Suatu kali pernah kudengar orang tuaku dan mungkin juga sebagian besar orang tua berkata, Kamu harus nurut sama orang tua kalau nggak mau jadi anak durhaka! Kalimat semacam itu rasanya tidak asing bahkan amat wajar didengar. Janganlah sampai dikutuk seperti Malin Kundang, dicap sebagai anak kurang ajar dan durhaka.
Pertanyaanku, dapatkah orang tua durhaka terhadap anaknya? Apakah benar orang tua adalah sosok yang paling benar sehingga harus dipatuhi setiap saat? Mungkin tulisan ini pula hanya bisa dirasakan oleh kami yang tak pernah mendengar kata maaf dari orang tuanya.
Ketika anak lahir di dunia, orang tua selalu berdoa supaya anaknya  menjadi taat dan membanggakan orang tuanya. Bahkan orang tua sampai lupa untuk berdoa supaya dimampukan menjadi orang tua yang baik dan penuh kasih kepada anaknya. Jelas sudah, kami, para anak telah membawa tuntutan itu sejak lahir. Apakah orang tua juga menerima tuntutan dan tekanan yang sama untuk menghargai sang anak?
Orang Tua Menabur dan Menuai
Apa yang kita tabur maka itulah yang kita tuai nantinya. Hal ini berlaku juga bagi pola didik orang tua kami yang menentukan hasil tuiannya di masa depan, yaitu karakter kami yang terbangun. Psikolog Diana Baumrind (1971, 1991) pernah bilang ihwal pola didik yang katanya terbagi menjadi empat. Ada orang tua yang sangat demokratis, ada pula yang otoriter, ada pula yang abai, dan ada pula yang protektif. Berbagai pola didik itu menghasilkan macam-macam karakter anak.
Suatu kali bila kami tak sadar memiliki karakter yang buruk, maka sebelum menyalahkan perilaku kami, dapatkah orang tua mengintrospeksi diri, Apakah ada yang salah dengan cara didik saya? Sebab, karakter kami mencerminkan karakter orang tua kami. Kami, para anak lebih suka mencontoh orang tua kami dari pada mendengar saja.
Jadi, kami sepenuhnya bersandar pada pola didik orang tua. Tapi kami ingat, memang baik anak maupun orang tua tak pernah ada yang sempurna. Membaca buku parenting dan mempertimbangkan cara didik, merupakan langkah awal yang menentukan tuaian di masa depan, supaya kami dapat menjadi individu baru yang beradab.
Luka karena mereka
Baru-baru ini, telah terdengar istilah toxic parents yang kukira hanya bualan saja. Seorang terapis terkenal bernama Susan Forward (2002) lewat bukunya, memperkenalkanku pada toxic parents yang rupanya adalah jenis orang tua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik. Mereka adalah orang tua yang tidak dapat berkompromi, bertanggung jawab, dan mengucapkan maaf pada anaknya (Forward, 2002). Dari sinilah aku menyadari, sekalipun orang tua tak luput dari kesalahan hingga menimbulkan luka di hati sang anak.
Tentu para anak rindu sekali mendengar apresiasi dari orang tua. Anak ingin orang tua tahu bahwa mereka telah berusaha menjadi anak yang pintar dan berprestasi. Tak jarang, anak malah dibanding-bandingkan dengan anak lain. Ah masih kalah tuh sama anak Bapak itu Seandainya sang anak bisa menjelaskan kerja kerasnya secaran gamblang untuk terlihat sempurna di mata orang tua. Namun, anak terlanjur ciut karna harus dibandingkan dengan anak lain, sehingga malu dan tidak percaya diri untuk menunjukkan kebisaannya.
Mengungkit biaya hidup anak yang tidak murah, uang sekolah yang mahal, belum lagi dana darurat sewaktu anak sakit. Tapi apakah orang tua harus mengungkit semua hal yang sudah diperbuat untuk anaknya? Sejujurnya itu malah membuat anak sulit berterima kasih, tapi anak justru merasa bersalah karena telah lahir dan merepotkan kedua orang tua. Rasanya anak hanyalah beban orang tua saja di dunia ini. Anak tentu tidak ingin dimanipulasi dengan semua itu.
Seringkali anak butuh teman untuk bercerita tanpa dihakimi. Tapi anak terlalu takut kalau malah dicap kurang ajar, anak tidak benar, anak manja, dan dugaan lainnya. Anak hanya ingin didengar tanpa dihakimi. Setidaknya bisa duduk bersama layaknya sahabat. Lagi, anak mungkin hanya bisa berandai ada orang tua yang sesempurna itu.
Kata maaf itu menyembuhkan
Sangat disayangkan, bahwa sebenarnya masih banyak masalah lain yang terjadi antara anak dan orang tuanya. Padahal, relasi anak dan orang tua itu seumur hidup, mesiki di dalamnya tersimpan kenangan baik maupun yang buruk. Saat luka itu timbul karena orang tua, saat itulah sang anak tak ingin bersama orang tua terkasih.
Pelipur hati hanyalah sekedar maaf yang terucap dari kedua orang tua, menerima kenyataan bahwa orang tua pun tak selalu benar. Seharusnya, anak diizinkan untuk memberi pendapat dan menegur orang tua juga. Bukan bermaksud untuk menjadi pembangkang, tapi kesadaran bahwa antara anak dan orang tua adalah hubungan spesial yang menuntut pemahaman satu sama lain.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”