Masih teringat persis betapa teriknya matahari di hari Minggu, 05 Maret 2017. Sebagai seorang anak magang di perusahaan media, merupakan tantangan yang menarik bagi saya untuk bertugas di salah satu event jazz tahunan di Indonesia.
“Ayo, siapapun boleh ikut lomba ini. Kapan lagi bisa memenangkan hadiah ke Seoul, Melbourne, dan London!”, tiba-tiba terdengar begitu jelas suara MC dari booth salah satu maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. London? UK? Hal yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah empat sosok dari Liverpool yang berjalan menyeberangi Abbey Road. Lalu, menyusul muncul Harry Potter, Holmes, dan berbagai imajinasi terkait UK lainnya. Sejak kecil, UK memang menjadi salah satu negara impian saya.
“A dream is a wish your heart makes”, kata Cinderella. Entah apa yang mendorong saya hari itu, saya mendekat untuk mengambil selembar kertas berisi syarat dan ketentuan lomba. Berulang kali saya membacanya sebelum akhirnya saya merasa layak untuk mengikuti lomba tersebut. Segera saya mendaftar dan diberikan kantong plastik untuk mengumpulkan sampah seberat mungkin.
Now what? Setelah saya berdiri memegangi kantong plastik tersebut, saya terdiam. Mengumpulkan sampah? Tentu mudah kalau lokasi pengumpulannya di tempat pengelolaan sampah. Tapi di sini? Tempat yang didatangi kaum yang kebetulan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya sudah ada. Saya melihat sekeliling dan tidak menemukan satu sampah pun.
Beberapa peserta lomba mengais tong sampah. Pikiran-pikiran seperti “Haruskah saya seperti mereka?” dan “Apa seadanya aja ya? Malu dilihatin banyak orang..” mulai muncul. Namun, mengingat hadiah utama ke London, semangat saya kembali terbakar. Saya sudah terlanjur nyemplung ke dalam lomba sehingga saya harus melakukan yang terbaik.
Kriteria pemenang ditentukan dari sampah terberat yang dikumpulkan. Sampah tak boleh berisi zat lain di luar berat kemasannya. Saya memutar otak, mencari ide bagaimana bisa menang. Aha! Saya mendekati kios bir. Tanpa ragu, saya meminta izin untuk membersihkan belakang kios tersebut dari sampah-sampah beling yang berserakan, dan dengan senang hati penjaganya memberikan sampah-sampah tersebut pada saya. Dalam sekejap, kantong saya langsung menjadi berat.
Ada lima kios bir yang tersebar di arena seluas ribuan meter itu. Dengan berpeluh, saya kelilingi untuk meminta sampah beling dari setiap kios. Ketika sudah semuanya saya kelilingi, saya kembali lagi ke kios pertama untuk mengambil sampah botol yang baru. Dilihat banyak pasang mata? Tentu. Saya hanya tersenyum kecil menanggapi beberapa celetukan dari orang-orang sekitar.
Satu jam berlalu. Kantong baru terisi ¾-nya tapi saya sudah tidak kuat. Terlihat ujung kantong sudah mulai jebol. Daripada tamak, saya memutuskan untuk menyerahkannya saja. Saya sendiri tak habis pikir ada kekuatan apa yang membantu saya. Padahal, saya tipikal anak yang biasanya tidak kuat mengangkat beban berat. Tetapi, hari itu saya mampu melampaui batas. Saya berulang kali mengelilingi arena event dengan membawa sampah seberat hampir delapan kilogram. Setelah panitia menimbang kantong saya, saya langsung bertugas kembali. Nothing to lose, yang penting saya sudah berusaha maksimal.
Saat sedang asyik menikmati musik, ponsel saya terus berbunyi. Samar-samar terdengar bahwa saya diminta datang ke booth sekarang juga. Saya melangkah dengan optimis ketika nama pemenang utama dengan hadiah tiket PP Jakarta-London dipanggil. Ya, saya menang! Malam itu saya masih terpana. Saya, yang belum pernah naik pesawat ini akhirnya pertama kali akan naik pesawat. Dan London! Destinasi impian banyak orang di dunia.
Keesokan harinya, saya bergegas mengurus NPWP sebagai salah satu syarat pengambilan hadiah. Mengantri dari pagi, saya baru mendapat giliran di sore hari. Di situlah, saya banyak mengobrol dengan seorang pemuda. Sepengetahuannya, syarat untuk lolos VISA UK paling tidak harus memiliki uang tabungan 50 juta rupiah. Waduh. Saya dan orang tua saya mana punya tabungan sejumlah itu. Jangankan 50 juta, untuk kuliah saja saya harus berjuang mendapatkan beasiswa sambil bekerja sambilan.
Saya segera berdiskusi dengan orang-orang terdekat. Saya menjelaskan bahwa saya memiliki uang untuk perjalanan dan akomodasi selama di London, tetapi terkendala soal VISA. Berbeda orang, berbeda pendapat. Sebagian pihak mendukung saya dengan menyatakan kalau saya harus berjuang semaksimal mungkin, manusia harus punya mimpi yang besar. Namun, tak sedikit juga pihak yang kontra dengan menyatakan bahwa saya harus sadar diri dengan kondisi saya. Melalui banyak pertimbangan, saya mengikuti kata hati untuk mencoba sampai akhir. Saya pertaruhkan hampir seluruh gaji magang untuk VISA UK yang statusnya masih gambling.
Pencarian tentang London pun dimulai. Berdasarkan info di internet, mendapatkan VISA UK memang tidak mudah walau tidak juga mustahil. Beberapa orang lolos dengan saldo di bawah 50 juta. Akan tetapi, ada juga yang saldonya sekitar 50 juta dan masih tidak lolos. Yang penting, kita harus bisa meyakinkan pihak kedutaan akan tujuan kita dan punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan selama di sana.
Dengan mantap saya memutuskan untuk mengurus semuanya sendiri. Beberapa hal yang saya lakukan ialah membuat asuransi perjalanan, menerjemahkan dokumen, meng-issued tiket, serta memesan penginapan murah yaitu di Wisma Siswa Merdeka, penginapan milik Kedubes RI yang per malamnya hanya dikenai sekitar 230 ribu rupiah.
Saya juga menyusun itinerary dan berencana untuk pergi ke tempat-tempat yang gratis saja seperti taman, museum, dan jalanan yang ikonik. Mengenai estimasi biaya saya banyak dibantu oleh salah satu teman yang tinggal di UK.
Setelah menunggu 15 hari kerja, saya memutuskan datang langsung ke tempat pengurusan VISA di daerah Kuningan. Setelah mengambil nomor antrian, saya mengobrol dengan seorang ibu. Beliau optimis VISA-nya keluar karena telah meng-issued tiket dan sudah sering bepergian ke luar negeri. Betapa kagetnya saya ketika mata ibu tersebut berkaca-kaca setelah membuka amplop. VISA-nya ditolak! Harapan saya yang tadinya 50:50 langsung kandas. Ketika nomor antrian saya dipanggil, saya sudah yakin bahwa bukan stiker VISA yang tertempel di paspor saya, melainkan surat penolakan. Dan ternyata benar.
Dari awal, saya sudah berbesar hati karena kemungkinan ditolak pasti ada. Memenangkan tiket PP Jakarta-London merupakan hal tak terduga. Tiba-tiba hal itu saya genggam, dan tiba-tiba juga hal itu lepas dari tangan saya. Jika ada hal positif yang dapat diambil, tentunya ialah pengalaman dan pembelajaran.
Demotivasi? Tentu tidak. I believe that my dreams don’t turn to dust. Ini saatnya menyimpan sejenak mimpi saya dalam laci untuk ditulis ulang, yang mungkin akan menjadi lebih indah. Pengalaman ini justru memperkuat keinginan saya. Semakin besar harapan saya, alamlah yang akan menarik saya ke sana.
Mungkin saat ini saya gagal menginjakkan kaki di Abbey Road, melihat mumi, dan bermain dengan dedaunan di Hyde Park. Tapi dengan kehendak Tuhan, sewindu, sedasawarsa, atau entah kapan saya percaya saya akan menginjakkan kaki di tanah kelahiran Shakespeare.
Someday. Definitely Maybe, London.
#AyoKeUK #WTGB #OMGB
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”