Berbicara mengenai kehidupan akhir-akhir ini, terkesan saya adalah goblin yang sudah lama hidup dan berumur ratusan tahun. Tapi, apakah kamu sama seperti saya, yang sering memikirkan hal-hal ‘aneh’ di kehidupan ini? Entah kamu setuju atau tidak, tapi saya sering merasa sepertinya sensitifitas dunia belakangan semakin menjadi. Oh, ralat, bukan dunianya, tapi manusianya.
Buktinya? Saya mengambil salah satu fenomena, yaitu toxic positivity. Mengutip dari utas Dr. Jiemi Ardian sebagai psikiatris, toxic positivity adalah bentuk overgeneralisasi inefektif keadaan bahagia dan optimis dalam semua situasi kehidupan. Tujuannya menyangkal atau meniadakan penderitaan dan emosi dari lawan bicara, dan dengan segera berharap dia menjadi positif.
Di kehidupan yang semakin kompleks, emosi manusia pun sepertinya bermetamorfosis menjadi semakin sensitif. Kini, memiliki pikiran yang positif ternyata tidak melulu baik karena energi positif itu menyimpan sisi gelap tersendiri. Sisi gelap ini dapat dituju tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri kita sendiri. Misalnya, ketika kita menyemangati orang lain yang sedang dalam kesulitan, memberi energi positif yang tidak tepat hanya akan membuatnya semakin down karena merasa tidak dimengerti. Padahal ia hanya ingin didengarkan dan dipahami.
Begitu juga bagi diri kita sendiri, mungkin kita terlalu sering meng-gapapa-kan diri, hingga tanpa sadar kita menampik rasa sakit yang dialami. Penolakan terhadap rasa sakit ini jelas tidak baik. Sama saja dengan tanpa sadar memupuk rasa sakit dan menunggu bom waktu ketika sedih, sakit, kecewa, dan marah ini meledak bermekaran pada waktunya. Jalan terbaik adalah mengakui dan memahami bahwa kita memang tidak baik-baik saja. Kita tidak perlu terburu-buru menghujani diri dengan pikiran dan semangat positif. Justru sikap merasakan dan menerima emosi-emosi negatif ini akan membuat kita lebih jujur menghadapi realita.
Kita dituntut untuk pintar dan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ketika akan menebarkan kata-kata positif dan optimis kepada lawan bicara. Ketika terjadi misinterpretasi antara penerima pesan dan pemberi pesan, hal ini justru akan memperburuk keadaan. Lantas apa yang harus kita lakukan? Ketika niat tulus memberi semangat ternyata tak selalu berjalan mulus. Mari kita cari tahu agar terhindar dari toxic positivity!
Pertama, tergolong toxic positivity ketika kalimat yang dilontarkan ada unsur menyangkal emosi. Unsur menyangkal emosi ini dapat dilihat pada situasi mendorong seseorang untuk terus menerus melihat sisi baik kehidupan, tanpa memberi ruang lawan bicaranya untuk meluapkan apa yang ia rasakan. Sikap mengabaikan emosi dari lawan bicara akan menimbulkan rasa kerdil diri bagi orang yang sedang mengalami kesulitan.
Di satu sisi ia merasa tidak didengar, dan di sisi lain bisa membuatnya merasa bersalah telah merasakan emosi tersebut. Maka, ada baiknya kita berusaha menjadi pendengar yang baik atas keluh kesahnya tanpa terburu-buru menebar semangat positif. Melalui sikap mendengarkan, kita dapat lebih memahami dan bersimpati atas apa yang ia rasakan. Kita juga memberinya ruang untuk merasakan bahwa energi negatif yang ia rasa bukanlah suatu kesalahan. Bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja.
Selanjutnya, mari kita belajar membedakan bentuk kalimat support dan toxic positivity. Contoh-contoh kalimat ini memang tidak selalu bermakna toxic positivity. Kembali lagi, penggunaannya bisa kita sesuaikan dengan keadaan, kondisi, dan dengan orang yang akan kita ajak berbicara. Mungkin untuk teman yang akrab, bentuk kata-kata semangat secara bar-bar dihiasi umpatan adalah bentuk empati dan rasa sayang yang sesungguhnya, ketimbang kalimat formal dan sopan santun sesuai kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya pun merasakan demikian.
Ketika curhat dengan sahabat, bukan untaian sajak manis penuh emoji hati, melainkan kalimat menyerupai absensi penghuni taman safari yang teruji membuat saya tertawa dan legowo diri. Untuk kedepannnya, mari kita lebih mawas diri terhadap kalimat-kalimat berupa “Kamu pasti bisa mengatasinya!”, namun dapat kita coba dengan penyampaian “Hal ini memang sulit. Tapi, kamu sudah melakukan hal-hal yang jauh lebih sulit sebelumnya dan saya percaya pada dirimu.”
Selanjutnya, ungkapan “Just be positive!” dapat diganti dengan “I know there’s a lot that could go wrong. What could go right?” Contoh lain, mengatakan “Berhenti bersikap negatif!” dapat kita utarakan dengan “Tidak apa-apa, memiliki rasa pesimis dalam permasalahan ini adalah hal yang normal.” Dan tentunya, salah satu mantra yang hype di kalangan millenial saat ini adalah “Good vibes only!”, ternyata kini beranjak pergi menjadi “All vibes are welcome here!”
Terakhir, dalam mengutarakan permasalahan tentunya tidak lepas dari kerjasama kedua belah pihak. Baik pendengar maupun pembicara harus dapat menempatkan diri. Jika hanya ingin didengar, sampaikan di awal ‘hanya ingin ngeluarin unek-unek' begitu juga ketika minta saran, “minta saran dong". Atau sebagai pendengar, cari tahu dahulu apakah ia hanya ingin didengar atau sekaligus membutuhkan saran. Menjadi orang yang memiliki masalah dan mencari sosok untuk diajak berbicara tidaklah gampang. Perasaan justru dihakimi dan diremehkan tidak jarang menghantui sebelum mencari tempat bercerita. Tentunya, jangan ditangkis dengan jawaban ‘ngobrol sama Tuhan emang udah paling bener’. Well, argumen itu tidak salah.
Namun, sebagai makhluk sosial dan diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi dan membutuhkan, membenarkan fakta bahwa semangat dari sesama manusia adalah hal yang masih kita butuhkan. Sebaliknya, menjadi orang yang dituju untuk mendengar permasalahan orang lain adalah hal yang sesungguhnya luar biasa. Mengapa tidak? Itu menunjukkan ia yang sedang mengalami kesulitan, mempercayakan ke diri kita untuk menemaninya. Maka, kita tidak boleh serta merta melabel seseorang sebagai orang dengan energi negatif dan tidak boleh pula menilai lawan bicara sebagai toxic positivity terhadap apa-apa yang ia sampaikan.
Hal ini mungkin sekilas terkesan sepele, sebagaimana saya berpandangan seperti itu pada mulanya. Namun, saya sadari bahwa hal ini tidak hanya menyangkut saya pribadi, namun juga perasaan lawan bicara saya kelak. Bahkan saya sempat berpikir, jangan-jangan selama ini saya pernah menjadi seorang toxic positivity atas keadaan orang lain. Saya bukan psikolog, psikiatri atau dokter.
Tulisan ini berangkat dari perasaan pribadi dan pengalaman yang baru-baru ini saya sadari ketika semangat yang saya berikan kepada teman, dijawab dengan, “Ya, kamu enak begitu, nggak ada susah-susahnya hidup’. Padahal saya hanya tidak termasuk golongan orang yang menuliskan kalimat galau di snapgram atau tiba-tiba menghapus foto profil whatsapp dan centang biru. Ada hal-hal yang cukup saya rasakan sendiri dan kemudian disembuhkan sendiri atau pada level lain saya ceritakan pada segelintir orang-orang yang saya sayangi. Oke, cukup.
Jadi, kamu ada cerita apa hari ini?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”