Pagi ini suasana rumah begitu tegang. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi yang menjadi santapan favoritku setiap hari kini tampak berbeda. Kursi meja makan yang telah lama kosong kini telah terisi kembali. Seorang laki-laki paruh baya yang dulu sangat aku sayangi dan selalu aku banggakan kini telah mengisi kursinya lagi. Iyaa siapa lagi kalau bukan sosok seorang ayah! Tapi apa masih pantas, jika aku kembali memanggilnya ayah setelah dua tahun meninggalkan aku dan ibu sendirian?
Masih teringat jelas di ingatanku, kala itu aku berusaha keras menggenggam erat tanganmu di teras depan rumah untuk menahan kepergiannmu bersama wanita simpanan dan anak perempuan yang lahir dari rahimnya. Dengan air mata yang berjatuhan disertai suara isak tangisanku, tidak ketinggalan pula wajah sedih memelas turut melengkapinya.
Berharap dengan genggamanku itu mampu meluluhkan hati dan merubah pikiranmu untuk tetap berada di sini, hidup damai diatap rumah yang sama bersama aku dan ibu. Waktu itu aku tidak sanggup lagi melihat ibu yang sudah tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan engkau pergi meninggalkan rumah dan memilih pergi bersama wanita lain serta anak perempuannya.
Semua sikap ibu seolah-olah tiada positifnya dihadapanmu. Engkau pun berbicara kepada seluruh dunia bahwa ibu tak pandai berhias. Engkau pun lebih memilih masakan orang lain dari pada masakan yang dibuat ibu. Engkau lebih memilih melihat senyuman manis anak wanita lain dari pada aku darah dagingmu sendiri. Engkau boleh saja acuh tak acuh ketika ibu menghidangkan masakannya. Engkau boleh juga acuh tak acuh dengan banyaknya pekerjaan rumah yang ibu kerjakan. Tapi hati siapa yang tidak tersayat melihat seorang ayah pergi meninggalkannya demi keluarga baru?
Aku akui ayah adalah laki-laki yang sangat sempurna. Setiap hari memakai jas dengan mengendarai mobil mewah. Wajah tampanmu tak mampu membuat wanita berpaling dari pandangannya. Tak sampai disitu saja, engkau juga tidak lupa dengan kewajiban ibadah. Ini mungkin yang membuat ibu terpikat kepadamu dan mampu memaafkanmu sehingga engkau berada di sini lagi.
Mungkin ibu mudah menerimamu kembali, tapi tidak denganku. Sebutan apa yang pantas untukmu? Masihkah pantas aku panggil seorang ayah? Entah siapa engkau sebenarnya? Kini engkau dan aku hanyalah orang asing. Aku tidak habis fikir, kenapa engkau kini datang kembali. Setelah engkau mengabaikan aku dan ibu. Rasanya hidup di dunia tidak adil, Ingin sesekali aku berdamai dengan hati. Tapi, di mana letak kedamaian hati? Kedamaian hati kini telah diselimuti rasa benci.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”