Manusia itu Berteman Baik dengan Kebohongan

Menceritakan tentang paradigma mengenai kebohongan manusia

Sedari kecil kita diajarkan oleh keluarga, teman, guru, dan bahkan masyarakat bahwasanya berbohong bukanlah perilaku yang baik dan dibenarkan. Sampai sekarang pun, penulis sendiri setuju bahwa berbohong memang bukanlah suatu perbuatan yang dapat dibenarkan karena mengekspresikan hal yang bukan fakta bukanlah hal yang baik.

Advertisement

Jujur dianggap sebagai perbuatan yang baik dan patut dilakukan oleh semua orang, begitulah pikiran mayoritas manusia pada saat ini. Anak kecil pun juga akan setuju bahwa perbuatan jujur adalah perbuatan yang baik, perbuatan yang baik akan dibalaskan dengan perbuatan yang baik pula. Sayang sekali yang sering tidak disadari manusia ialah kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain belum tentu dibalas dengan baik oleh orang lain juga.

Penulis percaya bahwa perbuatan baik akan dibalas dengan perbuatan baik, tapi penulis juga percaya bahwa perbuatan baik kepada X belum tentu akan dibalas baik oleh X, bisa jadi dari Y kita menerima balasan dari kebaikan kita sendiri. 

Meskipun orang dewasa mengajarkan kepada anak kecil untuk bersikap jujur, kita semua sudah tahu bahwa anak kecil memiliki kecenderungan untuk perbuatan dan bersikap secara jujur. Justru orang dewasa yang lebih sering mengekspresikan kebohongan dibandingkan dengan anak kecil. Harapan orang dewasa terhadap anak kecil ialah agar anak kecil tidak mengulangi apa yang dilakukan oleh orang dewasa karena orang dewasa sudah mengalami dan tahu rasanya kehidupan dunia yang sangat kompleks ini. Ekspresi kebohongan yang sering diungkapkan oleh orang dewasa adalah berpura-pura. 

Advertisement

Berpura-pura merupakan bentuk mekanisme dari manusia untuk mempertahankan diri dalam hal berkata, bersikap, dan bertindak di hadapan manusia lainnya. Kita tidak bisa lepas dari kepura-puraan karena berpura-pura adalah kebutuhan manusia untuk bisa bertahan hidup terutama pada aspek sosial. Sebagai contoh ketika atasan memberikan pekerjaan kepada kita yang bahkan sampai membuat kita bekerja lembur dan melewati batas normal.

Pertanyaannya apakah kita akan menolak pekerjaan tersebut? Jawabannya adalah tidak, karena kita sadar bahwa gaji kita diperoleh dari bekerja kepada atasan tersebut dan sebagai bentuk kesopanan dan tanggung jawab kita terhadap pekerjaan, kita akan memilih untuk mengiyakan pekerjaan tersebut meskipun dengan keadaan menggerutu di belakang.

Advertisement

Kasus lain yang bisa dicontohkan ialah ketika dosen memberikan keringanan pada kita untuk melakukan magang, riset, dan sejenisnya. Namun yang terjadi di pertengahan tidak sesuai dengan perjanjian awal karena berbagai macam alasan yang sebenarnya bisa membuat mahasiswa muak. Meskipun begitu, sikap yang akan kita tunjukkan di hadapan dosen adalah sikap yang profesional alias berpura-pura karena jelas kita tidak mungkin akan melampiaskan segala emosi dan kekesalan kita terhadap dosen tersebut karena etika mengajarkan untuk selalu berpikir sebelum bertindak. 

Semakin kesini, semakin mengarah pada suatu pemikiran bahwa tidak ada yang salah dengan berpura-pura. Walaupun nanti dikatakan munafik, tidak jujur, atau bahkan penipu, pertanyaannya adalah apakah orang -orang benar-benar peduli tentang itu?

Berpura-pura ini bisa menjadi senjata kita untuk menutupi kekurangan yang ada pada diri kita sendiri. Kasusnya ketika kita menunjukkan kelemahan kita pada orang yang tidak tepat maka belum tentu reaksi dari orang-orang akan bersimpati. Terkadang ada orang yang meremehkan, mengucilkan, membanding-bandingkan, dan menghakimi kelemahan kita yang justru itu malah mengacaukan kondisi pikiran dan hati kita. 

Orang berpura-pura untuk tersenyum karena dia sadar, lebih sulit untuk menjawab pertanyaan apa kamu baik-baik saja? Daripada hanya tinggal mengerutkan bibir ke arah pipi hingga ekspresi wajah menjadi bahagia. Orang berpura-pura kuat dan tidak memiliki masalah di hidupnya karena dia sadar percuma menunjukkan kepada orang-orang bahwa ia sedang bermasalah karena orang lain juga tidak akan peduli dengan masalahmu sendiri.

Hanya kepada orang-orang yang tepat saja bentuk pengekspresian semacam itu dapat dilakukan. Orang yang benar-benar peduli terhadap masalahmu adalah dirimu sendiri, berilah ruang terhadap dirimu sendiri untuk memperbaiki diri dan menyelesaikan segala masalahmu sendiri. Bergantung pada orang lain boleh-boleh saja, namun orang lain hanya bertindak sebagai pemberi masukan sedangkan eksekutornya adalah diri sendiri. Mungkin hal tersebut sering dilupakan oleh manusia yang sering menggantungkan diri kepada orang lain. 

Orang dewasa yang sudah mengenal rumitnya kehidupan sebagai manusia pastinya memiliki berbagai strategi kepura-puraan agar ia dapat diterima statusnya di lingkungan sosial-masyarakat supaya kehidupannya menjadi lebih mudah. Pemikiran-pemikiran di atas memberikan sebuah kesimpulan yang bermuara pada sara rahasia untuk menghancurkan peraturan adalah dengan berpura-pura bahwa kamu sedang mengikuti aturan tersebut.

Meskipun begitu kita juga harus sadar bahwa berpura-pura tidak menjadikan dosa kita menjadi hilang. Orang lain akan mengira kita tidak berdosa atas suatu hal namun Tuhan membantu kita untuk menutup dosa dan kekurangan kita dengan cara-Nya yang diluar nalar manusia. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Melampiaskan hal yang tidak diungkapkan secara langsung kepada orang dan lingkungan sekitar

Editor

Penikmat buku dan perjalanan