Menghilangkan Stigma Masyarakat Mengenai Gangguan Mental, Yuk Ke Psikolog!

Edukasi terhadap stigma yang selama ini ada di masyarakat


Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu. Kesehatan tak hanya terkait dengan kesehatan fisik semata, namun juga kesehatan mental.


Advertisement

Putri dkk. (2015) mengatakan bahwa kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting bagi manusia sama halnya seperti kesehatan fisik pada umumnya. Dengan sehatnya mental seseorang maka aspek kehidupan yang lain dalam dirinya akan bekerja secara lebih maksimal. Berbagai penelitian memberikan hasil bahwa adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental seseorang, dimana pada individu yang menderita sakit secara fisik menunjukkan adanya masalah psikis hingga gangguan mental. Sebaliknya, individu dengan gangguan mental juga menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya.

Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam kehidupan manusia. Pengenalan konsep sehat dan sakit, baik secara fisik maupun psikis merupakan bagian dari pengenalan manusia terhadap kondisi dirinya dan bagaimana penyesuaiannya dengan lingkungan sekitar (Putri, dkk, 2015). Putri dkk. (2015) juga menjelaskan bahwa kesehatan mental yang baik untuk individu merupakan kondisi dimana individu terbebas dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi dimana individu dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang mungkin ditemui sepanjang hidupnya.

World Health Organization (dalam Putri, dkk, 2015) mengatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya. Namun, masalah gangguan mental di Indonesia masih sangat tinggi prevalensinya. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (dalam Soebiantoro, 2017), tingkat kecenderungan kasus gangguan kesehatan mental (emosional) yang ditunjukkan melalui gejala seperti depresi dan panik/kecemasan adalah sebanyak 6% pada kalangan 15 tahun kea tas (sekitar empat belas juta orang). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Soebiantoro, 2017) juga menjelaskan bahwa kasus gangguan schizophrenia terdapat prevalensi sebanyak 1.7% tiap 1000 penduduk atau sekitar 400000 orang.            

Advertisement

Namun, pada kenyataannya penggunaan layanan kesehatan mental (seperti psikolog dan psikiater) masih terhalang dengan adanya stigma kepada penderita gangguan mental yang datang baik dari individu itu sendiri maupun lingkungan sosial (Soebiantoro, 2017). Manifestasi stigma tersebut terjadi ketika penderita gangguan kesehatan mental dipasung dan diisolasi dari masyarakat sekitar karena rasa malu keluarga. Kementrian Kesehatan (dalam Norjani, 2013) memperkirakan terdapat 18.000 lebih penderita gangguan jiwa dipasung di Sampit, Kalimantan Tengah.


Stigma adalah persepsi negatif yang dikenakan oleh masyarakat dan individu penderita itu sendiri pada penderita gangguan jiwa.  


Advertisement

Salah satunya adalah stigma dari lingkungan keluarga, yaitu rasa malu jika anggotanya yang terkena gangguan mental terlihat masyarakat sekitar. Lestari & Wardhani (dalam Soebiantoro, 2017) menjelaskan bahwa stigma sendiri memiliki dua komponen, yaitu stigma dari publik atau sosial dan stigma dari individu atau pribadi itu sendiri. Stigma dari publik atau lingkungan sosial adalah pandangan dan reaksi negatif yang disematkan lingkungan atau masyarakat pada penderita gangguan jiwa. Sedangkan, stigma individu atau pribadi adalah stigma masyarakat yang diterima dan dimengerti oleh individu penderita yang bisa berakibat pada menurunnya rasa percaya diri dan harga diri (self-esteem & self-worth). Suyani (dalam Soebiantoro, 2017) menjelaskan bahwa di Indonesia, besarnya stigma yang dilabelkan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa masih sangat kuat, sehingga penderita merasa terkucilkan. Stigma yang dilabelkan oleh penderita sendiri membuat individu atau penderita menolak diagnosa gangguan jiwa dan pada akhirnya membuat individu atau penderita menolak pengobatan.


Bagaimana cara menghilangkan stigma tersebut?


Hobson (dalam Soebiantoro, 2017) menekankan bahwa dengan mengedukasi publik mengenai kesehatan mental dan manfaat dari layanan kesehatan mental (psikolog dan psikiater), selain menurunkan stigma, juga dapat meningkatkan kesediaan individu untuk mencari dan menggunakan layanan kesehatan mental (psikolog dan psikiater). Zajonc (dalam Soebiantoro, 2017) menjelaskan untuk meningkatkan konsep positif masyarakat terhadap kesehatan mental dapat melalui perubahan kecenderungan atau sikap dengan cara melakukan pemaparan secara intensif terhadap konsep kesehatan mental. Pemaparan secara berulang-ulang mungkin membuat ketersediaan informasi bertambah dalam pikiran individu sehingga seorang individu merasa suatu stimulus itu familiar dan tidak berbahaya. Misalnya, jika sebuah stimulus itu jika dikaitkan dengan hal-hal di lingkungan secara berulang-ulang tidak menimbulkan sesuatu hal yang membahayakan keselamatan dirinya, maka stimulus itu dianggap tidak berbahaya.

Selain itu, kontak dengan penderita gangguan jiwa (secara tidak langsung) dapat menurunkan pandangan stigma peserta secara signifikan. Dalam kontak sosial, orang lain dapat menerima lebih banyak informasi mengenai kehidupan si penderita gangguan jiwa, sehingga dapat memberi atribusi yang lebih tepat.


Peran Psikolog dalam Mewujudkan Kesehatan Mental


Biasanya ketika seseorang mencari perawatan pada psikolog, mereka mendapatkan terapi. (Hunsley & Lee, 2010). Namun, banyak dari orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanya menggunakan obat. Hal ini didukung oleh Esposito et al. (dalam Hunsley & Lee, 2010) yang melakukan survei telepon untuk  menentukan pola pengobatan depresi di Alberta, Kanada. Mereka menemukan bahwa, diantara sekitar 40% dilaporkan hanya menggunakan obat anti-depresan, dan hanya 14,7% melaporkan menerima layanan psikoterapi. menjelaskan bahwa tingkat kesulitan orang-orang yang terlibat dalam terapi menjadi berkurang.

Sayangnya survey ini juga menunjukkan bahwa banyak dari orang-orang yang membutuhkan layanan tersebut, tidak pernah mencari bantuan dari para psikolog profesional dalam bentuk apapun (Hunsley & Lee, 2010). Padahal terdapat banyak cara untuk mendapatkan perawatan dari para psikolog. Di beberapa Negara, layanan kesehatan mental (psikolog & psikiater) di rumah sakit atau klinik dicangkup oleh sistem perawatan nasional, dan di Negara lainnya, layanan tersebut dicangkup oleh asuransi pribadi. Padahal dengan lebih banyak melakukan perawatan tingkat keberhasilan psikoterapi meningkat dibandingkan menggunakan pengobatan biasa (seperti hanya meminum obat anti-depresan.

Selain itu, sejak awal tahun 1980-an, para peneliti telah melakukan eksperimen dengan kemungkinan memberikan perawatan psikologis melalui komputer (Hunsley & Lee, 2010). Sejumlah data juga menunjukkan bahwa perawatan berbasis komputer memiliki tingkat kemanjuran yang sebanding (Hunsley & Lee, 2010). Salah satunya adalah teleheatlh, perawatannya dapat menggunakan telepon, konferensi video, email dan chatting. Sampai saat ini perawatan yang dilakukan telehealth melibatkan bentuk adaptasi dari CBT (cognitive behavior therapy) (Hunsley & Lee, 2010).  Berdasarkan dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa layanan kesehatan mental merupakan hal yang efektif untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik bagi seseorang, serta kemudahan untuk mengunjungi layanan kesehatan mental juga semakin berkembang. Yakin gamau ke psikolog? Untuk kesehatan mental yang lebih baik kenapa ngak? Yuk ke Psikolog!

 

DAFTAR REFERENSI


  • Hunsley, J. & Lee, C.M. (2010). Clinical psychology. USA: Jay O’Callaghan.

  • Norjani (2013, Mei 20). 18 ribu orang masih dipasung. Antara news. 

  • Putri, A.W. & Wibhawa, B. & Gutama, A.S. (2017). Kesehatan mental masyarakat Indonesia (pengetahuan, dan keterbukaan masyarakat terhadap gangguan kesehatan mental). Jurnal Prosiding, 2(2), 147-300. 

  • Soebiantoro, J. (2017). Pengaruh edukasi kesehatan mental intensif terhadap stigma pada penggunaan layanan kesehatan mental. Jurnal psikologi dan kesehatan mental, 2(1), 1-21. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini