Laki-laki itu akhirnya datang ke rumah. Sebuah kunjungan yang tidak biasa, aneh. Aku hanya diam dan sedikit canggung, mungkin malah cenderung pasif.
"Masuk mas," kataku kikuk.
"Di luar aja mbak," dia duduk begitu saja di kursi teras rumahku.
"Berangkat jam berapa tadi mas?" aku pun terpaksa duduk di kursi kosong satunya.
"Jam empat pagi mbak" kami diam, sama-sama sibuk dengan hape masing-masing.
"Ting" hapeku dan hapenya berbunyi bersamaan.
"Dari grup kita" katanya.
Dia mulai mencairkan suasana dengan membahas orang-orang yang kerja dengannya, bagaimana kemudian dia mendapatkan pekerjaan seperti sekarang sedang aku menyimaknya dengan seksama, aku mulai bercerita sedikit tentang diriku, tapi sepertinya dia tidak tertarik, jadi aku urungkan untuk bicara lebih banyak, entah apa maksudnya datang tiba-tiba.
"Mau kopi apa teh?"
"Kopi aja, mau coba dong kopi desa kayak apa."
Aku meninggalkannya begitu saja. Dari balik cendela aku melihatnya sibuk telpon sana sini, mengatur kiriman ini, juga kiriman itu. Aku tidak tahu apa tanggapan bapak ibu nanti kalau melihat ada laki-laki datang ke rumah seperti itu, apalagi dia tidak mau masuk ke dalam rumah.
"Ini kopinya …"
Dia masih menunduk memegang hape, membalas beberapa pesan, sesaat kemudian meletakkannya di meja. Dia mengambil sesuatu di saku, sebuah korek dan sebungkus rokok, menyalakannya sebatang, menghirup dengan pelan dan aku mendengar asap yang dilepasnya sedikit tergesa-gesa.
"Aku pernah menikah"
"Oh ya?" jawabku datar.
Dia tidak tahu, sesaat setelah dia mengirim pesan bahwa dia akan datang ke rumah pagi ini, semalaman aku tidak bisa tidur, begadang, mengobrak abrik semua status facebook satu persatu, penasaran dengan masa lalunya. Dia tidak tahu, bahwa aku sudah tahu semalam kalau dia pernah menikah.
"Tapi gagal. Aku bercerai tiga tahun lalu, sekarang aku dengan Sekar."
Sekar adalah perempuan yang pernah aku temui saat aku mengunjungi mas Handoko di event pameran kemarin lusa. Aku mengenal mas Handoko hanya lewat grup semata. Grup jalan-jalan online, tak ada yang istimewa, semua sama. Hanya memang intesitas komunikasi kami belakangan lebih sering karena mas Handoko akan ikut event pameran di kotaku.
Dia menanyakan perihal akodomasi dan ini itu kepadaku. Kemarin aku sempatkan mengunjunginya dua kali, sebatas kunjungan teman biasa. Dia bersama sekar dan dua orang anak buahnya. Aku sudah menduga bahwa Sekar adalah kekasihnya.
"Aku dan Sekar beda agama. Dia lebih tua tujuh tahun dariku. Namun dia sangat berarti besar dalam hidupku." katanya menggantung. Dia menghela nafas.
"Setelah bercerai, aku jatuh dan terpuruk. Sekar lah yang membantuku bangkit. Kamipun berjuang sama-sama untuk bertahan hidup."
Aku masih menyimak. Dengan pikiran yang carut marut menggelanyut dalam otakku. Kenapa dia harus cerita ini padaku?
"Aku dan sekar belum menikah, tapi kami serumah." rokok yang dipegangnya mulai habis. Dia memantik lagi satu batang.
"Kamu tahu kan, kawin beda agama di negara kita itu susah. Jadi kami memutuskan untuk tetap begini saja, entah sampai kapan."
Mas Handoko merokok lagi.
Aku hanya diam, tak bisa mengatakan apa-apa. Mungkin dia datang karena ingin memberi peringatan kepadaku agar tidak dekat-dekat dengannya? atau dia begitu saja ingin bercerita tanpa sebab?
"Hidupku rumit, Nu. Entahlah" katanya menutup, memanggil namaku tanpa mbak.
Dia menghabiskan rokok tanpa berkata-kata lagi. Aku melirik jam, tiga jam telah berlalu. Dia sepertinya tak kunjung ingin pulang. Aku mulai tidak nyaman. Terlalu lama berbincang dengan laki-laki di teras rumah, bukan hal yang baik untuk tetanggaku.
"Mas nanti kalau pulang lewat jalan pintas saja" kataku.
" Oh ada ya?"
"Iya, nanti sesudah rumah pagar abu-abu mas belok kiri. Ikuti saja jalan itu"
Dia mengangguk tanda mengerti. Sisa rokok dia matikan paksa di asbak, memasukkan rokok, korek juga hapenya ke dalam saku. Dia faham maksutku.
"Nu?"
"Iya mas"
"Kamu perempuan baik. Pasti ada laki-laki baik yang akan datang padamu, percayalah. "
"Amin. Pasti mas,"
Kemudian dia berdiri, mengambil jaket. memasukkan topinya ke dalam tas. Aku membututinya sampai halaman.
"Hati-hati di jalan" kataku tersenyum.
Dia tersenyum melihatku dengan tatapan yang aneh. Aku mulai mengerti bahwa ada perasaan yang tidak bisa kamu definisikan begitu saja dalam hidup ini, itu yang aku lihat saat menatap punggungnya pergi. Mas Handoko, laki-laki baik seumuran kakakku.
Tak banyak orang bicara jujur seperti mas Handoko. Mungkin dia merasa harus menjaga perasaan Sekar, itulah alasan dia langsung menjelaskan padaku. Agar dia tak salah langkah, begitupun aku. Aku tidak pernah mempertanyakan kenapa mereka tinggal serumah meskipun belum menikah. Bagiku, itu urusannya dengan Sekar.
Sejak pertemuan itu, aku tidak pernah lagi membalas chatnya dengan begitu antusias seperti sebelumnya. Meski di grup kami masih saling bercanda, tapi aku selalu mencoba membatasi diri, ingat dia jauh-jauh datang ke rumah untuk berkata jujur tentang dirinya, aku menghargai kejujurannya. Semua hal yang tidak baik bisa dicegah, sejak dini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.