Ageisme merupakan salah satu jenis diskriminasi yang melibatkan stereotip atau prasangka buruk terhadap seseorang berdasarkan usia mereka. Istilah Ageisme pertama kali dicetuskan oleh seorang ahli  gerontologi, Robert Neil Butler pada tahun 1968. Ia mengambarkan Ageisme sebagai bentuk diskriminasi terhadap orang tua dan menyamaratakan masalah ini dengan bentuk diskriminasi lainnya seperti Rasisme dan Seksisme.
Akan tetapi berbeda dengan Rasisme dan Seksisme yang hanya menyerang suatu golongan tertentu, Ageisme ini sifatnya general dan dapat terjadi kepada siapapun bukan hanya merujuk kepada orang yang berusia senja saja, namun diskriminasi ini berlaku pada semua golongan usia termasuk anak-anak dan remaja.
Tanpa kita sadari Ageisme ini ibarat sebuah budaya yang sering terjadi di lingkungan kerja, contohnya anggapan orang-orang terhadap karyawan senior yang lanjut usia identik dengan orang tua yang lemah, pikun, dan ketinggalan zaman, akibatnya mereka kesulitan dalam mengembangkan karir dan kesempatan dalam mendapatkan promosi. Sementara bagi karyawan yang usia nya lebih muda sering dianggap kurang berpengalaman dan tidak kompeten sehingga kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Bentuk diskrimnasi ini kemudian menghasilkan ketidaksetaraan pekerja seperti  perlakuan yang tidak adil atau perbedaan gaji yang diberikan. Ageisme ini juga memungkinkan terjadinya kenaikan rasio pensiunan akibat pemberhentian pekerja senior karena faktor usia.
Bentuk Ageisme lainnya yang paling umum adalah persyaratan berupa rentang usia yang diperbolehkan melamar dalam sebuah iklan lowongan kerja, padahal usia tidak mendefinisikan kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Selain itu banyaknya iklan di media sosial yang menggembar-gemborkan obat awet muda atau krim anti keriput membuktikan bahwa masyarakat kita menilai value seseorang lewat usia mereka.
Menurut penelitian yang dilakukan Psikolog Sosial Susan Fiske, ia menjelaskan bahwa kehidupan manula jarang dihormati bahkan sering distigmatisasi baik secara fisik dan mental, lebih banyak Fiske juga mengidentifikasi 3 stereotip yang mendikte bagaimana orang tua seharusnya berperilaku dan juga penyebab munculnya Ageisme ini.
Yang pertama berkaitan dengan pekerjaan dan karir, orang yang lebih muda beranggapan bahwa pekerja lansia harus segera menyingkir dari pekerjaan mereka karena telah mendapatkan giliran lebih awal. Semakin cepat mereka pensiun, semakin lebar pula jalan bagi orang yang lebih muda untuk menggantikan.
Yang kedua adalah gagasan bahwa orang yang paruh baya harus berperilaku dan berpenampilan sesuai usia mereka atau dalam kata lain tidak diperbolehkan mencuri identitas orang yang lebih muda.
Yang ketiga Fiske percaya akan ada persaingan antara orang yang lebih muda dan manula dalam mendapatkan fasilitas. Program publik seperti perawatan medis dan jaminan sosial akan terkuras karena lebih banyak digunakan oleh lansia, sehingga  mereka yang lebih muda berasumsi bahwa orang tua harus mengalah dalam menggunakan sumber daya yang ada agar tidak mengorbankan masa depan kaum muda di masa yang akan datang. Â
Ageisme adalah masalah yang serius sama seperti diskriminasi ras, gender bahkan disabilitas. Lalu bagimana cara melawan budaya Ageisme? Cara nyata dalam menanggulangi diskriminasi ini adalah dengan membuat kolaborasi antara kaum muda dan lansia dalam sebuah program kampanye Anti-Ageisme sehingga tercipta hubungan harmonis antargenerasi, kampanye tersebut sekaligus menjadi media dalam memberi edukasi dan pemahaman tentang nilai positif dan nilai dari penuaan. Selain itu orang tua juga dapat berpartisipasi dalam pemberdayaan diri mereka sendiri serta menunjukkan bahwa mereka adalah kontributor yang produktif dalam masyarakat.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”