Kekerasan seksual yang sering terjadi akhir-akhir ini, menjadi kasus yang cukup menyita perhatian dan menimbulkan tanda tanya besar dalam benak saya, apa penyebabnya? Hingga saya membaca dan menganalisis satu contoh kasus kekerasan seksual yang tak lama ini viral di media sosial.
Novia Widyasari, memilih untuk mengakhiri hidupnya karena depresi akibat mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pacarnya hingga hamil, lalu dipaksa untuk mengugurkan kandungannya. Sebelumnya, Korban telah berusaha untuk meminta pertanggungjawaban kepada orang tua pelaku, namun ditolak dengan alasan anaknya (pelaku) masih baru menjadi polisi. Tak sampai di situ, ketika korban berusaha mencari perlindungan kepada paman yang notabenenya adalah keluarga, dia malah disalahkan dan disudutkan. Fakta-fakta dari kasus tersebut, membuka pandangan saya bahwa ada yang salah dalam masyarakat kita.Â
Rape culture atau budaya pemerkosaan, adalah budaya yang menormalisasikan dan mewajarkan tindak pelecehan ataupun kekerasan seksual dalam masyarakat. Rape culture, dicirikan dengan masyarakat yang sering menyalahkan korban, masyarakat yang melindungi pelaku dengan berbagai alasan, dan masyarakat yang seakan-akan tutup mata atas adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi disekitarnya. Jika kalian amati, ciri-ciri tersebut persis dengan kondisi masyarakat kita saat ini ketika merespons kasus kekerasan seksual.Â
Pada kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, pernahkah kalian menemukan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, korban selalu menjadi pihak yang disalahkan. Jika korbannya wanita, masyarakat akan menyalahkan pakaian korban atau perilaku korban yang dianggap ‘menggoda’. Sebagai wanita, mereka disudutkan dengan tuduhan seperti, Kamu pakai baju terbuka nggak? atau makanya jangan pulang malam.
Sedangkan pada korban pria, masyarakat cenderung menganggap bahwa bahwa pria sejati pasti akan selalu menyukai hal-hal yang berkaitan dengan ‘seksual’, sehingga menjadi tidak masuk akal bagi mereka ketika pria mengalami kekerasan seksual dan akhirnya menganggap hal tersebut sebagai lelucon belaka.
Stigma-stigma yang terbentuk dalam masyarakat, menyebabkan korban akan meyakini bahwa ini semua salahnya, sehingga mereka tidak berani untuk bersuara saat mengalami kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus, aparat hukum juga seringkali terlihat tidak kooperatif saat korban berusaha melapor untuk mendapatkan perlindungan hukum. Tak terbayangkan, bagaimana perasaan korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan dukungan, malah harus bersembunyi dibalik rasa takut akan disalahkan.
Bahayanya jika terus seperti ini, rape culture akan mendarah daging dalam masyarakat kita. Akibatnya, makin banyak pelaku yang akan terus menjadi predator dengan mencari korban lain dan korban akan memilih untuk bungkam ketika mendapat kekerasan seksual. Bisa saja orang terdekat kita yang menjadi korban selanjutnya jika kita tidak memperbaiki sistem yang ada dimasyarakat, karena pada dasarnya kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang usia, gender, bahkan pakaian korbannya.
Karenanya, mari perlahan kita hapuskan rape culture yang mulai berkembang pada masyarakat. Dimulai dari diri sendiri, teruslah mengedukasi diri dan meningkatkan empati kepada sesama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”