Aku memanggilnya dengan sebutan papa. Papa yang pekerja keras dan berusaha memenuhi kebutuhanku, kedua adikku dan ibu. Aku adalah satu-satunya putri yang dimilikinya. Tak jarang, papa lebih memanjakanku daripada kedua adikku. Sesibuk apapun beliau dengan pekerjaannya, papa senantiasa menyempatkan waktu membantu ibu untuk mengurus rumah. Pernah satu ketika aku bertanya,
“Emang papa gak capek? Senin sampai sabtu kerja, sekarang hari libur pun papa malah setrika baju?”
Sambil tersenyum, papa berusaha menjelaskan padaku yang waktu itu masih berumur 10 tahun.
“Lebih capek ibumu nak, yang tiap hari mengerjakan ini sendiri sambil mengurus kedua adik kembarmu. Papa hanya ingin menjadi berguna dan meringankan pekerjaannya. Kelak saat Ana sudah besar, tanpa disuruh harus bantu ibu ya?”
Kuanggukkan kepalaku seraya berjalan memeluknya. Sungguh, walau aku belum mengerti urusan orang dewasa, namun aku tahu papa begitu menyayangi kami.
###
Papaku mempunyai toko kue kecil-kecilan. Cake, donat, pastel dan berbagai kue tradisional lainnya terpajang di etalase toko kami. Toko tersebut terletak cukup jauh dari rumah kami yang berada di pinggiran kota. Papa pun mempekerjakan beberapa karyawan untuk membantunya membuat kue.
Disaat ayah teman-temanku yang lain memiliki hobi dan pekerjaan “lebih macho”, hanya papaku yang berbeda. Papa benar-benar suka membuat kue. Saat di rumah pun, papa lebih sering berkutat di dapur untuk membuatkan kami sarapan atau makan malam. Hasilnya tak pernah mengecewakan.
Teman-teman sekolahku pun sering kuundang main ke rumah dan aku akan meminta papa untuk menunjukkan “kebolehannya”. Bahkan mereka tak segan-segan lagi untuk memuji papaku.
“Wah, papamu hebat yaa Ana. Jago masak!”
“Iya, benar-benar. Beda sama papaku yang bahkan gak pernah nyentuh dapur sedikitpun”
Jika mereka sudah berkata demikian. Aku hanya akan membalasnya sambil tersenyum bangga.
“Iya dong, siapa dulu? Papaku!”
Tetapi itu dulu, sebelum kejadian itu terjadi. Kejadian yang membuatku menyalahkan diri sendiri lebih dari apapun.
###
Dua bulan lagi aku akan berulang tahun yang ke 17. Bagi remaja seusiaku, merayakan sweet seventeen seperti tradisi yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Aku pun tak sabar menanti hari itu tiba sebab ada hadiah spesial yang kutunggu dari papa. Sebenarnya, hadiah itu hanya kue. Aku jadi teringat percakapanku dengan papa satu minggu lalu.
“Ana mau hadiah apa dari papa?”
Aku yang saat itu sedang stres belajar untuk Ulangan Tengah Semester langsung sumringah.
“Papa mau memberiku hadiah yang kuminta? Bukankah selama ini papa selalu memberikan hadiah tanpa bertanya padaku?”
“Oh anakku. Papamu ini hanya ingin memberimu sesuatu yang benar-benar bisa membuatmu ingat selalu pada papa.”
Aku yang waktu itu tak terlalu memusingkan kata-katanya, langsung menjawab.
“Aku mau kue pa. Kue ulang tahun spesial buatan papa.”
“kue? Yakin kue yang Ana minta? Papa bisa memberikanmu sesuatu yang lebih baik dari itu nak, kalau-kalau kamu khawatir.”
“Tidak pa. Sungguh aku hanya ingin kue buatan papa.”
Entah apa yang membuatku mencetuskan ide hadiah kue ulangtahun saat itu. Aku hanya ingin kue buatan papa di hari spesialku, itu yang kupahami. Keinginan egois yang membuatku selalu memutar ulang kejadian hari itu, seandainya.
Hari ulang tahunku tinggal menghitung hari. Aku yang semakin sibuk dengan persiapan pestaku. Sedangkan papa yang sibuk dengan toko kuenya akibat kebanjiran pesanan untuk acara walimahan. Hampir tiap hari papa pulang di atas jam 8 malam. Aku tahu papa sering mendatangiku di kamar, mengelus rambutku, membenahi selimutku, dan mengecup keningku sambil mengucapkan “good night princess”. Namun, aku hanya berpura-pura menutup mata hingga pintu kamarku kembali tertutup. Aku baru sadar papa memang selalu melakukan ritual itu sedari aku kecil. Ritual yang tak pernah papa lewatkan. Kelak aku akan merindukannya.
###
Sekarang tanggal 5 Juni, ulang tahunku, bertepatan dengan hari Jum’at. Saat aku baru bangun tidur, kulihat ibu dan papaku telah ada di kamarku. Tak lupa mengecup keningku sambil mengucapkan selamat ulang tahun dan berbagai do’a.
Malam hari pukul 7, barulah pesta akan dimulai. Ini pesta yang kutunggu-tunggu. Satu hal lagi, pesta tak akan dimulai tanpa kue. Kue spesial buatan papa sebagai hadiahku di hari ini. Teman-temanku pun mulai berdatangan satu-persatu. Menyalami, memelukku, dan mengucapkan berbagai do’a untukku.
Jarum jam terus bergerak ke arah angka 8, namun papa tak kunjung pulang. Aku mulai gelisah sambil mondar-mandir tak karuan. Ibu hanya tersenyum sambil menenangkanku.
“Tenanglah nak. Papamu tak akan lupa pada janjinya sendiri.”
“Tapi ma…”
“Sudah, bersabarlah sedikit lagi. Ayo, sekarang kamu temani dulu teman-temanmu. Mereka pasti bingung kenapa belum dimulai juga acaranya.”
Kuanggukkan kepala kemudian segera berlalu meninggalkan ibu sendiri. Bahkan aku tak tahu bila ibu menyimpan kecemasan lebih besar daripada aku di balik senyumnya tadi. Hanya Tuhan yang tahu, apa yang ibu rasakan waktu itu.
Tiga puluh menit telah berlalu dari jam delapan. Akhirnya, pesta dimulai walau tanpa kue. Aku terus tersenyum, bernyanyi, dan bercanda bersama teman-teman. Tak ada yang tahu, hatiku benar-benar kecewa. Papa tak kunjung pulang hingga pesta mulai berakhir.
Pukul 10 lewat 30 menit, tepat pesta berakhir. Aku mendengar dering hpku yang memang kupasang khusus untuk papaku bila menelepon. Tanpa ba bi bu, langsung kuangkat telponnya.
“Hallo, papa? “
“…”
Saat itu juga, hp yang menempel di telingaku langsung terlepas. Kubiarkan ibu yang mengambil alih untuk berbicara di telepon. Aku terduduk lunglai di lantai. Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari bibirku. Hanya air mata yang meluncur deras dari kedua mataku, mewakili betapa hancurnya aku hari ini. Kesenangan di pesta ulang tahun tadi bersama teman-temanku tak berarti apa-apa lagi. Kini, hidupku tak sama lagi.
Papa yang selalu kubangga-banggakan di depan teman-temanku telah pergi jauh. Papa yang berjanji memberiku hadiah kue spesial buatannya tak ada lagi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”