Mencintai dalam Diam dan Dibahagiakan Sebatas melalui Mimpi

Aku tak pernah mengerti mengapa bisa aku memendam rasa cinta untuk sekian lama pada sosok yang tidak aku kenal dengan baik. Desas desus mengenai sosoknya hanya aku dengar dari mereka. Tidak pernah ada kesempatan bertegur sapa ataupun sekedar melempar senyum setiap kali berpapasan. Jadi, mengapa bisa aku memendam rasa yang mereka sebut sebagai cinta?

Advertisement

Tahun terakhir di masa yang mereka sebut sebagai masa-masa paling indah. Hal yang aku ingat tentangnya adalah untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya kami saling melempar senyum di ujian akhir semester ganjil tahun terakhirnya, saat dia mencoba membantu menjawab pertanyaan di soal ujianku. Perbedaan usia satu tahun, menjadikan aku sebagai adik kelasnya di sekolah.

Dan setelah itu, tidak terjadi apa-apa. Cerita ini memang tidak selayaknya cerita cinta pada umumnya. Aku dan dia benar-benar seperti memiliki cerita yang berbeda, atau mungkin memang demikian. Tidak terjadi hal yang bisa menghubungkan aku dan dia menjadi suatu cerita cinta. Hingga di penghujung kepergiannya, semua bentuk senyum, sapa, tanya apalagi rasa, tidak satupun dari semua itu yang tersampaikan. Semua melebur mengiringi kepergiannya yang akan memenuhi rasa hausnya terhadap ilmu pengetahuan.

Waktu terus berlalu dimana angka terakhir dalam tahun telah berganti dengan aku yang menjejak kota baru. Aku tak senaif itu, jika mengatakan bahwa kepergian ini untuk melupakan dia. Tapi entah mengapa, setelah sekian banyak hari terlewati bahkan dengan meninggalkan tempat yang nyaris tidak ada kejadian istimewa antara aku dengan dia, aku masih tetap terpaku pada sosoknya. Semua bentuk senyum dan tanya itu masih menginginkan balasan dan jawabnya, bahkan semua rasa yang terpendam bersama ego seorang perempuan masih ingin diungkapkan.

Advertisement

Dalam semua bentuk keterdiamanku, aku masih mencintainya dan menyimpan harap bahwa suatu saat nanti dia akan datang dan meyakinkan, bahwa aku bukan satu-satunya pihak yang menyimpan rasa itu. Harapku bukannya mustahil, tapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa harap itu nyatanya mendekati kata tidak mungkin. Namun tidak peduli seberapa besar kemungkinan itu mendekati kata mustahil, aku tetap menunggunya. Aku tahu, bahwa aku adalah definisi dari orang bodoh, menunggu seseorang yang tidak pernah mengatakan aku adalah tempat berpulangnya suatu hari nanti.

Hingga aku menemukan diriku dengan rasa yang kian menggebu-gebu. Sampai di titik ketika sosoknya sering kali hadir dalam benak, yang menjadikanku kerap membayangkan bahwa seandainya dulu dia bisa memulai percakapan, akankah hal itu dapat menjadikan aku dan dia memiliki hubungan yang sedikit lebih dekat, atau seandainya dulu aku cukup berani untuk menjadi pihak yang mau memulai memberi senyum atau sapa, akankah rasa yang tersimpan dalam keterdiamannya ini akan menjadi cerita yang berbeda, bahkan sampai pada anganku yang paling gila, seandainya saja suatu hari nanti dia menjadi pasanganku, karena kita semua tahu bahwa harap paling besar ketika mencintai sesorang adalah rasa ingin memiliki.

Advertisement

Kemudian aku menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku. Jika saja pengandaian dulu itu benar-benar terjadi, maka mungkin cerita yang menjadi berbeda bukan saja tentang cerita romansa kami, tapi juga cerita-cerita lain di hidup kami berdua, cerita tentang mimpi, keluarga, teman-teman, atau bahkan cerita tentang hubungan masing-masing kami dengan Sang Pencipta. Aku tidak akan pernah tahu jika saja seandainya itu menjadi nyata, apakah aku dan dia akan menjadi pihak-pihak yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi kami saat ini.

Aku tidak bisa menyalahkan rasa yang hadir ini, karena aku sadari sepenuhnya bahwa rasa itu tidak pernah salah, akulah yang salah karena ketika ia hadir dalam bentuk setitik kagum, aku memberinya kesempatan untuk tetap tinggal dengan memupuk dan merawatnya dalam waktu sekian lama hingga ia menjadi sebuah rasa yang kini kian tidak terkendali. Untuk itulah, hari ini aku putuskan untuk menghentikan segala harap yang besar kemungkinannya mendekati kata mustahil itu. Aku mencoba membuang segala rasa yang nantinya berkesempatan akan memberiku luka. Namun dari semuanya, ketakutan terbesarku ada pada bagian rasa itu sendiri. Aku takut rasa yang menggebu-gebu itu ternyata adalah sebuah obsesi berlandaskan nafsu yang mengatasnamakan cinta. Maka aku memilih menyerah atas semua rasa itu, dan berharap bahwa nanti ia akan hadir kembali dengan waktu yang tepat, baik dengan sosoknya yang pernah aku harapkan atau dengan sosok lain yang Rabb pilihkan untuk ku.

Pada akhirnya, saat ini aku hanya bisa mengembalikan semua rasa itu pada Sang Pencipta, dan memang sepatutnya seperti itu sedari awal. Sudah aku katakan, bahwa aku adalah definisi dari orang bodoh dan mari sudahi cerita mengenai kebodohan ini. Aku menyerahkan segala urusan rasa pada Sang Maha Kuasa. Biarlah Dia yang mengatur sesiapa yang nantinya akan mendampingiku. Adapun mengenai sosoknya, aku bukannya tidak pernah meminta untuk disandingkan dengannya. Aku pernah melakukan itu, bahkan dulu memang seringnya begitu. Namun kuputuskan untuk berhenti, bukan karena meragukan kuasa-Nya, sudah aku katakan bahwa aku takut ini hanya nafsu yang selalu aku sebut dengan indahnya sebagai kata cinta. Jadi, aku menyerah dan mengembalikan semua rasa pada pemilik yang seharusnya.

Aku dan kamu tahu, bahwa melupakan sesuatu yang selalu bersemayam dipikiran tentu saja bukan perkara mudah. Namun, tidak pernah berarti tidak bisa. Karena seiring berjalannya waktu diiringi keikhlasan, perlahan namun pasti, ia akan mulai pergi.

Pulanglah, Raka anaknya Pak Abdul berniat untuk melamarmu.

Tanganku yang masih memegangi telepon genggam itu bergemetar disertai dengan air mata yang luruh dengan begitu mudahnya kala suara ibu terdengar menyuruhku untuk pulang. Aku terpaku pada satu nama yang terakhir kali coba aku lupakan. Satu sosok yang belakangan aku coba ikhlaskan ternyata saat ini benar-benar datang. Sesuatu yang dulu selalu aku anggap mendekati kata mustahil itu terjadi saat ini.

Aku masih saja terus menangis kala menyadari kemungkinan bahwa aku benar-benar bukan satu-satunya pihak yang menyimpan rasa itu. Syukur Alhamdulillah pada Sang Rabb dengan segala rencana terbaik-Nya. Aku sadari bahwa dulu rasa yang bersemayam itu memang salah, untuk itulah mungkin Allah jauhkan dia dari diriku. Sekarang, Allah dekatkan dia kala aku telah menyadari semua kesalahanku.

Ra bangun, udah subuh

Aku terperanjat membuka kedua mata kala suara Rini, teman sekamarku terdengar membangunkanku. Aku termenung sesaat hingga kemudian tersadar.

Astaghfirullah, ternyata hanya mimpi, kok sakit sekali. ucapku pelan dengan helaan nafas lemas. Aku menyeka wajahku, ah bahkan air mata ini benar-benar luruh meski rasa bahagianya sekedar hadir dalam mimpi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Senang membaca dan mendengarkan musik, selalu tertarik dengan obrolan mengenai pemaknaan hidup.