“Kau mau aku menceritakan kisah tentang cinta pertamaku?”
Ia mengangguk.
“Baiklah.”
***
Cinta pertamaku ada banyak. Cinta pertamaku ialah bintang. Cinta pertamaku hujan. Cinta pertamaku laut. Cinta pertamaku hangat. Cinta pertamaku senyap. Cinta pertamaku temaram. Cinta pertamaku kegaduhan otakku. Cinta pertamaku adalah…
“Ish, sebut yang benar!”
“Aku serius!”
Cinta pertamaku bintang. Dialah yang mengenalkanku pada sosok ambisius yang ada pada diriku. Kusebut bintang. Ia sangat jauh. Bagai tak terjangkau olehku. Maka aku ingin pula menjadi seperti dirinya, sejajar dengannya agar ia dapat melihatku yang terus menatapnya tanpa ampun.
Ada seorang anak manusia yang begitu mencintai bintang. Satu bintang yang bersinar paling elok, paling terang dari kawanannya. Setiap malam ia duduk menepi, sendiri, pada malam-malam sunyi hanya demi mencintai bintang. Menatap lekat ke atas langit, penuh percaya diri.
Terkadang suara binatang malam bermain orkes menemaninya. Semilir bayu menusuk-nusuk kulitnya. Namun, ia tak gentar, takkan beranjak dari tempatnya walau malam semakin menua.
Akan tetapi, anak manusia itu patah hati. Bintang yang dicintainya menghilang seiras surya menampakkan wajahnya. Meski esok ia kembali bertandang, tak ditemuinya bintang yang dipuja. Jadilah setiap malam ia duduk menunggu kehadiran sang pujaan hati, enggan melirik benda lain yang tumpah ruah di angkasa raya.
Anak manusia itu ialah aku, yang mencintai bintangnya.
***
Cinta pertamaku hujan. Rintik pertamanya yang meluncur ke bumi dan mengenai tubuhku membuatku jatuh cinta kepadanya. Aku rela sakit, tapi untunglah tubuhku mengerti. Ia punya senjata pamungkas yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Aromanya. Dan itu menenangkanku.
Seorang anak manusia. Berpenyakit. Pluviophile. Atau jangan-jangan ia bukan anak manusia, melainkan kawan dari segerombol hujan yang jatuh ke bumi dan tersesat? Di saat matahari kembali bertugas, aroma hujan sudah meresap ke dalam liang tanah, serta segerombol rintik air pulang ke negeri awan, ia tertinggal.
Maka anak manusia itu bukan main girangnya kala mendung menggelayutkan dirinya pada sang dirgantara, wangi tanah mulai menguap memenuhi rongga paru-parunya, kemudian perlahan gerimis menyapa, si anak manusia bagai bertemu sahabat lamanya. Bersorak, melonjak-lonjak tiada ampun memanggil kawanannya yang lain.
***
Cinta pertamaku laut. Aku mengenalnya melalui pertemuan pertama. Saat itulah aku mulai jatuh cinta kepadanya. Ia mengirimkan ombak untuk bertukar sapa denganku. Membawa segenap hatiku kembali ke pangkuannya, menuju samudra luas, dan kemudian melebur ke dalam tubuhnya.
Seorang anak manusia begitu mencintai laut. Tapi dia jarang bercengkrama dengan kekasihnya. Entah apa alasannya. Laut selalu menanti kedatangan anak manusia itu. Ya, laut tidak bisa terlalu lama memendam rindu. Dilampiaskannya lewat hantaman ombak besar jika rindu merundung. Jadilah perahu-perahu nelayan yang merasakan imbasnya.
***
Cinta pertamaku hangat. Hei, aku tidak punya penjelasan mengapa ia bisa menjadi cinta pertamaku! Yang pasti, aku adalah orang yang dingin. Tidak siapa pun dapat mencairkan hatiku, menghancurkan dinding es yang melapisi diriku. Tapi hangat bisa. Ia menghangatkanku.
Cinta pertamaku senyap. Tidak ada sesiapapun yang kupuja selain senyap. Aku mencintainya karena di sanalah aku menemukan diriku seutuhnya. Aku bebas bergulat dengan diriku. Aku bebas melakukan hal apa pun yang tidak pernah kulakukan saat berada di tengah keramaian. Bahkan aku bisa mendengar suara hatiku ketika senyap, yang kuyakini dia bisu selama ini.
Cinta pertamaku temaram. Apa mungkin aku vampire?
Ada seorang anak manusia yang benci sekali terang. Acapkali cahaya mengintip-intip melalui celah tirai, diusirnya cahaya itu. Dalam temaram ia berisik, namun bersama terang mulutnya tak punya pita suara.
Cinta pertamaku kegaduhan otakku. Tuhan menghadiahkanku imajinasi tak berbatas. Ia tak pernah bisu. Aku diam ia menceracau. Aku terpejam ia berlarian menyulam benang kusut dalam kepala. Hingga lahirlah anak-anak kata yang dapat kau nikmati, salah satunya ini. Beruntunglah.
***
Terakhir.
Ia selalu dapat berkompromi dengan semua kekacauan yang kubuat. Ia yang yakin pada kekuatanku. Ia percaya pada setiap sisiku, gelap dan terang. Ia yang paling mudah memaafkan atas segala kelemahanku. Ia yang tidak akan meninggalkanku meski ditawari seribu satu alasan untuk pergi. Dialah cinta pertamaku.
Seorang anak manusia. Dirinya selalu payah dalam urusan cinta-mencinta. Berbagai macam teori tentang hubungan tercetus rapih keluar dalam sangkar otaknya. Katanya, ia ingin mencintai bagai sepasang merpati, yang meski terbang menembus cakrawala, sayapnya takkan bertenaga tanpa ada labuhan tujuannya, sang kekasih.
Ia ingin mencintai bagai daun yang jatuh, yang tetap tulus untuk terus tumbuh menemani pokok kayu walau senantiasa digugurkannya. Ia jatuh, mati, dan hempas tertiup angin.
Seorang anak manusia yang begitu mendambakan kisah tentang cinta pertama dan terakhir paling menakjubkan melebihi sepasang Remeo dan Juliet, yakni kisah Habibie dan Ainun. Dua raga dalam satu jiwa. Bahwa sejatinya kita semua tidaklah pergi, namun kembali. Kembali pada kekasih kita. Bahwa sejatinya kita semua tengah menunggu. Menunggu untuk datang atau menunggu untuk menyambut.
“Jadi, siapa sebenarnya cinta pertamamu?”
“Semuanya yang kuberitahu kepadamu.”
“Aku yakin semua itu hanyalah analogi. Kau tidak mau menyebutkan siapa saja mereka?”
Aku hanya tertawa.
“Ayolah, terutama yang terakhir."
Aku diam, masih berusaha menyembunyikan.
“Ayolah!”
Sinar mataku mengawang jauh, “Cinta terakhirku. Dan aku masih menunggu untuk menyambutnya yang juga menunggu untuk datang kepadaku.”
***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”