”Nah gitu pintar, itu nurun dari PAPA kecerdasannya.”
”Gimana sih MA anakmu itu? Kok malu-maluin gitu.”
”KAMI minta maaf Pak sudah salah berasumsi.”
”Iya pak itu tadi SAYA yang mengingatkan, syukur deh jadi lancar acaranya.”
Merasa familier atau asing kah kita dengan beberapa kalimat di paragraf awal tulisan ini? Utamanya tolong diperhatikan kata dengan CAPSLOCK nya. Lalu apakah hal itu dekat dengan kita saat ini – di sekitar kita? Atau mungkin kita lah orang-orang yang pernah mengucapkan atau menerima pernyataan tersebut?
Kalimat-kalimat d iatas punya nada yang hampir sama, yaitu akan selalu berebut mengakui jika ada pencapaian atau prestasi. Lalu, saling melempar bahkan mencatut nama lain atau ”kita” , ”kami” ketika terjadi kesalahan atau masalah atau kekacauan. Yap, biasanya bapak-bapak atau ibu-ibu akan saling berebut mengakui anaknya ketika si anak tersebut berprestasi, dan kemudian saling menyalahkan pola asuh atau didik salah satu pasangan ketika anaknya melakukan suatu kesalahan – banyak sensasi minim prestasi.
Tidak hanya di dalam keluarga, di dalam lingkungan pekerjaan, organisasi, bisnis, atau pun pergaulan – circle tertentu juga pasti akrab dengan kebiasaan ini. Seorang rekan kerja atau teman pergaulan biasanya akan mudah menyebut nama kita atau kami ketika sesuatu hal berjalan tidak sesuai dengan alur yang dikehendaki atau direncanakan. Dan lalu akan dengan mudah mengatasnamakan pribadi untuk semua pencapaian yang sebenarnya dicapai dengan bantuan rekan kerja yang lain – kerja tim.
Padahal kadangkala orang yang disangkutpautkan atau dicatutkan namanya ini tidak benar-benar mengerti atau paham akan sesuatu yang terjadi. Sangat merugikan sekali bukan urusan pelempar-lemparan atau pengatasnamaan atau pencatutan ini (?). Well tentu saja iya. Lalu, gimana dong cara mengatasi pola perilaku yang meresahkan ini? Jika itu di dalam lingkungan keluarga, jika kita adalah anak sebaiknya kita ikut membuka suara jika kedua orang tua kita saling berebut mengakui kita ketika kita berprestasi dengan mengatakan ini, ”Ini bukan hanya hasil didikan papa, mama juga ikut mendidik aku. Bahkan kakak/abang/adik/ dan diriku sendiri juga berperan. Teman-temanku, dan terlebih Tuhan juga ikut membuat aku jadi seorang anak yang berprestasi dan membanggakan seperti sekarang ini.”
Namun, jika kita adalah anak yang telah membuat suatu kesalahan dan membuat keluarga kita geger, kita juga harusnya speak up. Katakan, ”Pa, ma, ini bukan sepenuhnya salah kalian, aku juga yang salah dalam mengambil keputusan. Aku kayaknya salah milih teman dan pergaulan. Sekarang aku hanya perlu dukungan dan bukannya papa mama saling menyalahkan. Kita koreksi diri semuanya.”
Berusahalah dewasa sebagai seorang anak, toh kata banyak orang bijak dewasa itu tidak ditentukan umur, kan? Jadi jangan hanya dewasa dalam cara bergaul dan memilih pilihan hidup, dewasalah juga dalam mengkomunikasikan banyak hal dengan kedua orang tuamu, terlebih ketika urusan catut mencatut – akui – mengakui ini mulau muncul ke permukaan kehidupanmu. Lalu, bagaimana dengan lingkungan pekerjaan, organisasi, bisnis, atau pergaulan? Ya, sama juga. Harus berani ngomong.
Jangan pernah takut berpendapat karena takut terjadi perdebatan yang mengarah sampai ke pertengkaran. Karena sangat tidak masalah jika kita hidup sebagai makhluk sosial yang bergaul dengan orang lainnya untuk akhirnya mengalami perdebatan atau bahkan pertengkaran. Itu adalah sesuatu yang wajar, karena bisa membentuk kita sebagai pribadi yang lebih berpengalaman hidup di dunia yang memang keras ini – untuk akhirnya semakin kuat dan tangguh menjalani kehidupan – ya, saling menjamkan sesama manusia sebagai makhluk sosial.
Jangan beraninya hanya ketika ngomongin orang lain – ghibah, tapi lalu tidak punya nyali untuk menyuarakan hal-hal yang tak sesuai dengan kenyataan dimana akhirnya nama kita atau teman kita disangkutpautkan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak kita ketahui. Sadari juga bahwa tidak semua perkataan yang terlontar untuk menyuarakan hal-hal yang tak benar itu selalu akan menimbulkan perdebatan dan pertengkaran loh, itu semua kembali kepada cara komunikasi kita. Iya, cara kita memilih kata – bahasa yang tepat.
Menegur sih, tapi harus dilandasi dengan pandangan yang benar. Dimana tujuannya bukan untuk mempermalukan pihak-pihak tertentu yang ditegur, tapi untuk mereka akhirnya bisa bersikap fair, dengan mau mengakui jika dia lah sendiri yang berbuat kesalahan tanpa mencatut teman lainnya, dan mau mengakui kerja tim ketika sebuah ”proyek” menghasilkan buah yang manis – berhasil. Jadi, setelah membacanya mulai dapat pencerahan belum? Oh ya ini masih dari sisi kita yang dicatutkan atau diatasnamakan, lalu bagaimana jika kita lah pelakunya dan orang-orang disekitar kita – keluarga ataupun lingkungan pertemanan kita tidak pernah speak up atau menegur kita tentang ini?
Maka, ambil waktu sendiri di waktu libur atau me time untuk benar-benar berkaca – mengoreksi diri. Dan jika kita menyadari ada kebiasaan ini dalam diri kita, cepat-cepat perbaiki. Jangan hanya sebatas berjanji untuk memperbaiki atau merubah. Tapi, punyailah komitmen untuk mengikis bahkan melenyapkan kebiasaan yang sungguh sangat merugikan orang di sekitar kita ini dengan tempo secepat-cepatnya. Have a nice day!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”