Krek krek suara gunting terdengar di lapak 4×4 meter. Tempat yang tidak terlalu luas, namun banyak kisah yang tak semua orang tahu. Kali ini sebut saja dirinya Adi. Lelaki desa tulen kelahiran 27 tahun silam. Sama seperti pemuda seusianya, rutinitas dihabiskan untuk bekerja. Kadang di sawah, kadang disambi ngarit juga. Namun secara sosial status pekerjaannya adalah tukang cukur. Lapaknya pun terbilang sederhana, tidak ada hair curler, hair dryer, catok ataupun kursi pijat. Hanya ada radio Philips serta banyak kertas foto model rambut.
Adi memiliki kesulitan untuk bicara, pun juga mendengar. Namun hal tersebut tidak menghalanginya mandiri. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara tersebut tidak menunjukkan sikap ingin dikasihani. Hampir tidak pernah saya menjumpai dia menjaga jarak dengan orang berfisik normal. Menurut cerita keluarganya, sewaktu duduk di bangku SLB setingkat SMA, dia sering berpartisipasi dalam lomba tenis meja. Juara 2 tingkat provinsi adalah pencapaian yang barangkali tidak dimiliki semua anak normal.
Oke balik lagi ke cerita Adi. Sebelum menekuni profesinya sekarang, dia tercatat pernah menjadi kuli bangunan, buruh peternakan ayam, hingga menjajal beternak lele. Sayangnya semua itu gagal. Tidak memungkiri bahwa faktor komunikasi menjadi alasan kekurang-beruntungan dia.
Namun begitulah hidup, dunia selalu menyajikan banyak hal unik, kadang menginspirasi kadang juga lucu. Tidak semua kisah inspiratif dari buku sejalan lurus bila dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Pun tidak pula semua komedi opera bisa membubuhkan tawa. Selalu ada relatifitas dan perbedaan sudut pandang. Seorang teman pernah berkata, “Ada 3 sudut pandang dalam hidup, sudut pandang aku, kamu, dan sudut pandang kebenaran”. Barangkali saya dan orang lain menganggap langkah Adi sebagai bentuk kemunduran atau mungkin menyerah pada keadaan. Hal berbeda mungkin dirasakan Adi yang merasa potensinya justru hilang. Dan terbukti, sudut pandang kebenaran memilih Adi, bukan saya dan yang orang lain pikirkan.
Sudut pandang adalah cara seseorang mengolah sebuah fenomena. Terdengar subjektif, sehingga perbedaan sudut pandang niscaya selalu terjadi. Lepas dari apa yang diajarkan di bangku sekolah, saya sepakat dengan 3 sudut pandang yang disampaikan di awal. Akal selalu memiliki batasan, dan perbedaan sudut pandang adalah satu hal yang mampu melampaui batasan tersebut.
Seperti halnya kisah Adi, keterbatasan biasanya dianggap sebagai kekurangan. Menurut sudut pandang lain, keterbatasan bisa dimaknai imbalan atas hal lain yang dilebihkan. Cinta pun demikian, Nezami Genjavi dalam Laila Majnun membuat cinta sebagai hal yang harus perjuangankan. Sesuatu yang menurut Jean-Paul Sartre adalah sebuah pengekangan dan perampasan kemerdekaan.
Kemudian masalah baru muncul. Saat ini sudut pandang kebenaran identik dengan kesepakatan umum. Sebagai contoh adalah polisi yang merazia anak pacaran. Orang umum sepertinya sepakat bahwa hal itu benar dilakukan. Sebaliknya, sebagian kecil menganggap hal tersebut berlebihan, mengingatkan kembali bahwa polisi adalah aparat hukum bukan aparat moral.
Sudut pandang kebenaran mungkin sebuah hal yang sulit ditebak. Jika semua dikembalikan pada akal dan fikiran, kebenaran juga akan bersifat relatif. Untuk itu saya akan menutup tulisan ini dengan quote Kyai Luqman Hakim, bahwa "Tautkanlah segalanya pada hati, maka semua menjadi benar."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”