Ingatan saya masih segar akan kejadian sebelum pulang sekolah ketika SD. Kala itu, ibu guru kami yang memang mengajar matematika memberikan permainan sebelum pulang. Setiap murid berbaris memanjang, tak peduli tinggi atau rendah tubuhnya. Kemudian beliau akan menanyakan murid paling depan tentang hitungan perkalian.
Secara acak, entah perkalian bilangan dua ataupun sampai tujuh. Siapa yang mampu menjawabnya maka dipersilahkan pulang. Saya akhirnya menemui kesempatan tersebut. Untuk perkalian lima ke bawah, tidaklah sukar. Lain hal jika itu sudah memasuki bilangan seterusnya. Alhasil, seringkali saya tidak mampu menjawabnya karena memang sayanya sendiri tidak begitu berhasil dalam menghafal perkalian.
Metode tersebut seringkali diterapkan pada masa wajib belajar sembilan tahun silam di sekolah saya. Entah memang saya kurang berbakat dalam menghafal angka atau memang karena terlalu malas mengikuti pelajaran. Setiap kali metode tersebut diterapkan, tak jarang saya menjadi murid paling akhir yang pulang.
Momok matematika ataupun hitung-hitungan sejenisnya masih sangat lekat di ingatan saya. Kesulitan dalam memahami mengapa ada “x” hingga nominal ini menjadi itu berdasar simbol matematika, masihlah terlihat sulit bahkan ketika memasuki bangku perkuliahan. Sepertinya memang saya kurang berbakat dalam bidang tersebut.
Kemurungan saya ketika kecil saat mengetahui bahwa orang yang tidak mampu dan pandai dalam matematika adalah anak bodoh sangat menghantui. Terlebih ketika rapor diserahkan, nilai matematika ataupun IPA selalu menjadi sorotan. Anggapan bahwa kepintaran seseorang ditentukan dari bagaimana ia menghitung cepat ataupun memecahkan rumus bangun ruang sekali lihat adalah hal yang tak bisa dipungkiri adanya (tetapi perlahan bodoh hitungan ketika mengingat hutang).
Hingga pada suatu ketika saya menemukan artikel mengenai kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) yang dipionir oleh Howard Gardner. Mungkin dari kalian sudah mengetahui hal ini, tetapi jika ada yang masih belum atau lupa maka akan saya jelaskan lagi agar kalian tidak susah-susah mencarinya di internet. Jadi, beliau menerangkan bahwa manusia memiliki kecerdasan yang sebenarnya tidak hanya satu. Ia memaparkan ada sembilan kecerdasan yang diantaranya dikuasai oleh setiap individu.
Sembilan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial-visual, kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal, naturalis dan eksistensial. Beberapa orang memiliki dominasi pada satu atau beberapa kecerdasan diatas. Sebagai contoh, Beethoven begitu lihai dalam menentukan ritme dan irama sehingga melahirkan karya besar yaitu Simfoni Nomor 9. Ia memiliki kecerdasan dalam hal musik dan mungkin juga interpersonal melihat bagaimana karakteristiknya.
Mendapati bahwa ada berbagai macam kecerdasan adalah sebuah anugerah. Terlebih bagi beberapa orang yang dulunya menganggap dirinya bodoh hanya karena nilai matematiknya anjlok. Padahal nilai lainnya seperti pelajaran bahasa ataupun seni mendapatkan nilai tinggi. Beberapa mata pelajaran lain yang juga sering diremehkan adalah hal yang berhubungan dengan sosial. Contohnya saja bahwa anak IPS hanyalah anak yang berandal. Stigma tersebut terus tumbuh seolah menyebutkan bahwa mereka adalah anak yang tidak bisa bersaing dan harus rela masuk kelas tersebut.
Memiliki kepandaian selain berhitung bukanlah sebuah dosa dan juga bisa berhitung hebat juga bukanlah sebuah standar tunggal. Dunia ini dipenuhi dengan beragam bilangan yang tersusun sistematis jika diuraikan. Kita akan melihat bilangan Fibonacci jika mengamati cangkang siput. Sebuah karya alam yang terdapat matematika didalamnya. Di lain sisi, ada orang yang melihat cangkang tersebut sebagai benda bernilai seni. Ia hias dan berikan sentuhan cantik, jadilah sebuah souvenir tanpa tahu ada bilangan penyusan di dalamnya. Ia tetap berhasil dengan caranya.
Sebenarnya bukan masalah Anda memiliki kecerdasan yang mana. Semua orang berhak sukses dengan caranya, dengan kecerdasannya masing-masing. Entah itu menjadi ahli fisika yang paham rumus hitungan jarak bulan ke matahari ataupun yang senang berpuisi tentang bulan tak bisa menggapai matahari. Menghargai kemampuan dan kecerdasan masing-masing individu justru adalah yang sering kita lupakan. Setiap orang istimewa, termasuk Anda.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”