Perkembangan media sosial, semakin lama semakin berkembang pesat. Mengingat saat ini peran teknologi sudah sangat melekat dengan kehidupan manusia, yang awalnya hanya berkirim kabar melalui surat menyurat, kini kita bisa dapat saling memberi kabar kepada siapapun, kapanpun dan di manapun dengan mudah menggunakan media sosial sebagai perantara.
Seperti yang kita ketahui, pada saat ini terdapat sebuah aplikasi yang sedang populer dikalangan remaja yaitu aplikasi bernama Tiktok. Tiktok adalah sebuah jejaring sosial dan platform video musik asal Tiongkok yang diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao. Aplikasi tersebut memberikan fasilitas bagi para pengguna untuk dapat membuat kreasi video musik mereka sendiri.
Aplikasi populer seperti ini tentunya pasti memiliki dampak positif dan negatif. Di mana dengan adanya konten-konten negatif ini secara tidak langsung tentu saja dapat membahayakan perkembangan mental penggunanya, apalagi rata-rata pengguna sosmed di Indonesia sendiri ialah anak remaja yang masih berusia di bawah 18 tahun yang belum stabil akan pendirian maupun pemikirannya.
Masa remaja ialah masa perkembangan yang akan dilewati oleh setiap individu. Sedangkan masa perkembangan remaja ialah masa di mana seorang individu mencapai kematangan baik itu secara mental, emosional, sosial, dan fisik juga merupakan periode perkembangan individu pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa.
Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik antara satu dengan yang lainnya. Perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis serta kehidupan sosial, pastilah akan mendatangkan berbagai persoalan dan tantangan.
Salah satu fenomena yang terjadi di kalangan remaja saat ini ialah dimana banyaknya kasus remaja yang mengalami depresi bahkan sampai mengakhiri hidup akibat dari tekanan mental serta emosional yang dialaminya, yang salah satunya berasal dari serangan verbal para pengguna sosmed atau yang biasa disebut dengan netizen. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini dapat ditinjau dari salah satu teori Walter Mischel yang menjelaskan mengenai delayed gratification dan instant gratification.
Delayed gratification adalah kemampuan menahan diri untuk mendapatkan imbalan atau kepuasan yang seharusnya didapatkan sekarang agar bisa mendapatkan sesuatu yang lebih besar nantinya.
Pada tahun 1960-an, Walter Mischel, seorang professor dari Stanford University melakukan serangkaian penelitian penting soal pemenuhan kepuasan. Dalam penelitian ini, Mischel mengajak ratusan anak-anak berumur 4-5 tahun ke dalam sebuah ruangan satu per satu. Dalam ruangan tersebut, Mischel menaruh satu buah marshmallow di atas meja dan membuat kesepakatan dengan anak tersebut.
Apabila anak tersebut tidak makan marshmallow itu selama ia pergi, maka Mischel akan memberikan satu buah marshmallow lagi sebagai hadiah. Hasilnya seperti yang diduga, hanya sebagian kecil anak yang mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow tersebut.
Penelitian tidak berhenti sampai disitu, penelitian lanjutan kepada anak-anak tersebut yang dilakukan ketika mereka memasuki remaja mengungkapkan fakta menarik. Anak-anak yang mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow memiliki nilai yang lebih tinggi, kecenderungan obesitas yang rendah, dan memiliki social skills yang lebih baik.
Beberapa puluh tahun kemudian, penelitian lanjutan kembali diadakan. Hasilnya juga semakin menarik. Ternyata, anak-anak yang mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow lebih sukses daripada anak-anak yang lain.
Lalu apa hubungan teori ini dengan fenomena remaja saat ini? Ya, tentu saja hal ini sangat berkaitan dengan perilaku remaja saat ini yang sangat tidak sabaran, semuanya ingin dicapai secara instan tanpa memperdulikan jalur yang ia lewati, apakah dengan cara yang benar ataupun cara yang salah.
Hal inilah yang dinamakan dengan instant gratification, di mana segala sesuatu ingin didapatkan secara praktis. Seperti kebanyakan kasus pada pengguna aplikasi Tiktok, mereka tidak memikirkan secara matang akan efek samping yang akan dialami ketika mengupload sesuatu di aplikasi tersebut.
Asalkan bisa terkenal cepat dengan hanya tampil kece, lucu, bahkan kontroversial tanpa adanya bakat atau skill yang benar-benar bagus pun mereka rela melakukan itu semua demi kepuasan dirinya.
Padahal, hal itu sangatlah berbahaya bagi mereka. Seperti kasus yang menimpa salah satu Tiktoker yang sedang booming bernama Batsy Smokes, seorang wanita yang membuat video kontroversial mengenai rasisme, yang mengakibatkan dirinya di-bully habis-habisan oleh pengguna media sosial di seluruh indonesia hingga membuat dirinya menjadi trauma dan menonaktifkan akun Tiktoknya.
Seperti yang kita ketahui, masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, dalam hal ini terdapat perkembangan baik itu secara fisik maupun mental. Yang seharusnya masa remaja itu dipakai untuk melatih emosional dan mental seorang individu agar mengarah ke hal-hal yang positif, tetapi malah menjadi tekanan yang ujung-ujungnya akan membahayakan dirinya sendiri akibat dari instant gratification tadi.
Inilah salah satu alasan mengapa remaja pada zaman modern saat ini sangat mudah terserang penyakit mental yang salah satunya adalah depresi. Hal ini juga yang menjadikan alasan pentingnya seorang individu untuk menguasai delayed gratification, tujuannya ialah agar individu tersebut dapat menikmati serta menghargai yang namanya proses untuk dapat berkembang dan menjadi pribadi yang kuat serta dapat berpikir jernih dan lebih matang dalam mengambil sebuah keputusan. Semoga bermanfaat!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”