Ketika berada di kelas paling senior di sekolah, itu adalah saatnya memasuki musim ujian yang tiada hentinya. Sejak awal masuk di semester pertama, semua murid sudah diingatkan oleh wali kelas dan guru-guru lainnya bahwa tinggal sebentar lagi berada di sekolah ini jadi saatnya memperbaiki nilai-nilai yang jelek, mengurangi malas, dan dilarang membolos.
Intinya adalah masa pertobatan akan segera dimulai. Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh wali kelas dan guru-guru tersebut seakan-akan menjadi sebuah ultimatum bahwa menjadi murid yang berada di kelas tertua di sekolah adalah merupakan beban sekaligus cobaan. Walaupun pada kenyataannya teori seringkali jauh berbeda dengan praktik. Masih banyak juga murid-murid yang masa bodo. Iya nggak?
Saat SMP dan SMA saya masuk di sekolah yang termasuk sekolah favorit di daerah saya. Saya bersekolah di sana karena dari segi jarak memang dekat dengan rumah. Kalau dari segi kecerdasan saya termasuk anak dengan kemampuan rata-rata. Aman lah ya. Menginjak kelas 3 SMP, saya sedikit kaget. Teman-teman saya sering sekali ngobrolin tentang bimbel (bimbingan belajar).
Tak sedikit juga yang menjadi agen bimbel dengan membagi-bagikan brosur ke teman-temannya. Katanya sih kalau berhasil mengajak minimal satu orang untuk ikut bimbel tersebut bisa dapat komisi atau dapat diskon pembayaran. Pintar juga tuh strategi marketing bimbel.
Obrolan-obrolan tentang bimbel di sekolah saya sampaikan kepada orang tua saya. Jawabannya sesuai dengan prediksi. Ibu saya bilang, “Bimbel itu mahal nok, lebih baik uangnya buat kebutuhan yang lain. Tanpa ikut bimbel kamu bisa kok asalkan belajar dengan sungguh-sungguh”. Mendengar jawaban tersebut mau tidak mau saya hanya bisa diam dan mengangguk.
Hal yang serupa terjadi juga ketika saya memasuki kelas 3 SMA. Seperti merasakan dejavu, mayoritas teman-teman saya sibuk cari info tentang bimbel yang bagus. Kebanyakan yang bagus itu pasti mahal. Kalau dihitung bisa sampai antara 3-6 juta per tahun. Tergantung mau ambil paket yang mana. Wah lumayan juga ya.
Sebagai kaum minoritas yang tidak ikut bimbel, saya sering mengamati teman-teman saya yang ikut bimbel. Ada yang memang tergolong pintar dan mampu, ada yang dipaksa orang tuanya ikut bimbel, dan tak sedikit yang ikut-ikutan temannya doang. Bimbel memang terkenal punya cara-cara cepat atau mudah dipahami daripada pelajaran yang disampaikan di sekolah. Bimbel juga menyediakan latihan-latihan soal yang hampir mirip dengan soal ujian. Nggak heran kalau saat mendekati masa-masa Ujian Nasional, kebanyakan teman-teman saya yang sering bolos ikut bimbel jadi rajin banget tuh berangkat. Tujuannya ya memang agar mendapat soal prediksi ujian dan jawaban yang mutahir.
Menjadi murid yang tidak ikut bimbel membuat saya dan teman-teman saya yang bernasib sama merasa ngenes. Di saat teman-teman yang ikut bimbel saling berbagi soal latihan ujian beserta jawabannya, kami hanya bisa menatap sambil nguping. Sempat saya tanya dengan salah satu teman saya yang ikut bimbel tentang soal-soal latihannya.
Akan tetapi, dia menjawab seadanya tanpa menjelaskan secara detail. Mungkin dalam hatinya dia bergumam, “Enak saja tanya-tanya, makanya belajar dong di bimbel”. Jiaann, medite (pelitnya). Sejak saat itu, saya merasa sungkan untuk bertanya. Lebih baik belajar semampunya. Seringkali juga saya melihat teman-teman saya yang ikut bimbel X berkumpul dengan teman saya yang lain yang ikut bimbel Y. Mereka saling bertukar informasi tentang soal dan jawaban yang kemungkinan akan keluar di soal ujian sesuai dengan prediksi dari masing-masing bimbel yang mereka ikuti. Tambah ngenes kan?
Setelah hasil ujian keluar, kebanyakan anak bimbel mendapatkan nilai yang bervariasi. Ada yang mendapat nilai memuaskan, ada yang rata-rata, dan ada juga yang mendapat nilai jelek. Semua tergantung dari niat atau tidaknya dia belajar. Ketika anak yang tidak ikut bimbel mendapatkan nilai yang lebih baik daripada anak yang ikut bimbel, itu menjadi sebuah kebanggan tersendiri. Itulah yang saya rasakan. Kengenesan yang saya rasakan karena tidak ikut bimbel berubah menjadi suatu anugerah. Bisa mencapai nilai yang sesuai keinginan adalah sebuah karunia.
Keefektifan belajar di bimbel memang pada kenyataannya kembali lagi pada kemampuan individu masing-masing. Ada yang tambah pintar, ada yang biasa saja tanpa peningkatan, dan ada juga yang mendapat hasil buruk walaupun sudah ikut bimbel. Begitupun bagi anak yang tidak ikut bimbel. Kalau memang punya niat untuk belajar sungguh-sungguh dengan cara yang baik, tanpa ikut bimbel apapun nantinya akan mendapatkan hasil yang baik pula.
Percuma juga dong kalau sudah ikut bimbel mahal-mahal, tapi gak niat belajar dan cuman gaya-gayaan doang. Tidak ada anak yang tiba-tiba pintar. Semua pasti ada prosesnya. Proses tersebut dinamakan belajar. Mau ikut bimbel atau tidak, itu pilihan masing-masing.
Yang terpenting adalah jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan. Kalau masih ada kesempatan dan mampu untuk ikut bimbel, lakukan dengan baik. Bagi yang tidak mempunyai kesempatan itu, yakinlah bahwa setiap orang pasti punya jalan untuk meraih suksesnya sendiri. Good luck!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”