Gender dan seksualitas adalah sesuatu yang sampai sekarang masih menjadi hal yang kurang dipahami banyak orang. Tidak banyak yang menyadari bahwa gender dan seksualitas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kasus-kasus kekerasan. Istilah kekerasan berbasis gender digunakan untuk membedakan kekerasan umum dari kekerasan yang menargetkan individu atau kelompok individu atas dasar jenis kelamin atau identitas gender mereka.
Kekerasan berbasis gender telah ditetapkan oleh Komite CEDAW sebagai kekerasan yang diarahkan pada orang atas dasar jenis kelamin atau seks. PBB Mengartikan kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berdampak pada, atau berdampak menyerupai fisik, psikis dan seksual atau membawa penderitaan bagi perempuan termasuk di dalamnya segala bentuk tindakan, paksaan, kesewenang-wenangan serta merampas kemerdekaan, yang dilakukan di ranah publik maupun kehidupan pribadi.
Kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh peran pelabelan berdasarkan jenis kelamin, yang mengingkari martabat manusia dan hak atas diri sendiri. Faktanya, kekerasan berbasis gender mayoritas dialami oleh perempuan, hal ini juga memperkuat subordinasi perempuan serta melanggengkan kekuasaan dan control laki-laki atau budaya patriarki.
Sebelum jauh membahas tentang Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS), perlu dipahami bahwa gender dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda. Jika seks berbicara atau merujuk tentang hal-hal atau karakteristik biologis perempuan, laki-laki dan lainnya. Sedangkan gender adalah hal yang merujuk pada karakteristik sosial yang ditugaskan kepada seseorang karena identitasnya sebagai perempuan, laki-laki, maupun lainnya. Secara sederhana seks adalah hal biologis sedangkan gender adalah hal sosial.
Hal yang masih berlaku pada budaya dan masyarakat kita (Indonesia) adalah bagaimana kehidupan sosial melihat perempuan sebagai makhluk yang lemah dan berada di bawah kontrol laki-laki. Kondisi ini yang memperkuat adanya kekerasan berbasis gender. Secara sosial, perbedaan peran gender dalam masyarakat selama ini menempatkan maskulinitas sebagai pihak yang mendominasi feminitas.
Maskulinitas yang akan melakukan kontrol terhadap feminitas, atas nama berbagai hal dan kemudian di justifikasi/diteguhkan oleh banyak faktor. Salah satu akar penyebab kekerasan berbasis gender dan seksualitas dalam masyarakat adalah praktik-praktik ketidaksetaraan gender, tempat dimana perempuan berada pada posisi subordinat laki-laki.
Salah satu contoh konkrit KBGS yang sering terjadi dalam masyarakat adalah kasus-kasus pelecehan seksual. Label perempuan sebagai makhluk yang lemah dan berada satu level di bawah laki-laki adalah salah satu konsep dasar yang melatarbelakangi KBGS. Pelecehan seksual yang dialami perempuan biasanya masih sering direspon dengan sangat tidak bijaksana oleh lingkungan sosial yang budaya patriarkinya masih kuat, seperti catcalling yang dialami perempuan biasanya dianggap sebagai hal yang biasa saja dan terkadang justru menyalahkan korbannya.
Padahal hal ini merupakan tindakan yang masuk dalam kategori kekerasan berbasis gender dan membuat perempuan atau korban mengalami dua kali kekerasan yaitu catcalling dan disalahkan.
Kekerasan berbasis gender dan seksual telah dikelompokkan ke dalam lima kategori yaitu kekerasan seksual, fisik, emosional dan psikis, praktik tradisional yang berbahaya dan sosial-ekonomi. Beberapa contoh kekerasan berbasis gender yang sering terjadi dalam masyarakat adalah pelecehan seksual, trafficking atau perbudakan, female genital mutilation (sunat perempuan), perkawinan anak, dan juga kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang diskriminatif.
Semua tindakan ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap individu, kelompok maupun kehidupan sosial dalam masyarakat seperti depresi, menyalahkan korban (kasus kekerasan/pelecehan seksual), stigma sosial, dan meningkatnya ketidaksetaraan gender.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”