Tiga bulan sudah waktu berlalu, tapi masih belum bisa cerita ini kumungkiri. Malam itu adalah malam biasa dimana setelah adzan maghrib berkumandang, aktivitasku untuk mengaji di pondok dimulai. Aku berangkat sendiri dengan kendaraan bermotor yang biasa kunaiki.
Setelah berpamitan dengan mencium tangan kedua orang tuaku, aku bergegas menjalankan kendaraan. Kurang dari 5 menit aku berjalan, aku bertemu dengan seorang anak kecil yang dibonceng oleh ayahnya terlihat akan berangkat mengaji pula. Aku yang melihat itu segera memutuskan untuk berhenti dan memberikan tebengan. Beruntung sang ayah sudah sering melihatku sehingga beliau pun mengizinkan putri kecilnya itu untuk ikut berangkat bersamaku.
Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju tempat ngaji. Di jalan terbesit ingatanku tentang hari itu, bukan harinya yang ingin kuulangi, tapi peristiwa itulah yang membuatku ingin memutar ulang waktu.
Peristiwa itu tidak jauh berbeda dari apa yang aku lakukan tadi. Sore di hari itu aku diminta oleh orang tuaku untuk menjemput adikku yang sedang mengaji. Karena sudah hampir telat, aku pun sedikit terburu buru.Â
Di perjalanan, dari kejauhan secara samar terlihat seorang wanita tua yang sedang berjalan dengan membawa kayu yang sepertinya merupakan hasil mencari di ladang. Semakin didekati semakin terlihat siapa wanita itu, dan ternyata memang benar beliau adalah orang yang sering kutemui di tempat ngaji karena memang jarak rumahnya yang tidak jauh dari sana.Â
Sempat terlintas di pikiranku untuk mengajaknya naik ke motor karena memang jalan kami searah. Namun, memang benar hanya terlintas, aku memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan tanpa menawarkan bantuan. Entah itu terjadi karena aku yang terburu buru atau memang aku terlalu banyak berpikir.
Setelah aku sudah bersama adikku dan berjalan pulang, terus muncul rasa yang tidak enak dalam hati, muncul banyak pertanyaan dalam otakku. Kira-kira sudah sejauh mana wanita tadi berjalan dengan membawa kayu berat itu dan aku juga tidak tahu sejak jam berapa wanita itu merasakan lelahnya melakukan semua pekerjaan itu sendiri.Â
Seharusnya aku bisa membantu ibu tadi, toh sekedar memberikan tebengan bukanlah hal yang sulit atau bahkan lama. Memang jaraknya sudah tidak jauh lagi untuk wanita itu sampai dirumahnya. Namun, paling tidak aku bisa menawarkannya. Tapi semua itu hanya pengandaian, karena terlalu banyak berpikir untuk berbuat baik, aku sudah membuat keputusan untuk menghantui diri sendiri dengan perasaan bersalah ini.
Mengambil keputusan memang bukanlah hal yang biasa bagiku, tapi kalau untuk hal baik, kenapa aku perlu berpikir dua kali, apalagi ini tentang kemanusiaan.
Aku menyadari bahwa aku tinggal di negara yang dasarnya sendiri adalah kemanusiaan, bahkan sudah termaktub dalam sila kedua pancasila. Lantas mengapa aku masih belum bisa menerapkannya dengan maksimal. Dari sila tersebut terlihat dengan jelas bahwa bangsa Indonesia sangatlah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ini sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Nilai-nilai yang muncul sebagai suatu bentuk kesadaran manusia yang tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan orang lain. Dimana menuntut manusia untuk mengerti posisi orang lain dan tentunya menghargai satu sama lain.
Mengenai wanita tua tadi, mungkin memang benar aku tidak kenal dekat dengan beliau, tapi konsep memanusiakan manusia tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk hanya menolong orang yang kita kenal saja bukan?
Kalau rasa ingin menolong orang lain saja masih minim, maka dari mana nilai kemanusiaan bisa dijadikan sebagai dasar berdirinya sebuah negara.
Kepekaan serta kesadaran terhadap sesuatu masih sangatlah kurang. Tidak ada yang tahu betapa lelah matanya tidak tidur, betapa sakit tangan dan kakinya berada dalam posisi itu selama berjam-jam dan seberapa hebat ia mampu mentolerir panas dan ketidaknyamanan. Bahkan seberapa baik ia bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya itu tiap hari, tidak ada yang tahu.Â
Mungkin, kita hanya bisa memberikan bantuan kecil ataupun sederhana. Namun, tidak ada yang tau seberapa berharga hal itu dimata orang lain.Â
Meski itu hanya ternilai sebutir nasi, tapi yakinlah jika kebaikan hati sampai pada hati juga, sebutir nasi itu pun akan menjadi segunung nasi. Yang berarti kebaikan kecil yang kamu lakukan bisa saja berdampak sangat besar bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Pertolongan Tuhan dapat datang melalui tangan orang-orang yang dikehendaki-Nya. Peristiwa ini selalu membuatku berpikir bahwa aku sudah menolak menjadi perantara pertolongan itu. Namun kejadian ini sudah memberikan pengajaran yang sangat berarti bagiku dan akan selalu aku ingat bahwa pertolongan itu datangnya tidak terduga, bisa jadi kita yang ditolong atau kita yang menjadi penolong. Selalu ingat bahwasanya manusia diciptakan bukan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk bermanfaat bagi sekitar.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”