Saat ini, media sosial menjadi trand yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan informasi, selain penggunaannya yang mudah, media sosial juga mampu melipat jarak antara pengguna satu dengan pengguna lainnya sehingga sangat memudahkan penggunanya untuk berinteraksi, asalkan terhubung ke internet.
Nah, dari kemudahan yang diberikan oleh media sosial dalam proses interaksi tersebut tentu juga menimbulkan dampak negatif yang berpengaruh terhadap pengguna lain.
Media sosial dalam penggunaannya tidak hanya dimanfaatkan untuk media dalam bertukar informasi tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk mengunggah foto, video dan juga instastory. Unggahan ke media sosial berupa foto, video dan instastory tersebut merupakan bagian dari eksistensinya di media sosial, ataupun dengan kata lain merupakan identitas di dunia maya (identity virtual) yang dicoba dibentuknya melalui media sosial.
Katakanlah pada media sosial instagram, para pengguna instagram sebelum mengunggah hasil foto maupun video ke dalam beranda, mereka memilah-milah terlebih dahulu mana yang patut untuk diunggah, tentu kita semua demikian. Bahkan ada juga akun-akun instagram yang sudah dikonstruk menjadi konten yang menarik. Ada isi kontennya yang berupa kuliner, pariwisata, tips kesehatan, keagamaan, dan masih banyak lagi. Konten yang paling mendominasi yaitu berupa akun pribadi ataupun dengan kata lainya isi konten tersebut merupakan implementasi dari dirinya sendiri, baik itu hasil travelling, karya, ataupun hobi.
Nah, pada kasus akun pribadi media sosial tentu kita pernah menemui pengguna yang selalu mengunggah kegiatan sehari-harinya kedalam instagram, baik berupa foto, video, maupun hanya sekedar snapgram (salah satu fitur dari instagram untuk mengabadikan momen dalam suatu cerita dengan foto maupun video yang berdurasi maksimal 15 detik). It’s oke jika yang diunggah tersebut ada manfaatnya bagi orang lain dan tidak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.
Namun, selama menggunakan media sosial sering mendapati pengguna media sosial yang memanfaatkan media sosial tersebut sebagai wadah dalam pembentukan citra pribadi (identity virtual) yang sengaja dikamuflasekan, dalam arti mereka (pengguna) mengkonstruk akun pribadi media sosialnya tersebut dengan berbagai macam unnggahan foto, video, dan juga snapgram yang bersifat positif tanpa berdasarkan dengan kenyataan yang ada agar mendapatkan persepsi yang positif dari pengguna yang lain.
Pada suatu moment seorang pengguna media sosial mengunggah di snapgram dengan keadaan sedang minum secangkir kopi (karena di Indonesia saat ini penikmat kopi menjadi terlihat “keren” berkat kehadiran karya film Filosofi Kopi beberapa tahun lalu yang membuat seakan-akan para penikmat kopi tersebut dicap sebagai orang yang beda, bahkan ada juga yang berlarut-larut menghabiskan malamnya hanya dengan ditemani kopi. “Sebenarnya sih kopi di Indonesia ini sudah lama mendunia, dan ada banyak jenis-jenis kopi di bumi Indonesia ini. Berkat hal itu lahirlah kolektifitas dan kreativitas anak bangsa dalam karya film”).
Nah, kenyataannya yang mengunggah keadaan sedang menikmati kopi tersebut pelakunya atau orang yang mengunggah ke dalam snapgram tersebut hanya berbaring-baring di tempat tidur tanpa adanya secangkir kopi yang menemani.
Kasus yang ditemui di atas itu hanyalah berupa kebohongan kecil yang dilakukan oleh pengguna media sosial, bagaimana jika informasi yang digiringnya ke publik berskala besar dan bisa mempengaruhi tindakan orang yang menerima informasi (receiver) tersebut? Apalagi media sosial ini tidak mempunyai batas ruang (selama masih terhubung ke internet).
Fakta lain yang pernah ditemui yaitu; saudari perempuan kecewa akibat tidak sesuainya ekspektasi yang diharapkan. Dalam arti, dia (saudari perempuan) sempat lama berkenalan dengan laki-laki di media sosial (facebook). Saling berkirim pesan, bertukar informasi, dan juga sudah saling mengenal satu sama lain tetapi belum saling bertemu. Ketika sudah menentukan hari dan memutuskan untuk bertemu di suatu tempat, pada momen pertemuan itulah si perempuan merasa dibohongi oleh tampilan foto profil yang ada di media sosial. Sebab, wajah asli laki-laki tersebut sama sekali tidak mirip dengan foto yang digunakan di media sosial, dan setelah mengetahui pengakuannya ternyata si laki-laki menggunakan foto orang lain untuk dijadikan foto profil di media sosial.
Ya, media sosial memang memberikan kebebasan bagi para penggunanya dalam pembentukan citra positif. Apapun itu, baik dalam pemilihan foto profil akun media sosial, status atau caption di beranda media sosial, maupun kepeduliannya di media sosial terhadap masalah-masalah sosial yang sedang terjadi. Tentu segala hal yang sudah dikonstruk sedemikian rupa tersebut menjadikan aktornya (pengguna media sosial) mendapatkan persepi yang menguntungkan dari identitas yang telah dibentuknya. Namun, segala hal yang telah dikonstruk sedemikian rupa itu bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.
Fenomena inilah yang membuat menarik untuk disampaikan kepada pembaca agar kedepannya lebih menghayati dan mengaplikasikan konsep dari literasi media, tujuannya supaya lebih dewasa dalam menggunakan media-media komunikasi yang ada. Setidaknya dalam penyebaran informasi dan pembentukan citra pribadi yang dilakukan melalui instrumen media sosial itu haruslah berdasarkan dengan kenyataan yang ada, agar pengguna media sosial lainnya yang mengetahui informasi tersebut mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Secara tidak langsung, pengguna media sosial yang sering mengkonstruk akun pribadinya tanpa adanya kenyataan (reality) yang dilakukannya, hal itu sama seperti pabrik dosa-dosa kecil yang terus diproduksinya. Bagaimana tidak, kedua kasus di atas menunjukkan bagaimana kebohongan itu diolahnya menjadi sesuatu yang nyata di dalam media sosial sehingga menyebabkan pengguna media sosial lainnya ikut tergerus ke dalam hal yang sifatnya hanya kebohongan, dan tentu ini menjadi hal yang merugikan bagi pengguna lain.
Fenomena-fenomena negatif dan menyimpang yang terjadi di media sosial yang berdampak terhadap penggunna lainnya itu tentu kita tidak dapat dengan mudahnya menyalahkan media sosial sebagai sumbernya, melainkan lebih kepada kealfaan pengguna akan literasi media. Dari beberapa hal yang sudah disinggung terkait pengguna media sosial yang menyimpangkan apa yang sebenarnya menjadi falsafah dari media sosial itu mengajarkan kita bahwa semua identity virtual yang dikonstruk oleh penggunanya menjadikan kita agar lebih skeptis dalam menilai, karena setiap identitas yang dibentuk pada ruang virtual itu sering tidak diikutsertakannya kenyataan yang ada.
Media sosial memang menjadi instrumen yang paling mudah dan terjangkau untuk di gunakan dalam berinteraksi dengan orang lain. Namun, dibalik kemudahannya tersebut sering dipergunakan untuk hal yang negatif. Nah, pada saat inilah waktunya untuk merubah kembali bagaimana berprilaku positif dalam beraktivitas di media sosial.
Memanfaatkan media sosial sebagai instrumen dalam pembentukan citra pribadi itu tidak dilarang, asalakan tidak menyimpang. Agar tidak ada lagi penyimpangan yang terjadi pada media sosial, tentulah harus dimulai dari kita semua untuk menjaganya. Setidaknya menjaga unggahan-unggahan kita pada media sosial itu harus berdasarkan dengan realitas yang ada.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”