Dahulu hadirmu adalah bahagia sempurnaku…
Tahukah kamu seberapa dalam dahulu aku menyembunyikan perasaan ini. Senyummu yang bebas, candamu yang lepas membawaku hanyut dalam alam rasa. Semula sosokmu hanya berada di alam fantasi yang tak mungkin kuraih. Hingga akhirnya kau ungkap rasa yang kau miliki. Bahagiaku tak terbayang kala itu. Hanya air mata yang menjadi saksi doa syukurku atas hadirmu.
Hingga akhirnya kau mulai menjauh tanpa alasan yang kutahu.
Mantra-mantra cintamu menjadi semangatku dalam memacu hari-hari. Perjuangan-perjunganku kini tak lagi sebatas untukku, di sana telah kubayangkan ada kau bersamaku. Namun… semuanya perlahan bergerak berubah. Sedikit demi sedikit aku kehilangan senyummu, tawamu, ucap-ucap manismu senyap kian hari. Bahkan kau mulai membisu, berada di dekatku tapi seakan aku tak pernah ada di sana. Matamu memandang entah ke mana, saat sorot mataku selalu setia memandang punggungmu dari kejauhan, berharap kau menoleh dan menemukanku berdiri di sana. Hadirmu perlahan menghilang tanpa alasan yang kupaham.
Ketulusan… aku hanya memiliki itu. Namun… mungkin tulusku belum menemukan rumahnya di dalam dirimu.
Sungguh, kau boleh bertanya pada siapa pun, bahkan kepada Tuhan yang menitiskan cinta di hati para anak manusia; perasaan ini tulus padamu. Aku tak menyimpan niatan lain, atau mencari kesenangan melalui dirimu. Tapi… mungkin aku belum memiliki tempat di hidupmu. Tulus ini tak menemukan rumahnya dalam hatimu.
Hingga aku paham, ketulusan bukan berarti aku harus menggenggammu erat dan tak ingin pergi.
Ingin aku bertahan lebih lama, meski tanpa kau tahu, aku selalu meneteskan air mata di sudut kamar, mencoba mempertahankan hubungan ini. Mencoba memegang janji setia yang pernah kuucap padamu. Namun kian lama kisah ini bak kepingan cermin pecah. Semakin kugenggam, semakin dalam luka yang kurasakan.
Tulus juga berarti aku ikhlas ketika kau belum menerima hadirku dengan sungguh.
Dan aku paham… tulus bukan berarti aku harus bertahan denganmu yang mungkin belum menerima hadirku. Tulus juga berarti aku ikhlas melepasmu, untuk membiarkanmu menemukan kebahagiaan yang lebih baik.
Aku pamit… Pergi dari kisahmu. Menutup pintu yang dulu kau biarkan terbuka untukku, meski akhirnya kau membuatku hanya bisa mengintip melalui pintu itu.
Aku pamit pergi… Menutup pintu yang dulu pernah kau bukakan untukku, meski pada akhirnya aku hanya dapat mengintip melalui pintu itu tanpa pernah masuk ke dalam ruang hidupmu.
Lembar-lembar masa laluku, terima kasih telah mendewasakan hatiku.
Bagai sebuah buku, kau adalah lembar-lembar masa lalu yang harus kutempuh demi mencapai akhir yang baru. Meski kisahmu pernah menitip luka, namun itu membuatku paham betapa mahalnya harga sebuah kisah bahagia. Kisah ini mendewasakanku, tentang bagaimana hati berperan dalam poros hidup. Tentang bagaimana mahalnya sebuah ketulusan. Mengajarkanku untuk kelak menghargai ketulusan seseorang yang datang dalam hidupku.
Terima kasih.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
“Aku pamit… Pergi dari kisahmu. Menutup pintu yang dulu kau biarkan terbuka untukku, meski akhirnya kau membuatku hanya bisa mengintip melalui pintu itu.”
Dalam sangatttt… ???
Hhhh