#ManusiaBolehBerencana; Hampir di setiap malam, seperti biasanya, ponsel adalah benda yang akan saya pegang sambil berbaring. Sekalipun angka di layar ponsel terbaca 00.30 A.M tetapi rasanya masih enggan untuk meletakkan benda itu. Saya memang memiliki satu kebiasaan yang tidak sehat, yaitu, terlalu sering memeriksa ponsel saya. Menggelikan sebenarnya.
Terkadang saya mendapati diri saya memandangnya lima detik setelah saya baru lima detik memeriksanya. Lalu, tahu-tahu aplikasi Instagram sudah terpampang di depan saya, dan saya sedang memandangi foto orang-orang yang tidak saya kenal menampilkan eksistensi mereka dengan pasangan mereka, makanan mereka, liburan, baju, sepatu bahkan gaya hidup mereka sehari-hari. Lalu, beberapa menit kemudian saya sudah melompat ke Twitter dan mulai membaca pernyataan-pernyataan indah, ringkas, dan tajam, yang ditulis orang-orang yang bahkan tidak pernah saya temui.
Dan tiba-tiba otak saya berputar, saya mulai merasa tidak mau kalah, mulai mencari beberapa foto yang pas, biasanya foto dari masa lalu. Dan beberapa menit kemudian saya sudah berada dalam posisi jemari tangan mengetik, menghapus, mengunggah, membaca ulang, lalu memencet tombol edit caption.
Berulang dan terus berulang sampai saya temukan rasa puas merekah di hati. Lalu saya tersenyum. Tetapi tiba-tiba “kringg…..” Ternyata alarm saya sudah berdering. Beberapa orang di luar sana bahkan sudah bersiap untuk berolahraga atau bahkan pergi ke pasar, tetapi saya baru akan tidur. Hah? Keesokan harinya saya akan kesiangan, mengantuk, menunda pekerjaan, lemas-tak ada gairah, dan saya mulai berkata, “Hari ini sungguh tidak produktif!
Tak ada hasil huft! No begadang again.” Dan malam pun datang, tapi lagi-lagi saya kalah dengan daging keinginan saya. Saya temukan diri saya kembali terpaku dengan eksistensi banyak orang di media sosial yang akhirnya selalu berhasil mendorong saya untuk lagi, lagi, dan lagi “tak mau kalah eksis.”
Siklus di atas inilah yang akhirnya membuat banyak resolusi yang saya buat di awal tahun 2018 hanya diam tak bergerak sedikit pun. Dan sampai di pertengahan tahun pun, saya masih mendapatinya belum bisa berganti nama menjadi pencapaian di tahun 2018. Saya berantakan. Saya tidak fokus.Saya hanya sibuk dengan tak-mau-kalah dengan orang lain di media sosial. Bisa anda bayangkan itu? Tak mau kalah di suatu dunia yang tak nyata.
Menggelikan. Saya terdiam, merenung, dan kemudian masih bisa berpikir secara normal. Pikiran saya secara cerdas menjelaskan kepada daging saya bahwa, “Heh kamu, iya, kamu. Kesalahanmu itu kamu hanya memenangkan kepuasan yang tak nyata. Kepuasaan yang kamu capai karena tak mau kalah eksis di dunia maya. Dan sadarkah kamu? Itu tak berdampak sedikitpun dalam kehidupan nyatamu, dalam memenuhi resolusimu. Semua mimpimu yang kamu angankan hanya jadi angan yang tak tersentuh.”
Saya mulai bertanya kepada Sang Pemilik Semesta, Dia berbisik, “Nikmati hangatnya mentari.” Saya bertanya-tanya, tak ada jawaban, dan akhirnya saya kembali terlarut dengan sesuatu bernama tak-mau-kalah. Lagi. Ya, benar lagi. Saya mengulang kebodohan saya untuk sebuah eksistensi yang palsu. Lalu saya kembali tersadar, tetapi tak ada hasrat untuk mengupayakan apapun untuk satu diantara banyaknya resolusi bisa dicapai.
Rasanya terintimidasi. Saya mutlak gagal di tahun ini. Tak berguna. Bahkan untuk memahami maksud bisikan Sang Pemilik Semesta pun saya tak bisa. Tetapi saya masih tetap saja sibuk dengan dunia yang tidak nyata itu. Meskipun saya sadar jika beberapa minggu lagi 2018 menemui hari akhirnya. Yasudahlah, maafkan saya 2018~
Tetapi tiba-tiba suatu hal terjadi. Malam itu saya melihat foto suntikan insulin ada di chat whatsapp. Tidak mungkin pikir saya. Apakah saya begitu tidak peduli dan sudah melewatkan banyak hal dalam kehidupan nyata saya? Saya belum siap untuk kehilangan seorang ayah. Kantuk saya lenyap, tetesan air mata berjatuhan di atas selimut berwarna merah berbunga, yang beberapa bulan lalu ayah saya kirimkan untuk memberikan kehangatan di kota perantauan ini.
Rasanya keinginan untuk tak-mau-kalah di beberapa media sosial beratasnamakan saya lenyap. Saya hanya ingin pria beruban itu sehat. Dan tiba-tiba selaput di pikiran saya terbuka, saya kini mengerti apa arti bisikan Pemilik Semesta, “Nikmati hangatnya mentari.” Ya, benar, sesuatu yang bisa dirasakan, yang bisa menyentuh kulit kita, dan bisa kita rasakan hangatnya.
Sesuatu yang nyata, yang bukan hanya ponsel yang bisa menikmati hangat dan keindahannya terbit. Sudah terlalu lama saya terlalu menganggap penting sesuatu yang tak nyata, yang sebenarnya tak begitu persis dengan aslinya atau lengkap. Bodoh.
Malam itu saya menelepon mereka, ehm maksud saya keluarga saya yang ada di seberang pulau. Terlalu malam, mereka sudah terlelap. Pagi sekali saya terbangun, saya kembali menelepon, dan saya menangis. Untuk beberapa hari saya muak dengan aplikasi media sosial, saya hapus mereka semua. Saya bertanya, “Apakah dengan cara ini masih ada kesempatan untuk saya menikmati hangatnya mentari di hidup saya?
Untuk saya menghidupi kehidupan nyata saya? Untuk ada kesempatan bagi saya lebih mengasihi ayah saya? Keluarga saya?” Berserah. Itu saja yang bisa saya lakukan. Buru-buru saya hapus semua resolusi yang saya harapkan bisa saya capai di tahun 2018, saya menggantikannya dengan satu harapan. Ya, harapan untuk ayah saya punya kesempatan hidup lebih lama bersama saya.
Dan ternyata saya masih punya kesempatan, beberapa hari sebelum terompet tahun baru ditiup, ayah saya dikabarkan semakin membaik. Suntikan insulin tidak jadi masuk dalam tubuh ringkihnya. Saya bersyukur. Dengan berbekal rupiah Tunjangan Hari Raya (THR), saya membelikan beberapa bingkisan khas asal kota perantauan. Ayah saya menelepon, saya tahu dia sangat senang, saya bisa tahu dari renyah tawanya. Terima kasih semesta. Terima kasih atas kesempatan berharga ini.
Dan kini, di tahun yang baru ini, tak lagi saya tuliskan banyak resolusi. Hanya satu resolusi saya, saya hanya ingin benar-benar menikmati hangatnya mentari di hidup saya. Saya ingin hidup nyata, mengasihi ayah ibu saya, keluarga, dan orang-orang yang ada di sekeliling saya.
Saya ingin membuat mimpi ayah saya untuk kembali ke kampung halamannya terwujud di tahun ini. Saya akan perjuangkan itu, dan perjuangan ini saya percaya tak akan membuat saya menyesal dipanggil dengan sebutan anak oleh ayah saya. Terima kasih 2018. Selamat Datang 2019. Be nice please. #ManusiaBolehBerencana
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”