Sejak aku memutuskan untuk menutup cerita masa laluku dengan sesosok laki-laki berhidung pinokio dan berambut pirang itu, aku membuat kesepakatan dengan diriku sendiri untuk menikmati hidup sendiri terlebih dahulu, memanjakan diriku, dan memberi kesempatan hatiku untuk pulih.
Tak ku kira bahwa sebuah sapa bisa merubah apa yang sudah aku sepakati dengan diriku. Sebuah hashtag membuatmu bisa menemukan sebuah akun media sosialku dan sapamu membuatku berpikir ulang, bahwa tak ada yang salah jika aku mencoba membuka hatiku.
Sebelum mengenalmu, bertahun-tahun aku menjalani masa laluku dengan sosok laki-laki yang menggenggam rosario. Aku selalu merindukan sosok laki-laki yang bisa aku dengar suara merdunya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kehadiranmu sejak saat itu membuatku seakan tak punya alasan untuk tidak memberimu kesempatan.
Aku masih mengingat setiap detail tawaranmu agar kau tetap bisa menemuiku setiap hari. Kegigihanmu membuatku merasa harus memberimu sebuah kesempatan. Penerimaanmu padaku termasuk dengan segala kekurangan keluargaku membuatku merasa harus memberimu kesempatan menempati sebagian hatiku.
Aku berharap bahwa setidaknya kamu bisa mengobati kerinduanku akan hadirnya sosok laki-laki yang bisa melindungiku dan dua perempuan terhebat di sisiku.
Tak pernah aku berpikir siapa kamu dan dari keluarga mana kamu berasal. Bagiku, cukup dengan penerimaanmu dan keluargamu kepadaku dan dua wanita terhebat di sisiku itu adalah sebuah hal yang tak ternilai. Aku bahagia menjadi sosok yang selalu kamu elu-elukan di hadapan semua rekanmu.
Kamu tahu? Awalnya aku sangat meragukan sosokmu, tapi seiring dengan berjalannya waktu dan perlakuan manismu padaku, ragu itu sirna dengan sendirinya.
Kau ingat? Saat kita makan malam bersama, sebuah kalimat meluncur dengan sempurna dari bibirmu, “aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku, aku ingin kau menjadi istriku. Ijinkan aku datang ke rumah untuk melamarmu.”
Kau mencoba meyakinkanku sepenuh hati hingga aku mengiyakan niatmu. Kamu tahu rasanya seorang wanita yang ada di posisi itu? Rasanya benar-benar di atas awan. Melayang karena bahagia.
Tak ada hari yang aku lewati tanpamu. Tak ada waktu makan yang aku lewatkan tanpamu. Tak ada cerita tentang keseharianku yang tak berakhir di telingamu. Tak ada tawamu yang aku lewatkan. Kebersamaan kita, pertemuan intensif kita, membuat kita bisa saling mempelajari karakter kita masing-masing.
Impian-impian masa depan sudah kita susun berdua. Mulai dari bagaimana kita harus menabung untuk memiliki sebuah istana mungil tempat anak-anak kita berlarian nantinya. Tentang bagaimana kita harus menyisihkan rupiah demi memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anak kita. Tentang bagaimana kita harus berhemat agar kita bisa mengisi istana mungil kita nanti dengan barang-barang yang tidak mewah tapi bermanfaat.
Tentang rencanaku melanjutkan sekolah ke jenjang magister yang kau sambut dengan suka cita, bahkan kau bilang akan meminta cuti di luar tanggungan negara agar kita tetap bisa bersama di satu kota yang sama. Tentang bagaimana kita membagi penghasilan kita berdua untuk detail kebutuhan kita nantinya dan kau tentunya pasti masih sangat ingat saat kau menangis tersedu karena masalah yang menghampirimu terkait urusan finansial yang harus kau pertanggungjawabkan di kantormu padahal kau tak pernah menggunakan dana itu untuk kebutuhan pribadimu.
Aku masih ingat dengan jelas saat kau bilang jika aku ingin mundur dari rencana pernikahan kita, kau mempersilahkan aku mundur. Tapi nyatanya, tidak kan? Aku menerimamu dengan segala kurang lebihmu. Aku menerimamu untuk memulai hidup dari awal.
Dari merangkak, berjalan hingga berlari untuk rumah tangga kita nantinya. Pelukanmu malam itu membuatku merasa, iya, kamu sosok yang aku cari.
Jakarta. Tempatmu menetap selama 14 hari dengan temanmu yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia membuatmu berubah pikiran. Saat kau menyampaikan niatmu untuk membatalkan acara sakral kita adalah pukulan telak bagiku dan dua wanita terhebatku.
Kesalahan-kesalahan yang kau lemparkan padaku membuatku bertanya-tanya ada apakah ini. Beberapa hari setelah itu, kau datang kembali untuk meminta maaf dan memintaku menerimamu kembali dengan pengakuan yang cukup membuatku ternganga.
Rupanya ada dia yang menjadi penyebabmu meragu. Bagiku saat itu, ini adalah cobaan bagi kita. Aku tak memperpanjang masalah. Aku kembali menerimamu dan pelukanmu malam itu dengan sedu sedan tangis maafmu membuatku tak lagi meragukan kesungguhanmu.
Dua hari setelah kau datang dengan pengakuan mengejutkanmu itu, kembali lagi kau mengatakan bahwa kau meragu dan ingin membatalkan semua rencana kita. Aku tak pernah tahu apa yang ada di benakmu saat itu. Aku terpukul. Kau mengakhiri semua begitu saja setelah aku memaafkanmu begitu saja.
Tak lama setelah itu kau menghilang, tanpa kata, tanpa penjelasan apapun padaku maupun ibuku. Kau tak pernah tau bagaimana persiapan pernikahan yang tinggal beberapa belas hari lagi sudah sangat detail. Kau pergi begitu saja. Orang tuamu pun tak bisa menjelaskan apa-apa pada kami.
Lalu salahkah apabila keluargaku masih menunggu penjelasan dari mulutmu? Salahkah apabila kami meminta kau datang menjelaskan semua? Yang aku dengar, yang kami dengar, kicaumu pada orang-orang sekitarmu cukup membuatku tahu siapa kamu yang sebenarnya.
Rentetan kesalahanku yang kau beberkan pada mereka adalah sebuah wujud dari kepengecutanmu. Semua yang sudah kita siapkan berdua kau bilang adalah sebuah tuntutan bagimu. Lupakah kamu tentang semua percakapan kita tentang masa depan?
Lupakah kamu bahwa aku bersedia memberikan rupiahku untuk kau gunakan demi rumah tangga kita? Tak usah lah kau meracau tentang aku. Yang tahu bagaimana kita dan sejauh apa rencana masa depan hanya kita. Jadi berhentilah berkicau.
Dengan kau berkicau dan meracau tentang aku, itu semakin membuktikan kamu laki-laki seperti apa. Bukankah begitu?
Sekarang entah kau sedang dalam dekapnya atau sedang didekap sepi, satu kata yang ingin aku sampaikan, nikmatilah. Aku tahu, sama sekali tak ada sesal di hatimu. Aku tahu, kau menganggap ini semua adalah hal yang biasa.
Meninggalkan anak gadis orang yang sudah kau pinang dan membatalkan acara sakral yang sudah tinggal beberapa belas hari lagi adalah hal yang wajar bagimu. Karena lihatlah, kau bahkan tak berniat datang menyampaikan pembatalanmu langsung pada ibuku. Kau kabur dari kenyataan.
Kau blokir semua sosial mediaku. Kau hilangkan jejakku dalam hidupmu. Sebegitu laki-laki kah kamu dengan melakukan cara itu? Aku rasa tidak.
Berjuta alasanmu meninggalkan cerita kita dengan mengumbar kesalahan-kesalahanku yang sebenarnya tak ada cukup membuatku tersenyum simpul. Tak ada lagi alasanku untuk membanggakanmu. Tak ada lagi alasanku untuk berkata pada dunia bahwa kamu yang terbaik.
Tak ada lagi alasanku untuk menganggap bahwa kau seorang superman bagiku. Ternyata kamu tak lebih dari seorang laki-laki dengan hiperkolesterol dan hiperurisemia yang hanya bisa lempar batu sembunyi tangan. Meracau hingga kacau. Tanpa kau sadar kau hanya menjatuhkan dirimu sendiri.
Apapun alasanmu meninggalkan cerita kita, hanya waktu yang akan menjadi jawaban dari semua kicaumu itu.
Berhentilah meracau tuan. Berhentilah mengumbar aibmu sendiri. Berhentilah merasa benar. Karena seberapa hebatnya kau membela dirimu, ada saatnya kau akan menangis tersedu menyadari luka yang telah kau buat padaku dan seluruh keluarga besarku.
Siapapun dia, belajarlah untuk lebih menjadi laki-laki baginya. Katakan padanya, aku tidak akan memarahinya atau datang menemuinya untuk mencabik-cabik kulitnya. Aku justru berterima kasih, karena kehadirannya di beberapa belas hari menjelang pernikahan kita membuatku tahu sosok seperti apa kamu sebenarnya.
Belajar lagilah menjadi laki-laki sejati menjelang 28 tahunmu. Karena meminang anak gadis orang lalu membatalkan tanpa sepatah kata penjelasan menjelang beberapa belas hari pernikahan tidak selucu itu dan tidak menjadikanmu benar-benar disebut laki-laki.
And this is us,
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Mrinding baca,,sabar ia mbag Allah maha adil 🙂
Laki-laki feminim saja yang tega berbuat begitu.