Malala Yousafzai dikenal berkat emansipasinya yang tak gentar memperjuangkan hak-hak perempuan dan menghantarkannya menjadi peraih penghargaan nobel termuda pada tahun 2014. Kali ini, kita akan mengangkat isu-isu klasik di Indonesia yang kian lestari berdasarkan pemikirannya yang luar biasa mengenai kesetaraan pendidikan dan gender.
Kesetaraan dan Kelayakan Pendidikan
“One child, one teacher, one pen and one book can change the world. Education is the only solution. Education First.” - I am Malala : The Girl Who Stood Up for Education and was shoot by the Taliban.
Munculnya pemikiran pendidikan bagi perempuan tak terlepas dari keberadaan Taliban di Lembah Swat, tempat tinggalnya. Taliban yang menguasai daerah tersebut melarang anak perempuan untuk memperoleh pendidikan, menghancurkan sekolah-sekolah, dan mendoktrin penduduk agar tidak memberi kebebasan bagi perempuan. Malala yang melihat penderitaan tersebut akhirnya berani menyuarakan protes dan pandangannya mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan di sebuah blog internet dengan nama samaran “Gul Makai”.
Malala bersikeras jikalau semua anak khususnya perempuan harus menerima pendidikan yang layak. Ia menuntut bahwasanya setiap kepala negara harus menyediakan pendidikan yang berkualitas untuk seluruh anak di negerinya. Tak ada pengecualian, siapa pun, dimana pun dan kapanpun.
Kita lihat relevansinya di negeri kita tercinta. Jika negara-negara di dunia sibuk dengan urusan teknologi dan fitur-fitur canggih sementara sampai saat ini kita masih mendapati ketidak konsistenan pemerintah dalam menerapkan pemerataan pendidikan.
Saudara-saudara kita yang ada di desa dan di wilayah terpencil, selalu merasa di-anak tirikan. Banyak di antaranya yang masih harus berjuang untuk pergi ke sekolah. Jumlah sekolah hanya bisa dihitung jari, akses yang kurang memadai, fasilitas yang tidak apik, dan pada akhirnya mereka mengabaikan arti penting sebuah pendidikan. Pemerintah mengklaim telah menyalurkan dana pendidikan dan tenaga pengajar ke wilayah-wilayah terpencil, namun hasilnya lagi-lagi nihil.
Selain itu, kita masih mengalami ketertinggalan mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Contoh sederhana adalah kurikulum pendidikan yang terus berganti, ujian nasional yang dilaksanakan hanya sebatas proyek, dan sertifikasi guru yang seolah-olah hanya formalitas. Dari salah kaprahnya pelaksanakan pendidikan ini, sudah tampak akibatnya banyak wakil rakyat yang tidak bermoral, tawuran pelajar di mana-mana, dan minimnya sikap kritis terhadap isu-isu nasional.
Pendidikan di Indonesia juga memandang adanya klasterisasi dalam hal biaya pendidikan. Kualitasnya juga disesuaikan berdasarkan mahal atau tidaknya biaya SPP dan ada atau tidaknya uang gedung. Meskipun pemerintah menyediakan bantuan beasiswa pendidikan, jutaan anak masih terkurung dalam ketidakadilan mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik.
Terlebih dalam kondisi pandemi ini, pemberian subsidi kuota gratis oleh Kemendikbud kepada peserta didik dan tenaga pengajar menyisakan banyak persoalan seperti proses yang tidak praktis dan rawan penyimpangan. Selain belum merata karena alasan keakurasian data, bantuan kuota internet ini juga dinilai terlambat dan mubazir.
Seharusnya kuota gratis diberikan sejak kegiatan belajar-mengajar di rumah digalakkan saat PSBB diterapkan oleh pemerintah. Selain itu, semestinya pemerintah bukan lagi memikirkan pulsa atau paket data, melainkan device atau gawai untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ). Seperti yang kita tahu, kepemilikan gawai belum merata di seluruh daerah.
Logikanya, bagaimana anak-anak yang tidak memiliki handphone atau komputer bisa menikmati bantuan internet?
Kesetaraan Gender
“In Pakistan when women say they want independence, people think this means we don’t want to obey our fathers, brothers or husbands.” - I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and was shot by the Taliban
Malala berpendapat, ketika perempuan berbicara tentang kebebasan, hal tersebut bukan berarti melawan tradisi, bergaya kebarat-baratan, melawan ajaran islam, ataupun sikap tidak hormat terhadap para lelaki. Melainkan keinginan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, bebas berkarir, dan bebas memperoleh pendidikan. Perempuan, sama seperti laki-laki, juga memiliki hak untuk melakukan apa yang mereka inginkan, memilih apa yang mereka suka dan tidak.
Malala menanggapi doktrin Taliban yang diklaim berdasarkan Al-Qur’an, bahwa meski perempuan merupakan tanggungan laki-laki, meski perempuan bergantung pada laki-laki, bukan berarti perempuan harus menuruti segala perintah kaum adam.
Jangan jadikan kodrat sebagai senjata jitu untuk berlaku tidak adil. Namun yang masih kita temui sekarang, perempuan selalu tampak hidup sebagai manusia tingkat dua. Sangat sulit untuk menghilangkan dominasi patriarki dalam kehidupan di masyarakat. Seperti stigma minoritas pada perempuan dan stereotip yang berujung pada diskriminasi kerja berdasarkan gender.
Selain itu, tenaga kerja perempuan di Indonesia masih menghadapi masalah ketidakadilan dan eksploitasi oleh para pengusaha. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengusaha yang kurang memperhatikan hak tenaga kerja perempuan, seperti hak-hak perlindungan berkaitan dengan kodratnya yaitu hamil, menstruasi, melahirkan dan menyusui yang belum terpenuhi.
Ditambah lagi, tenaga kerja perempuan masih sering mengalami kekerasan berbasis gender, pemberian upah yang rendah, perlakuan yang tidak manusiawi, jam kerja yang tidak menentu, dan lain sebagainya.
Bahkan selama pandemi, kasus kekerasan terhadap perempuan pun kian meningkat. Malangnya, pihak perempuan yang merupakan victim justru selalu menjadi bahan bullying dan menghadapi social judging. Yang paling miris adalah wanita lah tersangka yang paling banyak menghakimi. Padahal kaumnya sendiri, saudara atau temannya sendiri yang menghadapi masalah berkaitan dengan gender, namun bukannya saling support, justru julid adalah hal yang paling menjadi tren.
Refleksi
Ngomong-ngomong tentang pendidikan dan kesetaraan gender, pasti kita bergidik ngeri melihat situasi negeri sendiri. Jelas sudah pendidikan di Indonesia belum terlaksana dengan sempurna. Isu tentang pendidikan berkualitas bagus hanya diperencanaan namun sungguh memilukan dalam praktik nyata.
Sedangkan kasus kesetaraan gender seolah-olah tidak lepas dari kata ‘kodrat’. Perempuan harus stay at home, rising their children. Memang apa salahnya untuk financial independent atau work for a common goal? Seeking knowledge for their own future, is that a sin? Tidak memakai rok atau celana panjang katanya ikut budaya western, memancing hawa nafsu pria, dan hal yang paling memuakkan adalah apabila seorang wanita mengalami pelecehan atau penindasan gender yang harus disalahkan katanya adalah wanita itu sendiri.
Why does it always happen? What's our fault? We all need justice. We all need to encourage equality.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”