Membangun Ekosistem eSport yang Beradab, Sehat, dan Kompetitif

Dengan tangan yang penuh terbuka dari pemerintah atas kehadiran eSport di tanah air, banyak lapangan kerja  baru yang akan terbuka.

Riuh rendah yang terdengar di salah satu rumah makan, di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan terhenti sejenak. Jeda istirahat berlaku karena sesi pertandingan telah selesai dari sebuah kegiatan turnamen mini gim elektronik. Setiap orang mengambil sudutnya masing-masing untuk relaksasi. Salah satunya MF (20) yang tadi ikut bertanding League of Legend: Wild Rift.

Advertisement

Pemuda berusia 20 tahun itu menyempatkan diri beribadah salat ashar di musala yang disediakan rumah makan tersebut. Selesainya, saya ambil kesempatan untuk berbincang barang sejenak dengannya.

Turnamen yang dimaksud merupakan sebuah roadshow program yang diselenggarakan salah satu entitas perusahaan telekomunikasi plat merah. MF mengaku mengikutinya hanya untuk membangun mood-nya selaku pro player.

Saya kalah di gim pertama, mas, tuturnya, tanpa kekecewaan terlihat dari raut wajahnya.

Advertisement

Bagi MF, kekalahan adalah hal yang biasa terjadi dari sekian banyak mini turnamen Wild Rift yang diikutinya. Pencapaian terbaik pemuda yang menggandrungi gim elektronik semenjak kelas tiga SD itu adalah di posisi delapan besar.

Kini, MF telah bekerja di salah satu convenience store sebagai pegawai. Saat ditanya keinginannya menjadi atlet eSport, MF menjawab dengan malu-malu belum memiliki ketertarikan.

Advertisement

Saya dapat kabar dari teman kalau jadi atlet (eSport) gajinya kecil, mas, buat pemula. Sekitar satu juta per bulan. Belum lagi harus bayar uang muka untuk mengikuti turnamen besar. Nggak sebanding dengan pemasukan, ujarnya.

Melalui wawancara singkat saya dengan MF sebuah pemikiran terlintas di benak saya bahwa menjadi atlet eSport tidak serta merta segampang yang dibayangkan. Bagi atlet pemula harus ada sebuah upaya besar yang dipertaruhkan, mulai dari pandangan keluarga, lingkungan, dan kewajiban mencari nafkah.

Mengikuti komunitas pun harus kuat-kuat diri meladeni persaingan. Belum lagi, setiap melakukan mabar (main bersama) ada suasana toxic yang sekali-kali hinggap. Suasana yang dimaksud adalah ketika tekanan datang dari kolom chatbox, lalu sumpah serapah berhamburan bagai desingan peluru.

Dalam catatan Pengurus Besar eSport Indonesia (PBESI) terdapat lebih dari 111 juta gamer di Indonesia. Dari segi prestasi, pro player asal Indonesia banyak menorehkan prestasi di ajang kompetisi internasional. Namun sayangnya, lingkungan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya melihat aktivitas ini beradab sebagaimana permainan catur.

Baik eSport maupun catur sama-sama diakui pemerintah sebagai olahraga prestasi. Baik keduanya memiliki nilai positif secara mental dan psikologis. Dulu, gim elektronik dianggap hanya hobi. Permainan elektronik itu sekarang dapat dikembangkan melalui konsep athlete enablement hingga mencetak pemain pro bermental atlet.

Di negeri tirai bambu bahkan membuat regulasi khusus bagi anak-anak yang keranjingan gim elektronik. Aturannya adalah, setiap warganya, khususnya anak-anak, hanya diberikan waktu main gim selama dua jam. Jika ingin lebih, bisa mengikuti akademi eSport yang tersedia.

Di Indonesia sendiri, akademi eSport masih bisa dihitung dengan jari. Tidak menjamur seperti akademi atlet bulu tangkis, PBESI sendiri baru akan membentuk akademi eSport beserta kurikulumnya pada tahun depan. PBESI juga berencana membangun 34 klub eSport. Hal ini tampaknya tidak main-main, karena pemerintah Indonesia sendiri menyambut baik gim elektronik ini melalui penyelenggaraan olahraga resmi nasional maupun internasional.

Sejalan dengan itu, IndiHome melalui Limitless eSport Academy (LEAD) sudah melakukan roadshow ke berbagai daerah, salah satunya di Kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan ini. Namun berbeda dengan PBESI, strategi yang diambil mereka memiliki tahapan (staging).

Tampaknya pengurus LEAD by IndiHome berusaha berpikir realistis dengan animo masyarakat. Penjajakan dilakukan kepada komunitas-komunitas gim elektronik melalui rangkaian roadshow ke berbagai kota Indonesia. Di saat yang sama, mereka membuka pendaftaran secara gratis di fase pembukaan pertama ini.

Dyah Rosyida mengaku bahwa ekosistem eSport di Indonesia memiliki masa depan yang cerah sekiranya animo masyarakat Indonesia sebagus olahraga bulutangkis.

Dari sekian ratusan juta gamers di Indonesia, 50 jutanya terkoneksi dengan fixed broadband. Perusahaan kami banyak melayani paket gamers. Sebagai penyelenggara internetnya Indonesia, kami mencoba berperan di dalam mengembangkan environtment gamer ini, tutur Dyah Rosyida, Head of Digital Marketing IndiHome yang juga didapuk sebagai srikandi gamer di perusahaannya mengabdi.

Dalam kalkulasinya, ekosistem ini harus dimulai dari pembentukan karakter pro player Indonesia hingga memiliki mental sebagaimana atlet profesional. Mereka juga membatasi usia peserta akademi maksimal 35 tahun.

Meski memiliki strategi yang cukup berbeda, LEAD by IndiHome akan berkoordinasi dengan PBESI dan KONI di dalam pelaksanaannya, termasuk pembuatan kurikulumnya.

Peran paling penting di dalam membangun ekosistem eSport ini memang harus dimulai dari sumber daya manusianya. Mulai dari developer, penyelenggara turnamen, eSport organizer, talent management, hingga Klub para pemain musti mendapat dukungan dengan standar yang sahih, terutama dari segi pemahaman para stakeholder yang terlibat.

Sebagaimana pemahaman yang keliru salah satu peserta roadhshow di atas. Di dalam penyelenggaraan turnamen terdapat kualifikasi tertutup dan terbuka.

Maksud dari kualifikasi tertutup adalah setiap klub yang ingin berlaga di sebuah penyelenggaraan turnamen harus terlebih dahulu membayar deposit. Biasanya, deposit diberikan dari hasil patungan para pemain yang hendak mengikuti turnamen.

Sedangkan kualifikasi terbuka adalah sebuah turnamen yang dapat diikuti oleh seluruh klub. Penilaian tidak berdasarkan modal uang yang dimiliki klub yang bermain, tetapi dari kemampuan mereka bekerja secara tim ataupun individu. Kualifikasi semacam ini biasa dipakai di dalam penyelenggaraan turnamen League of Legend: Wild Rift.

Oleh karenanya, Dyah Rosyida bekerja bersama Henov Iqbal Assidiq yang memiliki jam terbang lebih banyak dan wawasan yang cukup luas terkait gim Wild Rift ini.

Sistem staging yang diperkenalkan Henov dan Dyah Rosyida mencoba memahami animo masyarakat terhadap eSport melalui gim besutan Riot Games ini. Setidaknya, Wild Rift tergolong belum begitu ramai dikompetisikan di Indonesia. Namun komunitas-komunitas gim di Indonesia sudah mengenal baik gim ini, yang berarti bahwa prospeknya cukup bagus untuk memulai pengembangan karakter atlet eSport ke depan.

Dengan tangan yang penuh terbuka dari pemerintah atas kehadiran eSport di tanah air, banyak lapangan kerja  baru yang akan terbuka. Seluruh elemen penting dari ekosistem eSport akan membutuhkan banyak sumber daya manusia di dalamnya.

Namun, untuk membangun ekosistem eSport ini diperlukan personal yang mengerti dengan baik sekaligus bijak. Sehingga ke depannya, eSport tidak saja diterima dengan baik. Tapi juga memiliki animo sama besarnya dengan olahraga kebanggaan masyarakat Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

penulis konten dan novel