Semuanya dimulai ketika pertama kali pindah ke Jakarta. Sebelumnya saya tinggal lama di kota Hujan untuk kuliah dan kerja. Anak rantau sudah terbiasa jauh dari orang tua sehingga tidak sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Tempat kos baru di Jalan Raden Shaleh, sekitaran situ deh, terkenal kok. Tempat kerjanya juga tidak terlalu jauh, cukup sekali naik metromini, menyusuri jalan Raden Saleh belok kiri kearah Cikini, setelah itu tak lama memasuki jalan teduh rindang, sisi kiri berderet toko koper dan barang barang antik, “Ya setelah lampu merah berhenti bang!!” bisik saya ke bang supir. Eh teriak deh, ya kali bisik-bisik. Hehhehe. Sebenernya saya ada motor tapi memilih kendaraan umum diawal kerja saya pikir pilihan bijak.
Tidak seperti biasanya, kala pulang kantor sekitar pukul lima sore saya berpikir untuk jalan kaki, biar sehat. Jika jalan kaki, tentu saja pilih jalan pintas lebih dekat, melewati warung kentucky ayam goreng diperempatan, belok kanan terus lurus sampai depan gang kosan. Jalanan agak sepi mungkin selepas hujan seharian ini, namun tepat sebelum gang kosan ada laki-laki bermain gitar di balkon lantai dua rumah bercat biru, “Suaranya lumayanlah enak didengar” gumam saya dalam hati.
Tidak begitu menarik perhatian saya karena wajahnya kurang begitu terlihat jelas, hanya terlihat mengenakan kaos biru celana pendek. Besoknya pulang kerja saya putuskan jalan kaki kembali, tentunya melewati jalan yang sama. Eh, ada si laki-laki yang gitaran kemaren sedang gantungin handuk, abis mandi kali ya. Kali ini lebih jelas, si laki-laki itu tinggi, kulit sawo matang, badannya berisi, bibirnya tipis dan matanya sayu. Ah, yasudahlah tundukin kepala takut sama godaan laki -aki yang gantungin handuk. Hehehhee.
Hari ketiga satu jam lebih cepat dari jam biasanya, kebetulan kerjaan sudah beres pula maka langsung bergegas jalan kaki seperti biasa. Tepat di rumah bercat biru sebelum gang saya nengok ke lantai dua balkon. “Laki laki yang gitaran kemana ya? Kok nggak keliatan. Oh mungkin masih kerja, karena biasanya saya lewat pulang kosan menjelang maghrib” gerutu saya. Ada sedikit perasaan kecewa? Ah nggak sih, saya mengelak dalam hati.
Setiap petang selama hampir dua minggu, saya pulang jalan kaki melewati jalan biasa. Kadang saya lihat dia gitaran dengan kaos birunya, kadang jemur handuk, gitaran lagi, jemur handuk lagi, gitu terus. Namun, satu hari dengan waktu yang sama menjelang maghrib, kali ini ia duduk senderan di balkon favoritnya dengan tatapan kosong. Saya hampir ikutan bengong, berhenti mengayunkan kaki, “Eh kenapa saya ikutan bengong” bisik saya dalam hati. Terlintas dipikiran kalau si laki-laki itu pun sering memperhatiakan saya, karena feeling seorang wanita tak pernah salah, Eeaaaaa.
Akhirnya tepat di minggu ketiga, kala itu hari jumat sore menjelang maghrib, rintik-rintik gerimis mulai turun namun tidak deras. Ia berdiri di lantai dua membelakangi jalan, saya berjalan pelan-pelan. Biar apa? Biar lama. Biar apa? Biar liat si laki-laki itu. Biar apa? Biar jadi jodoh. Hihiiii and then saya melirik ke balkon, tiba-tiba dia balik badan terus natap saya dari atas. Whuus angin jadi kenceng, mata kita saling beradu. “Mati dah! Ngapain juga ikutan nengok nih mata” dumel dalam hati, dia hanya mengangguk senyum kecil. Saya reflek lari penuh harap, semoga ini awalan yang baik. Hihihi
Jumat malam ini saya sengaja kosongkan jadwal bersama teman, menikmati secangkir teh ditemani rintik hujan dan tak sadar dipenuhi lamunan si laki-laki kaos biru favorit ujung gang. Terdengar suara gerobak nasi goreng langganan lewat gang, orang Raden Shaleh pasti hafal sama si nasgor satu ini. “Mas Van, saya nasi goreng biasa satu yaaa, bungkus aja nggak usah pake piring” Teriak saya depan teras kosan. Saya tak sabar, lapar sekali! Setelah saya dapat satu bungkus nasgor, penuh penasaran saya beranikan diri nanya sesuatu ke si Mas Van nasgor.
“Mas Van, udah lama kan jualan disini?” saya nanya penuh antusias.
“ya Mbak dah lama banget sebelum mbak lahir” sambil fokus ngaduk nasgor pesenan orang.
“Mas, tau yang rumah cat biru ujung gang? Itu lho yang rindang asri deket tulisan klinik-klinik gitu. Kalau dari sini sesudah depan gang” nunjuk ke arah yang sebenernya nggak jelas nunjuknya kemana, pokonya kesitu dan si masnya pasti paham.
“Oh, iyah yang mau dijual itu mbak” masih sok sibuk sama daun kolnya.
“koq yang dijual sih? ” Saya mengerutkan dahi
“Iyah yang dua lantai depannya pohon manga itu kan? Cuma itu rumah biru satu-satunya, belum sempet dipasang tanda JUAL nya mba kata orang” sambil ngaduk ngaduk nasi di wajan.
“oh mau dijual toh, yaahh pindah dong dia nanti” gerutu saya dalam hati.
“Mbak mau beli rumahnya? Udah kosong setahun lebih loh mba.” Nadanya semakin pelan.
“HHAH KOSONG?” Nada saya meninggi
“iyah, setahun lalu lebih, kecelakaan sekeluarga gitu mbak. Makanya dijual, kosong lama banget belum ada yang beli. Paling dijadiin klinik kalau ada yang beli” nadanya makin melemah.
Saya shock berat, terus selama ini laki laki itu siapa? Semoga memang yang jaga rumahnya. Saya menenangkan dalam hati.
“Mas Van, saya sering lihat laki laki berkaos biru dibalkonnya mas. Itu yang jaga rumah kali ya mas.” Bisik saya ke si Mas Nasgor.
“Mbak nggak mungkin, wong gerbangnya nggak pernah dibuka. Tiati mbak, duh sumpah saya jadi merinding mbak.” Si Mas Nasgor menoleh sedikit ke arah saya sambil megang pundaknya.
“Iya mbak kadang suka menampakan sih, berdoa aja mbak pasti aman koq” sahut ibu yang beli nasgor juga, ternyata beliau nyimak percakapan saya sama si mas Van.
“Maaakkkk….” Ya Allah ini perut tadinya lapar hilang sama sekali, yang ada nggak tidur semaleman. Seram, narik selimut. Besoknya saya kemas-kemas pindah kosan. Parno abis, syukur teman satu kampus dulu nawarkan kosan baru sekitar Salemba. Alhamdulillah nggak diikutin si laki-laki itu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”