Segala hal negatif yang pernah kita alami, mau tidak mau akan berbekas dan meninggalkan trauma.
Sulit untuk menghilangkannya dan malah menjadi masalah baru karena setiap kali trauma itu muncul, maka akan ada sebuah pertahanan diri yang berlebihan. Perlahan namun pasti, Seharusnya kita bisa menghilangkan rasa takut itu dari pikiran. Terjatuh pada lubang yang sama dan akhirnya segala ketakutan itu menjadi nyata. Namun bukan manusia jika tidak bisa mengendalikan pikirannya, tetapi manusia memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengendalikan pikirannya.
Mengapa hati harus begitu kecewa?
Kadang marah dan kecewa karena tak mendapatkan hak yang semestinya. Tapi kemudian tanya datang menghampiri "kenapa aku harus kecewa dan sakit hati untuk hal-hal yang tidak pernah aku miliki?"
Mungkin ada usaha yang kurang optimal dilakukan sehingga penghargaan itu tidak layak mampir untuk menjadi milik kita. Mengapa harus marah atau kecewa?
Kadang aku juga merasa sedih, menangis, bahkan kecewa karena menerima ketidakadilan yang hinggap padaku. Seolah aku adalah seorang pidana yang dihukum tanpa melalui proses hukum, tidak jelas apakah saya bersalah atau hanya dijadikan kambing hitam perkara. Tak masalah bila saya begitu. Marah, kecewa, sedih lalu menangis bukan satu-satunya alasan untuk menjelaskan kebodohan.
Jawabannya mungkin mengarah pada Bijak Hati,Menerima dengan Lapang dada,Sabar pada apa yang belum di dapat,namun tidak menganggap semua yang miliki adalah hal Mutlak mnjadi milik kita. Kesadaran akan itu,Muncul begitu ad perkara yg merugikan.
Perkara yang datang kemudian meminjamkan perasaan, untuk mengoreksi keberadaan kebenaran hati. Mengapa harus kecewa lalu marah? Mengapa bersedih dengan semua ini? Sebelumnya bagaimanakah sebelum sampai pada perkara yang merugikan ini.
Alasan bijak mungkin berpangkal pada hukum sebab dan akibat. Boleh jadi dekat dan tidaknya hak kita sekarang adalah akibat sebab dulu kita bermalas-malasan, begitu asik menyenggamai ketidak seriusan, hingga acuh pada hal yang penting dan tidak boleh terlewatkan. Maka, alasan bijak menerima semua itu hanya karna keterpaksaan sabar. Menerimanya dengan meninggalkan amarah dan kekecewaan. Mengapa sampai begitu?
Mengapa harus marah jika ingin masih muda
Mengapa harus marah jika masih bisa bersabar
Mengapa harus marah jika memang itu kehendak-Nya
Mengapa harus marah jika masih bisa memaafkan
Mengapa harus marah jika memang itu benar
Mengapa harus marah jika masih ada jalan keluarnya
Mengapa harus marah jika masih bisa diperbaiki
Mengapa harus marah jika berbuat salah adalah manusiawi
Mengapa harus marah jika masih terdapat harapan
Mengapa harus marah jika tidak mau menjadi “yang sama saja”.
Mengapa harus marah jika masih mau menjadi baik.
Mengapa harus marah jika masih ada cinta.
Mengapa harus marah jika masih ada do'a.
Mengapa harus marah jika merasa Allah itu masih ada.
Mengapa harus marah jika masih bisa berterima.
Mengapa harus marah jika bisa berserah.
Mengapa harus marah jika itu bukan hak.
Mengapa harus marah jika memang ini guratan takdir.
Mengapa harus marah jika tidak memiliki sebab pasti ada pengganti.
Mengapa harus marah jika masih punya hati.
Mengapa harus marah jika masih punya niat mulia.
Mengapa harus marah jika masih punya cahaya.
Memendam amarah begitu lama hanya akan membuatmu merasa terus kecewa hingga kecewa banyak hal yang perlu diperbaiki dalam diri, dan masih banyak mimpi-mimpi yang menanti untuk diperjuangkan. Selamat memperbaiki diri!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
tulisan yg membuka fikiran akan masalah2 dan kegelisahan masa lalu
Memendam Amarah Tak Akan Membuat Hidupmu Lebih Indah, mengembalikan file yang terhapus