia prediksikan. Teman-temanku sering sekali mengadakan acara setiap akhir pekan. Entah sekadar nonton atau makan bersama atau karaoke atau mengunjungi kawan yang baru saja dikaruniai putra atau bahkan liburan bersama di Puncak. Di antara banyak weekend yang kami lalui, aku selalu bertemu dengannya dan sudah mulai biasa dengan kehadirannya sebagai seorang teman.
Tahun ketiga setelah putus, aku merasakan bahwa kami kembali mendekat. Ada saja alasan yang membuat kami bisa bertemu. Aku kembali merasakan kehadirannya yang dulu, seseorang yang bisa kuajak secara tiba-tiba pergi ke mana saja dan dia yang bisa secara mendadak mengajakku mencoba kuliner baru selepas jam kantor usai. Aku menikmati masa-masa itu, meski aku tidak berani berharap lebih. Hingga suatu hari dia mengajakku pulang ke Jogja bersama. Dia kembali bertandang ke rumah seperti dahulu kala, menemui ibu dan bapak.
"Pak, Bu, kalo diizinkan saya ingin sering-sering main ke rumah ini lagi. Kalo saya diperkenankan, bolehkah saya menjadikan putri Bapak dan Ibu sebagai istri saya?" suatu ucapan yang tidak pernah terlintas dalam benakku sama sekali. Dia kembali dan tiba-tiba menyatakan kesiapannya di hadapan kedua orangtuaku.
Hari ini, empat tahun setelah kami putus, kami sudah resmi menjadi suami istri. Memperbaiki segala hal selama setahun terakhir dan saling meyakinkan jika kami bisa terus menjaga serta mendukung hingga hari tua nanti. Kuasa Tuhan memang mahadahsyat, aku memang tak boleh mendahului apa rencana Tuhan. Aku bersyukur karena kali ini aku tak mengedepankan gengsi saat dia memintaku untuk kembali bersama. Aku bersyukur karena menerima ajakannya kala itu :)
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”