Terlahir di dunia dengan tidak mengetahui hal apapun, memulai belajar dengan hal paling sederhana. belajar jalan, membaca alfabet, memanggil papa-mama untuk pertama kalinya, hingga berhitung 1-10. Semakin bertambahnya usia membuat konflik dan tantangan dalam hidupku meningkat, yang awalnya belajar cara jalan perlu dituntun orangtua hingga berada di posisi menjalani realita yang tak semudah seperti yang mama bilang Besok kalau sudah besar dokter ya.
Aku Shalla, umurku 20 tahun. Seorang mahasiswa biasa dari keluarga yang biasa-biasa saja. Oh ya, aku anak tunggal. Kalo ditanya rasanya sepi apa enggak jadi anak tunggal, gak kesepian kok rasanya biasa saja. Aku terlahir bukan dari keluarga yang berada, kekurangan juga engga sih, ya biasa saja. Dulu ayahku adalah seorang direktur di sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Sampai ada suatu kejadian dimana ia dijebak oleh rekan kerjanya sendiri dan pada akhirnya ayahku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang memiliki bakat memasak, apapun yang dia masak pasti enak walaupun baru eksperimen pertama. Semenjak musibah yang dialami ayah, perlahan-lahan dampaknya makin terasa. Tiga tahun pertama setelah kejadian itu, hidupku tidak banyak berubah. Namun pada tahun keempat dan seterusnya aku mulai merasakannya. Awal mulanya ketika aku mulai memasuki ke jenjang SMA, aku didaftarkan di sebuah sekolah swasta yang terkenal oleh ibuku tanpa sepengetahuanku. Setahuku sih sekolah itu memang untuk kalangan menengah-keatas saja. Kata ibu Gakpapa mahal yang penting kamu dapat ilmu yang baik dari sana.
Waktu sudah berjalan tiga bulan semenjak masa orientasi, entah kenapa aku merasa dijauhi teman-teman sekelasku. Beberapa minggu kemudian aku menyadari bahwa gaya hidupku sangat berbeda dengan mereka yang bisa beli barang apa saja, sedangkan aku harus hidup hemat karena keadaan ekonomiku. Tak hanya itu, beberapa orang mengejekku karena aku mempunyai tubuh yang gemuk dan memiliki wajah yang jerawatan. Semua itu membuat aku sedih, kesannya aku diterpa masalah secara bertubi-tubi tanpa dikasih waktu untuk nafas sebentar. Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku? Ataupun banyaknya masalah yang ku hadapi? pikirku saat itu.
Aku merasa lelah dengan semua omongan-omongan itu, jujur saja itu sangat mengganggu sekali. Hingga suatu saat pembagian rapor tengah semester pun tiba. Kamu kenapa? Ada masalah di kelas ya? Jujur saja nilaimu sangat berpotensi besar untuk tidak naik kelas jika tidak diperbaiki kedepannya, kata wali kelasku. Mendengar itu aku kaget sekali, tak pernah terbayangkan bahwa masalah ini bisa berakibat fatal kedepannya. Aku terdiam menahan rasa malu dan sedih, andai saja aku bisa berkata jujur bahwa aku merasa tertekan dengan lingkungan sekolahku kepada wali kelasku. Aku hanya bisa tersenyum depan wali kelasku dan berkata Tidak apa-apa bu, saya akan berusaha lebih keras lagi.
Bulan berganti tahun, pengumuman kenaikan kelas pun tiba. Jujur saja aku deg-degan, aku merasa beberapa bulan pasca pembagian rapor tengah semester tidak membuat suatu perubahan apapun terhadap akademikku. Namaku dipanggil, aku naik kelas. Aku senang sekali. Sesampainya di rumah, aku langsung menangis. Aku tidak menyangka telah melewati setahun masa-masa yang ku anggap masa terburukku.
Menjalankan liburan dengan gembira, aku diajak liburan ke Bogor. Beberapa minggu kemudian, hari pertama menjadi murid kelas 2 SMA dimulai. Kali ini aku kebagian sekelas dengan teman-teman yang sangat asik, tidak mengintimidasi, dan sangat friendly. Setengah semester berjalan dengan lancar, bahkan saat pembagian rapor tengah semester pun wali kelasku memberi tahu bahwa ada peningkatan nilai akademikku. Jelas aku senang sekali.
Merasakan kehangatan kelasku kali ini, hingga tiba saatnya dunia dikabarkan mengalami pandemi secara global. Pembelajaran dibuat secara daring saat itu, awalnya hanya berlaku dua minggu. Waktu tidak terasa berjalan cepat, nyatanya pembelajaran daring diadakan hingga aku lulus dari SMA. Aku sedih sekali merasakan kelas yang nyaman hanya sekitar enam bulan, tidak banyak memori yang bisa dikenang bahkan separuh memori anak SMA-ku hangus karena pandemi.
Mengikuti UTBK, tahun pertama aku gagal, lalu memutuskan untuk gapyear karena kondisi ekonomi keluargaku tidak memungkinkan untuk berkuliah di universitas swasta. Setahun aku lalui dengan belajar mati-matian demi masuk universitas negeri nomor satu di Indonesia. Kalau ditanya apa motivasinya, pertama karena disuruh orangtua, kedua gengsi keluarga. Setahun berlalu hingga saatnya tes UTBK lagi. Ya benar, gagal lagi. Mungkin karena kurang beruntung, kalau kata orang mah Hoki seumur hidup belum kepakai.
Terus mau gimana? Kuliah swasta apa mau ikut ujian mandiri PTN? tanya papaku. Aku memutuskan untuk mengikuti ujian mandiri universitas negeri setelah berunding panjang dengan papa. Aku belajar, sampai hari ujian tiba aku merasa percaya diri saat mengerjakannya. Hari pengumuman tiba, aku diterima di salah satu PTN di Solo. Gak nyangka sebenarnya seorang anak yang hampir tidak naik kelas dan gagal UTBK dua kali akhirnya masuk PTN.
Masa orientasi universitas semakin dekat, aku berangkat dari Jakarta menuju Solo. Perjalanannya panjang, aku memutuskan untuk tidur di mobil. Sampai pada sore hari, aku terbangun dan melihat kendaraan sekelilingku bukan ber-plat B lagi melainkan AD. Aku sampai di kota yang akan menjadi sahabatku untuk empat tahun kedepan.
Masa orientasi berlalu, memasuki masa kuliah dengan orang-orang dan lingkungan yang baru bagiku. Aku mulai melihat orang-orang dengan beragam latar belakang, karakter, gaya hidup, bahkan cara berinteraksinya. Beda sekali dengan kota asalku, aku agak kaget pada awalnya tapi lama-lama terbiasa. Aku mulai merasa nyaman, menurutku banyak sekali hal yang berbeda dengan kota asalku dan di sini.
Aku berbaur dengan banyak orang di angkatanku, dan aku menemui banyak orang yang mempunyai latar belakang yang mirip denganku. Entah mengapa aku merasa di sini tidak ada yang nge-judge aku. Dunia kuliah ini membuatku menjadi pribadi yang aku mau dan mengajarkan aku bahwa tidak perlu memikirkan gengsi dalam sebuah lingkungan. Hidup dalam kesederhanaan juga bisa membuat kita bahagia asalkan berada di lingkungan yang tepat. Sejauh ini, aku masih merasa bahagia hidup di Solo.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”