Kalian pernah mencoba memanggang sebuah kue, muffin, roti atau sejenisnya? Saat adonan tepung dimasukkan ke dalam oven dengan suhu pembakaran sekitar 200-250 derajat celcius, akan ada dua kemungkinan: mengembang dan lembut layaknya kue pada umumnya atau bantet (kata yang artinya tidak mengembang dengan baik), gosong terbakar dan keras. Tergantung ketepatan durasi waktu dan suhu yang dicanangkan, juga kecermatan takaran pengembang atau soda kue, sudah pas atau tidak. Itu semua akan menunjukkan hasil yang dicapai, menjadi sebuah kue atau tidak sama sekali. Tergantung dari proses yang dijalankan sudah benar atau belum.
Atau pernah melihat atau mengetahui bagaimana pedang dibuat oleh seorang pandai besi? Pedang yang sebelumnya hanya sebuah baja atau besi biasa. Setelah mengalami proses yang panjang di tangan sang pandai besi, tempaan ratusan kali, dihantam dan dipukul berkali-kali lalu dibakar di sebuah pemanggang yang panas, akhirnya terciptalah sebuah pedang yang sempurna. Tanpa melalui proses itu semua, pedang hanya akan sama dengan baja atau besi yang lain, tidak berarti dan tidak mempunyai fungsi untuk menebas. Salah sedikit dari proses, seperti misalnya hantaman yang kurang atau panas tungku api yang tidak sesuai akan menjadikan pedang berbeda ketajamannya atau malah tumpul pada kedua sisinya.
Kedua contoh tersebut saya rasa sudah cukup menggambarkan ketepatan sebuah proses. Ini yang kadang terlupakan, kadang orang hanya melihat durasi proses saja, tanpa melihat apakah prosesnya sudah tepat atau belum. Kadang orang terlupa untuk mengecek kembali proses-proses yang mereka lakukan, apakah sudah sesuai dengan tujuan akhir mereka. Apakah proses ini sudah benar dilakukan untuk tujuan kita di masa depan?
Orang kerapkali abai dengan hal ini dan malah peduli dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, kebiasaan atau tradisi yang sudah berlangsung lama. Misal seseorang diharuskan setidaknya mencapai gelar sarjana (S1) dalam kurun waktu 4-5 tahun. Walaupun setelah lulus dia tidak ingin mencari kerja, dia hanya ingin menjadi seorang pengusaha. Bahkan, mungkin dia sudah bercita-cita menjadi pengusaha dari sekolah menengah, tetapi dia memilih untuk berkuliah karena norma yang berlaku di masyarakat seperti itu, atau mungkin juga karena tekanan dari orang tua yang mungkin akan malu jika anaknya tidak sarjana. Padahal melakukan hal itu, bukan hanya membuang-buang uang untuk biaya kuliah tetapi juga membuang waktu yang bisa dia dapatkan dengan belajar menjadi pengusaha secara total tanpa terganggu kuliah. Siapa yang bisa menjamin dia akan lulus tanpa drop-out jika dia tidak tertarik untuk kuliah dari awal. Mempelajari dan berkutat di bidang yang bukan merupakan passion kita itu tidak mudah, walaupun tidak sulit juga.
Oke, bisa saja dia membuka usaha sembari berkuliah, karena banyak teman saya yang melakukannya pada waktu kuliah, berkuliah sembari membuka usaha, baik kuliner, konveksi, laundry ataupun distro fashion. Offline maupun online. Tetapi lagi-lagi sesuatu yang dilakukan sembari atau sambilan akan berbeda hasilnya bila fokus pada satu hal. Mungkin ada beberapa yang berhasil di keduanya, tapi akan sangat jarang ditemukan. Akan terlihat banyaknya ketimpangan pada salah satu, entah itu usaha atau kuliahnya. Banyak dari mereka yang akhirnya menutup usaha, entah karena ketidakstabilan manajemen atau finansial.
Beberapa yang berhasil terpaksa mengundur jauh waktu kelulusan hingga pada batas maksimal. Jarang sekali yang akan excel di keduanya, begitulah memang jika memutuskan melakukan dua atau bahkan tiga pekerjaan pada satu waktu. Membagi fokus adalah hal yang sulit dilakukan sedari dulu, tentu bisa dilakukan, tetapi all-out, melakukannya secara totalitas akan menghasilkan hasil yang lebih baik.
Itulah mengapa kita perlu me-review kembali segala proses yang sedang kita jalani, tentang apa-apa yang kita perjuangkan. Apakah sudah dirasa tepat dan sesuai dengan tujuan dan rencana masa depan yang kamu tuliskan?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”