Menghadapi Keputusan Resign Kerja Sama Sulitnya dengan Mencari Pekerjaan Baru

Resign dari pekerjaan pun tak mudah. Bahkan kadangkala itu sama dengan sulitnya melamar kerja.

Di kalangan kaum pekerja kelas bawah dan menengah yang nyaris seluruh waktunya habis untuk berkutat dengan rutinitas kerja, memutuskan untuk resign dari pekerjaan tak ubahnya sebuah ide menikahi seseorang yang belum lama dikenal. Meski sulit tetap saja itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Setelah bekerja bertahun-tahun, menabung sisa-sisa gaji, membangun mimpi kecil, menyandera banyak ego, memutuskan untuk menikah lalu menghidupi keluarga, rasanya bekerja adalah sesuatu yang sama wajibnya dengan kemampuan renang di dalam regu tentara angkatan laut.

            

Tak ada alasan untuk tak bekerja. Tak ada banyak waktu untuk berleha-leha. Apalagi sampai memutuskan untuk berhenti dari perkerjaan. Itu adalah kiamat kecil bagi keluarga. Resign dari pekerjaan tak ubahnya pisau dengan mata bercabang-cabang. Ada sisi di mana keputusan itu akan membuat orang lain memandang curiga, ada kekhawatiran tentang gambaran dunia kerja yang baru jika memang sudah ditemukan sebelumnya, atau ketakutan kalau-kalau setelah resign justru sulit menemukan pekerjaan dan tujuan selanjutnya. Di sisi lain juga tergores jelas bayangan wajah istri dan anak-anak karena ketidakjelasan situasi.

Advertisement

Resign dari pekerjaan sampai kapan pun akan tetap jadi sesuatu yang tak mudah. Beberapa orang bahkan menjelaskan betapa itulah situasi yang sama sulitnya dengan mencari-cari pekerjaan. Cerita dimulai dengan memikirkan langkah berikut apabila harus resign. Berpindah lagi pada tahap mencermati situasi di luar dan peluang-peluang apa saja yang bisa dimenangkan. Meyakinkan keluarga yang bisa saja hal ini menjadi bagian tersulit karena harus melibatkan sangat banyak emosi antara pasangan jika memang sudah berumah tangga, atau juga perdebatan dengan orang tua dan diri sendiri bagi yang masih lajang. Menyiapkan hal-hal yang diperlukan jika diri sendiri dan semua telah sepakat. Dan terakhir, yang kadang-kadang justru dilakukan paling pertama, adalah meminta izin atasan. Dalam banyak kasus di dunia kerja tak jarang ditemukan kisah-kisah pekerja yang batal resign gara-gara tertahan oleh atasan maupun bos dikarenakan alasan yang masih dianggap sepele padahal semuanya tak semudah itu. Bos ngotot untuk menahan bawahannya pergi meski tahu itu kurang elok untuk mempertahankan seseorang.

Saat seseorang memilih resign dari pekerjaannya ia juga sekaligus menghadapi dunia baru yang hanya bisa ia kenali dengan tebakan-tebakan konyolnya sendiri. Dunia kerja baru yang tak akan memperlakukannya sama seperti sebelumnya, dunia kerja yang mungkin saja akan lebih menyulitkan dan memaksanya untuk bekerja keras dari biasanya. Atau tentang bayang-bayang keharmonisan keluarga yang menurun semenjak di tempat baru. Silang-menyilang pikiran yang acapkali menjurus kepada prasangka itulah yang harus diusir demi memuluskan langkah ke depan. Di titik inilah resign tampak sama tidak menyenangkannya dengan pergulatan mencari kerja di tengah stigma buruk masyarakat terhadap seorang penggangguran.

Jika resign dirasa sebagai jalan keluar dari segala keresahan akan dunia kerja maka tak ada yang salah untuk melakukannya. Toh memaksa bekerja tanpa berkalang rasa nyaman adalah upaya pengrusakan terselubung yang sekali pun tak melanggar hukum tetapi paling tidak itu akan mematikan produktivitas kerja yang terbangun sejak lama. Selain satu pertimbangan, keputusan resign juga patut dilakukan dengan mencermati hal-hal lain yang saling mengait.

Advertisement

Dan sekali pun tak akan mudah, resign adalah warna yang tak bisa ditolak canvas. Ia adalah tinta yang lama didiamkan dan menunggu digoreskan. Setelah semua tergambar seseorang hanya perlu berdiri dan tetap berjalan. Kehidupan memiliki banyak gerbangnya. Dari mana kau akan memasukinya itu tergantung diri sendiri. Keputusan resign boleh jadi akan mematahkan ranting-ranting fokus, tapi dari situ akan menumbuhkan pohon-pohon harapan. Dunia di luar sedang menunggumu. Kau akan menyadari resign memang tak akan mudah. Kau boleh membayangkan setiap kucuran keringat yang keluar di banyak tempat kala kau melamar sebuah pekerjaan untuk meredam kuatnya niat untuk mundur dari pekerjaan. Tapi dengan dunia luar yang menantimu, jika bukan kau yang mencarinya sungguh kecil kemungkinan ia yang akan menemukanmu.

Bagaimana pun ketakutan tetaplah ketakutan. Ada yang mati karena ketakutan-ketakutannya sendiri. Ketakutan tak akan mendorong seseorang pada langkah besar, melainkan mendekatkan pada kematian. Meski berat, nyatanya resign tak pernah sepahit kebangkrutan. Dan tak kunjung meraih pekerjaan baru bukanlah sesuatu yang sama buruknya dengan menghadapi regu tembak karena sebuah kejahatan. Kau adalah tuan atas dirimu sendiri. Kau tahu mana yang berat saat dipikul dan mana pula yang ringan untuk dibawa berlari. Kalah dalam perang lalu mati terbunuh akan jauh lebih mulia daripada berkurung dalam ketakutan tetapi akhirnya terbunuh juga.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini