Amang memandang sebuah gambar yang terpampang disekitar tempatnya. “Pembangunan desa kita ini semakin dikatakan maju malah semakin menimbulkan masalah, keresahan, dan rasa ketidak adilan.”
“Betul Mang. Apalagi sekarang banyak masalah sosial dan keterpurukan yang merenggut kupu-kupu desa kita.” Segi merebut.
“Tapi menurutku kupu-kupu desa kita yang cantik dan rupawan itu direnggut oleh ketidak adilan yang dibuat oleh suatu kelompok atau bahkan yang kita buat sendiri.”
“Maksudmu apa Mang?” Segi berupaya mengetahui.
Amang meregangkan tangannya kedepan. “Mereka itu korban ketidak adilan. Adil dalam artian luas. Bisa saja yang membuat ketidak adilan itu adalah diri kita sehingga kupu-kupu desa kita tidak punya pilihan lain untuk menyambung hidupnya. Sehingga mereka menerbangkan sayap-sayap indahnya.”
Segi hanya berdehem mendengarkan Amang.
“Kupu-kupu kita yang berterbangan setiap malam melakukan pencitraan kepada setiap bos-bos penguasa malam dan ada pula diantara mereka yang pura-pura menjadi bos. Kupu-kupu desa melakukannya karena direnggut. Kupu-kupu itu dijual. Kupu-kupu itu tidak menjual dirinya.” Amang tidak tega.
“Tapi kupu-kupu itu pesta kesenangan. Menikmati kepunyaan bos baik materil dan non materilnya.” Respon segi.
“Yang kita lihat itu adalah bungkus. Bukan isi. Bukan ruh. Yang kita lihat hanya kainnya saja. Fisiknya saja. Temukanlah ruhnya. Temukan apa yang mereka rasakan, derita, terzhaliminya, atas ketidak adilan yang kita ciptakan. Kupu-kupu itu korban dari ketidak suburan madu-madu yang kita produksi untuk mereka serap. Mohon maaf kita ini hanya mampu menyalahkan, tapi tidak memiliki kemampuan untuk mebenarkan. Itu yang banyak kita lakukan saat ini banyak menyalahkan kupu-kupu, tapi kita tidak berusaha menanam bunga agar mereka dapat menyambung hidup tanpa harus berterbangan setiap malam. Kita hanya bisa menilai buruk tapi tidak mampu melakukan perbaikan. Bahkan kita menyenangi keburukan sebagai objek menyatakan diri kita baik.” Amang melebarkan.
“Setiap malam berarti mereka dalam derita. Mungkin senyum yang kita lihat pada wajah mereka tapi mungkin dalam hatinya adalah kesedihan. Ohya aku ingat dengan sebuah lirik lagu. Mungkin lagu ini mewakili galian basa-basi kita. Kurang lebih liriknya seperti ini.
Ada yang benci dirinya. Ada yang butuh dirinya. Ada yang berlutut mencintainya. Ada pula yang kejam menyiksa dirinya. Kini hidup wanita si kupu-kupu malam. Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga.”
Segi menirukan lagu itu. Ia melanjutkan. “Mungkin lirik ini menggambarkan kisah kehidupan kupu-kupu desa. Benar juga apa yang kamu katakan bahwa mereka tidak menjual dirinya tapi mereka dijual.”
“Itukan lagunya band terkenal yang beranama Peterpan atau sekarang dengan nama Noah. Band itu kedepan bisa menjadi legend di Indonesia.” Amang mengingat pelaku lagu tersebut. “Kita fokus ke kupu-kupu desa kita. Yang membenci mereka juga mungkin adalah diri kita. Kalau bisa mulai sekarang kita hilangkan rasa benci kita. Karena mereka membutuhkan pertolongan kita agar mereka keluar dari kehidupan malam yang merenggut mereka. Kupu-kupu itu punya tanggungan hidup di rumahnya dan mereka setiap malamnya mungkin tidak pernah bahagia.”
“Iya selama ini kita sering menyalahkan kupu-kupu itu. Tapi kita tidak pernah mencari masalah yang sebenarnya. Toh juga yang pantas disalahkan adalah mungkin diri kita, terutama bos yang menggunakan sayap kupu-kupu, orang yang menjualnya, yang memenjarakannya.” Segi mulai memasuki kesadaran kemanusiaannya.
“Iya kalau kita tidak bisa mengeluarkan mereka dengan tangan kita sendiri. Maka setidaknya menyalahkan mereka jangan sampai keluar dari mulut kita. Sebaiknya kita memintakan kepada Tuhan agar hidup mereka selalu dalam kebaikan dan secepatnya keluar dari penjara batin mereka.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.