Mengenal Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online. Aktivitas di Rumah Saja Belum Tentu Bebas dari Pelecehan

kekerasan berbasis gender online

Di tengah era pandemi COVID-19, banyak kegiatan yang dilakukan secara daring. Selama pandemi ini, banyak orang yang mengira bahwa kasus pelecehan berkurang sejalan dengan berkurangnya interaksi langsung antarindividu. Namun kenyataannya tidak demikian. Seperti yang disampaikan oleh Tuani Marpaung, Staf Pelayanan LBH APIK Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), terhitung sejak 16 Maret 2020-November 2020 telah menerima 710 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus nomor dua tertinggi yaitu kekerasan berbasis gender online sebanyak 196 kasus. Luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial, telah menghadirkan bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender.

 

Advertisement

Awas KBGO!

Kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah salah satu tindakan kekerasan yang bertujuan untuk melecehkan korban berdasarkan gender yang terjadi secara online. Sepanjang 2017, setidaknya ada delapan bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

 

Advertisement

Kasus KBGO


“Salah sendiri ngirim pap T*”

Advertisement

“Kalo ga mau disebar ya jangan difoto”


Menurut Kalis Mardiasih, seorang penulis sekaligus pejuang kesetaraan gender, pernyataan tersebut datang dari doktrinasi bahwa perempuan adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga moralnya. Apapun asumsinya, korban tetaplah korban. Kita tidak memiliki hak untuk menghakimi moralnya sebab yang bertanggung jawab atas hidup seseorang adalah dirinya sendiri, bukan orang lain, bukan kita.

Contoh lain dari kasus KBGO yaitu peristiwa yang menimpa artis berinisial GA beberapa waktu lalu. Video dewasa mirip artis tersebut tersebar di internet dan menjadi topik yang ramai dibicarakan warganet. Kasus tersebut merupakan contoh bentuk konten ilegal dan pelanggaran privasi karena video tersebut disebarkan tanpa adanya izin dari pemilik video. Terlepas dari siapapun orang dalam video dewasa tersebut, penyebaran konten dewasa non-konsensual adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, kasus-kasus pelecehan juga kerap terjadi di media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Kasus yang terjadi di media sosial contohnya dari 'terapis psikologis'. Pelaku yang mengaku sebagai psikolog ini menjalankan modusnya untuk berhubungan badan dengan beberapa wanita melalui sesi 'terapi'.  Setelah ditelusuri lebih lanjut, pelaku tersebut tidak terdaftar sebagai psikolog di HIMPSI. Sungguh modus berkedok terapi psikologi ini sangat merugikan korban. Korban yang membutuhkan terapi untuk kesehatan mentalnya justru harus dihadapkan dengan pengalaman traumatis yang memperburuk keadaannya.

Pelecehan juga bisa menimpa siapapun di media sosial manapun. Seringkali kita melihat komentar di media sosial yang bernada melecehkan. Banyak pula orang tak dikenal di internet yang tiba-tiba mengirim pesan yang bernada melecehkan, bahkan mengirimkan foto dan link tidak senonoh ke orang lain. 

 

Korban Harus Bagaimana?

Luna, bukan nama sebenarnya, merupakan salah satu penyintas KBGO. Saat dihubungi via Line messenger, Selasa (8/12/2020), Luna bersedia membagikan kisah yang dialaminya tersebut.

“Kalo itu (trauma) sih pasti ada, tapi yang paling aku rasain itu kepercayaan diri aku makin menurun, aku jadi takut buat bersosialisasi dan ketemu orang banyak,” ujar Luna.

Saat Luna bercerita kepada orang terdekatnya, mereka justru malah menyalahkan Luna. Hal ini lah yang membuat Luna enggan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Di samping prosesnya yang rumit, Luna pun merasa payung hukum belum berpihak pada korban. Masih ada kecenderungan terjadi victim blaming saat penanganan kasus seperti yang Luna alami.

Jika kamu menjadi korban, hal-hal yang harus kamu lakukan:

1. Jangan hapus bukti ancaman

Biasanya, tindakan penyebaran konten dewasa diawali dengan ancaman kepada korban. Segera simpan bukti ancaman tersebut. Selain jangan dihapus, bisa didokumentasikan dalam bentuk screenshot.

2. Simpan bukti konten yang disebar pelaku

Tujuan pelaku menyebarkan konten dewasa korban adalah untuk menakut-nakuti korban sampai menuruti kemauannya. Oleh karena itu, penyebaran konten oleh pelaku biasanya tidak dilakukan diam-diam tapi akan dipamerkan ke korban. Bila hal tersebut terjadi, lakukan dokumentasi dengan memberi detail kejadian, screenshot unggahan tersebut, dan simpan tautan dari unggahan tersebut.

3. Laporkan

Setelah melakukan dokumentasi bukti, laporkan postingan konten tersebut pada platform atau aplikasi yang digunakan.

4. Cari bantuan

Jika kamu merasa kebingungan untuk menjalankan langkah-langkah di atas, silahkan cari bantuan atau bisa melapor ke Komnas Perempuan agar dapat dirujuk pada kanal-kanal bantuan yang tepat.

 

Stop di Kamu!

Bila kamu menemukan konten di media sosial yang mengandung pelecehan, jangan di-share atau di-posting ulang. Kamu bisa memilih untuk langsung me-report akun tersebut. Konten itu harus stop di kamu. Jika kamu ikut menyebarkan maka itu membuat kamu menjadi pelaku yang akan menambah trauma pada korban. Apalagi jika konten tersebut memuat identitas korban. Jejak digital itu abadi, jadi lah warganet yang bijak.

 

Siapapun Bisa Jadi Korban

Semua orang berpotensi menjadi korban, baik pria maupun wanita, dari anak-anak hingga orang dewasa, baik yang pakaiannya tertutup maupun terbuka. Selain melindungi diri dengan meningkatkan keamanan akun media sosial, kita juga harus menghapuskan mindset rape culture dari dalam diri kita. Terbukanya kesempatan dan kemudahan akses internet tidak lantas membuat kita boleh melecehkan orang lain. Setiap orang memang memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya ataupun berkomentar di media sosial sebab akunmu adalah otoritasmu. Namun perlu diingat bahwa jangan sampai kita melanggar hak orang lain karena orang lain juga memiliki otoritas yang harus kita hargai. Rasa kepuasan hati dari satu komentar jahatmu tidak akan pernah sebanding dengan dampak psikologis yang orang lain rasakan.

Penulis : Cinansa Muthia Dewani, Balqist Kharisma Nayu, M. Riyanton

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswi Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman