[CERPEN] Kopi Terakhir

Entah hubunganku dengan Asri berujung kemana dan bagaimana, sungguh aku tidak bisa menebaknya sama sekali.

Rembulan malam turun menembusi dedaunan pepohonan di tepi jalan. Samar-samar sinarnya terangi malam-malam di kampung kami. Bunyi jangkrik melengking. Kelelawar dengan gagah terbang ke sana kemari mengerumuni pohon kapuk yang sedang berbuah.

Advertisement

Aku baru pertama kali bertandang ke rumah dari gadis desa di dusun tetangga. Kami mulai dekat selama 3 pekan terakhir. Perasaan takut lebih dominan muncul di dalam pikiran. Benar kata salah satu pemikir, entah siapa namanya, ia pernah mengatakan bahwa ketakutan terbesar adalah melawan pikiran sendiri.  Aku sering mengalaminya.

Dengan tergopoh-gopoh, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Aku termangu dalam diam. Gadis desa itu duduk dengan sungkan di ruang tamu. Padahal aku yang seharusnya  was-was untuk bertamu ke rumah tersebut. Aku yang awalnya bangga bisa bertamu dan bertemu ujung-ujungnya ikutan pangling.

"Kak, boleh saya seduhkan kopi" ujarnya di sela-sela kami diam tanpa satu kata. 

Advertisement

"Silakan, Dek. Tapi, jangan pakai gula , Dek!"pintaku. 

"Lho, kenapa tidak pakai gula, Kak?"

Advertisement

"Nanti kopinya kemanisan, Dek. Senyummu yang manis sudah cukup untuk pemanis dalam meneguk kopi." 

"Bisa aja lu, Kak.”

Ia pun ke dapur menyeduh secangkir kopi. Aku yang awalnya pangling perlahan-lahan mulai mengendalikan keadaan. Pertemuan kami sebelumnya terjadi usai mengikuti perayaan hari raya Natal di Gereja tua di paroki kami. Ia terlihat mentereng. Lain daripada yang lain. 

Tubuh yang lampai dipadu dengan kemolekan senyum yang indah bak peragawati. Matanya lentik seperti permata biru. Alisnya serasi. Bibirnya merah dan terlihat lebih gres. Pipinya ranum. Hidungnya mancung. Kulitnya putih seperti polesan pualam. Senyum kami berduel mesra dalam indahnya pandangan pertama.

Aku memberanikan diri untuk mengenal lebih jauh setelah perayaan malam Natal usai. Ingar-bingar bintang di malam Natal tonjolkan kemuliaan. Sementara umat yang lain sedang bersalaman satu dengan yang lain. Kami terbuai dalam obrolan demi obrolan. Aku pun meminta nomor teleponnya. Pertemuan malam itu tidak sia-sia. Komunikasi yang intens dimulai sejak itu. Belakangan aku baru tahu bahwa namanya Asri. Nama itu diberikan oleh kakeknya sesaat sebelum ia pergi untuk selamanya.  

"Kak, ini sudah kopinya.” 

Aku terperanjat. Lamunanku seketika sirna. Ingatan tentang pertemuan itu lesap. Aku pun menyeruput kopi yang ia sediakan. 

"Kopinya nikmat, Dek.” komentarku lirih.

“Itu kopi terakhir dari ladang kami.” Sekarang kami sedang memanen kopi yang tidak seberapa hasilnya. Lahan kopi yang tersisa lumayan membantu kondisi ekonomi keluarga. Setiap kopi mulai berbunga maka hati kami turut berbunga-bunga. Ekonomi keluarga sedikit terbantu dengan hasil kopi setiap musimnya. Apalagi di sini praktik ijon masih berlaku ketika sedang memasuki masa paceklik. Kopi mengajarkan  kami untuk merayakan indahnya harapan yang lahir dari hal-hal sederhana.

Ekses hasil kopi yang kurang pada 5 tahun lalu turut mendorong ayah untuk merantau ke negeri Jiran. Musim dureng ketika tanaman kopi sedang berbunga menjadi pemicu utama kopi gagal berbuah. Sementara di sisi lain praktik ijon tidak bisa dihindari. Sumber pendapatan keluarga berkurang. Ekonomi keluarga kalang kabut.

Ayah sebagai nahkoda keluarga kalap. Ia tidak ada pilihan lain. Beruntung ada tetangga dari desa sebelah yang menceritakan tentang sepak terjang Om Stanis. Om Stanis dikenal sebagai calo tenaga kerja ilegal. Berkat tangannya banyak orang desa merantau ke Kalimantan bahkan sampai ke negeri Jiran, Malaysia.

“Gaji setiap bulannya di atas Rp. 4 juta.”

 “Tidak sebanding dengan hasil kerja kita di sini. Untuk uang perjalanan ditanggung langsung oleh perusahaan” ujar Om Stanis.

Ayah terkesima mendengar penjelasan Om Stanis. Minimnya pengetahuan dan keterampilan untuk survive di kampung halaman melabrak nalar sehat dari calon tenaga kerja ilegal. Rayuan maut dengan iming-iming gaji tinggi ditambah dengan gaya berpakaian Om Stanis yang glamor berhasil membius ayahku.

“Tidak ada yang perlu dirisaukan. Semuanya pasti aman terkendali” lanjut Om Stanis.

“Sangat menjanjikan. Aku siap untuk berangkat ke sana” jawab Ayah.

Usai Ayah bertemu dengan Om Stanis, dua minggu kemudian Ayah berangkat menuju negeri Jiran bersama dengan 4 warga desa lainnya. Aku tidak tahu apakah Ayah berangkat dengan prosedur yang legal atau illegal. Sungguh aku benar-benar tidak mengerti sama sekali mengenai administrasi ketenagakerjaan.

Dari cerita yang beredar di kampung-kampung bahwa rata-rata tenaga kerja yang direkrut Om Stanis  hilang tanpa jejak. Bahkan, sebagiannya ada yang pergi membawa mimpi pulang membawa peti. Entahlah! Mereka pergi dengan iming-iming gaji tinggi, akan tetapi setelah tiba di tempat tujuan tidak ada lagi saling bertanya kabar dengan keluarga yang ada di kampung. Ayahku juga demikian. Ia tidak pernah membagi kabar untuk kami. Padahal ia sudah 5 tahun merantau di negeri Jiran.

“Aku turut simpati dengan kondisi Ayahmu” tuturku sembari menyeruput sisa terakhir kopiku yang sudah tampak dasar cangkirnya.Pertemuan yang awalnya digadang-gadang sebagai ruang temu romantis justru jauh pangang dari api. Niat untuk labui malam Minggu tak berlangsung sesuai ekspektasi.  

“Sekarang kami selalu berharap agar Ayah pulang meski tidak membawa apa-apa”

“Malam-malam kami berdoa agar Ayah pulang segera mungkin.”

“Kami sudah terlalu rindu.”

Kopi tersisa ampasnya. Suguhan kopi tanpa gula semakin pahit dengan alur cerita pilu dari Asri. Gadis manis berparas ayu itu matanya mulai sayu. Aku tahu bahwa ia memikul beban berat di pundaknya.

Aku tidak mau mengungkit lebih jauh. Apalagi sudah beberapa kali saya membaca informasi pada media cetak lokal tentang nasib tenaga kerja ilegal yang ditangkap karena ketiadaan dokumen yang lengkap. Sebagiannya ada yang meninggal dengan keadaan mayat yang tak lagi utuh. Sungguh aku tidak rela jika menceritakannya pada Asri.

Aku memilih pamit saat rembulan merangkak lebih jauh lagi. Bintang-bintang malam belum jua pamitnya. Sinarnya masih hiasi langit malam. Senyuman Asri tampak kaku. Aku pulang ke rumah dengan sejuta pertanyaan yang menggantung.

Seminggu kemudian aku membaca berita di media lokal tentang penangkapan jaringan perdagangan manusia. Wajah Om Stanis terpampang sebagai headline berita tersebut. Namanya disebut-sebut sebagai salah satu kaki tangan dari jaringan perdagangan manusia. Ia ditangkap di bandara ketika hendak memberangkatkan 5 orang calon tenaga kerja illegal. Jaringannya berhasil dibongkar usai salah satu keluarga dari calon tenaga kerja ilegal membuka mafia perdagangan manusia dan melapor pada pihak yang berwajib.

Nasib Om Stanis diujung tanduk. Ia dituduh terlibat aktif dalam jaringan perdagangan manusia. Putusan pengadilan tinggal menunggu penyelidikan lebih jauh dari aparat keamanan. Hotel perdeo siap menyambut kedatangan Om Stanis.  

Sementara Asri masih hanyut dalam harapan agar ayahnya lekas pulang. Ia menanti setiap waktu. Ia tidak lagi mengharapkan apa yang dibawa oleh ayah kelak. Ia sudah terlalu rindu untuk untuk menyeduhkan kopi bagi ayahnya, setidaknya kopi yang terakhir dari ladang kebanggaan mereka.

****

Setelah pertemuan yang digadang-gadang sebagai ruang temu yang romantis berjalan tak sesuai ekspektasi, aku kembali lacuri diri dengan aktivitas harianku. Sebagai petani pendatang baru, aku larut dalam kesibukan untuk bertani. Ladang kopi warisan ayah digarap dengan serius. Aku memiliki prinsip bahwa sekecil apapun hasil kopi yang diperoleh patut disyukuri sebagai berkat yang harus diterima. Aku tidak pernah jatuh hati dengan tawaran untuk  menjadi tenaga kerja di tanah Borneo apalagi di negeri Jiran, walaupun setiap akhir pekan berkeliaran calo tenaga kerja di kampung kami. 

Aku  menggarap ladang dengan peralatan yang amat sederhana. Sesekali aku hanya dibantu oleh ibuku yang telah memasuki usia renta. Beberapa kali sang ibu memaksakanku  untuk segera melepas masa lajang. Saking bersemangat untuk menggendong cucu, Ibu pernah menjodohkan aku dengan bunga desa di dusun tetangga. Tetapi, aku belum menemukan kecocokan hingga aku tidak menyetujui begitu saja tawaran dari sang ibu.

Suatu hari kala aku sudah hanyut dalam aktivitas harian, aku kembali membayangkan pertemuan yang  dijalani dengan Asri. Belum lesap dari ingatanku dengan beban berat yang ditanggung Asri dengan keluarganya. Aku kerap kali mengetahui tentang kabar yang berseliweran di surat kabar mengenai persoalan yang sering merundung tenaga kerja ilegal di luar negeri.

Simpati yang aku miliki begitu besar sehingga untuk sementara waktu aku mengurungkan niat untuk kembali bertandang ke rumah Asri. Bagiku akan terlihat lebih gagah jika membiarkan Asri untuk memikirkan persoalan yang sedang ia hadapi. Aku percaya bahwa Asri mampu menghadapi persoalan yang sedang mereka alami.

Penyelidikan pihak kepolisian membuahkan titik terang. Usai seluruh saksi yang terlibat dipanggil untuk dimintai keterangannya, aparat kepolisian melimpahkan kasus perdagangan manusia yang digawangi om Stanis ke pengadilan.  Pihak pengadilan tidak mengulur waktu lagi demi menuntaskan persoalan perdagangan manusia di wilayah kerja mereka. Apalagi pemerintah daerah mulai mendorong aparatur hukum untuk bahu-membahu membasmi mafia perdagangan manusia. 

Pemerintah daerah menyadari bahwa tindakan memberangkatkan tenaga kerja melalui jalur illegal merupakan benih-benih perdagangan manusia. Kini mereka berkomitmen untuk sesegera mungkin menjaring pihak yang terlibat di dalam mafia perdagangan manusia.

Sembari menanti masa sidang di pengadilan, om Stanis ditahan di kantor polisi. Nasib nahas yang dialami om Stanis semakin menggunung saat tak ada satu pun anggota keluarga yang datang membesuknya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Om Stanis tidak tahu musabab anggota keluarganya tidak pernah datang berkunjung.

Tidak hanya om Stanis yang dilanda pilu. Asri juga demikian. Besarnya harapan yang dimiliki Asri untuk segera menyeduhkan kopi terakhir untuk sang ayah tak dapat dibendung lagi. Asri sudah teramat rindu dengan laki-laki perdana dalam hidupnya itu.

Malam-malam Asri selalu memandangi bintang untuk mendaraskan doa agar ayah lekas pulang. Semakin ia menggantung harapan, semakin pula ia alami perasaan yang kurang enak. Entah perasaannya tersulut dari mana. Asri selalu merasa bahwa ada yang kurang beres dengan kondisi ayahnya. Jika dulu ayah tidak berangkat demi menyelamatkan ekonomi kelurga, mungkin hal-hal yang di luar pikiran Asri tidak pernah menghampirinya.

Tiba di suatu malam yang temaram, saat malam Minggu ia lalui berdua dengan Ibu di rumah, Asri mulai kepikiran dengan ruang temu yang gagal bersamaku. Asri mencoba untuk kembali menguatkan rasa yang hampir runtuh dengan menggalang keping-keping rasa yang masih tertahan. Asri sadar bahwa ia memiliki rasa yang tak biasa semenjak pertemuan yang gagal itu. Asri tidak boleh terus-terusan terhanyut dalam kesedihan.

 “Besok setelah ibadah di Gereja kita ketemu ya, Kak” tulis Asri dalam pesan singkat yang dikirim padaku.

“Iya, dek..”

Hati Asri berbunga-bunga membaca pesan dariku. Detak jantungnya tak seperti biasa. Ia sadar bahwa aku memang kelak menjadi sosok istimewa di dalam hidupnya. Usai pertemuan yang gagal pada beberapa waktu yang telah lewat, Asri mulai membuka hati untukku.

Keesokan harinya, usai mendengarkan inti kotbah dari pastor di Gereja, aku dan Asri mendapatkan setitik harapan yang baru. Inti kotbah menandaskan bahwa setiap orang wajib hukumnya untuk saling menghargai satu sama lain. Kami diajarkan untuk saling menghargai rasa antarsatu dengan yang lainnya.  Tidak boleh menganggap diri hebat hingga menganggap orang lain tak lagi kuat.

Siang setelah ibadah tampilan mentari begitu garang, aku dengan Asri menghabiskan waktu di samping gereja tua di tengah desa. Berbagai topik kami bahas. Mulai dari harapan yang tertunda, sekolah yang gagal akibat mahalnya biaya pendidikan, dan soal perasaan  yang telah bertumbuh di hati kami masing-masing.

“Bagaimana kondisi Ayah sekarang?” tanyaku di sela-sela kami sedang asyik membicarakan tentang rasa yang sedang dibina.      

“Ayah masih juga belum berbagi kabar.”

“Kami tidak tahu apakah Ayah masih hidup atau tidak” lanjut Asri.

Aku menarik napas dalam-dalam.  Aku tak lagi sanggup mendengar cerita Asri.  Rasa linglung berkecamuk di dalam pikiranku. Sungguh aku tak tahu apalagi yang akan diperbincangkan bersama Asri.

“Kamu harus tetap melangkah. Kita ditakdirkan untuk menjadi pemenang atas diri kita sendiri.”

“Jangan cepat menyerah.”

“Setiap cobaan pasti ada hikmah yang akan kita petik.” Aku menyusun narasi tandingan untuk menghibur duka lara yang melanda Asri. Di dalam pergulatan batin yang dialami Asri, aku sadari bahwa sekecil apapun penguatan yang diberikan akan mampu menghibur Asri.

Usai kami merayakan rindu yang tertahan, aku dan Asri pun kembali ke rumah masing-masing. Dekapan hari yang kian tergesa dan terengah di hari itu memaksakan kami untuk pamit undur diri. Alarm mentari yang kian meninggi mengalahkan semangat dari burung gereja yang sedang terbang ke sana kemari di halaman Gereja.

****

Putusan pengadilan sudah diketok. Om Stanis resmi menjadi tahanan. Ia diputuskan bersalah. Hakim memutuskan ia dipenjara selama enam tahun. Sebelum memasuki rumah tahanan, keluarganya sempat membesuk untuk memberikan dukungan moral buat om Stanis. Om Stanis tidak banyak berbicara ketika keluarganya datang. Mulutnya kaku seperti habis dipaku. Hakim memberatkan putusan karena dalam aksi yang dilakukan om Stanis banyak korban yang masih di bawah umur. Administrasi kependudukan dari korban dimanipulasi. Korban yang usianya masih 15 tahun dirubah menjadi 21 tahun. Pengadilan resmi menjatuhkan om Stanis dengan putusan yang berat. 6 tahun penjara.  

Hari setelah kami bertemu, Asri kembali merindukan sang ayah. Asri masih dirundung dengan rindu yang menggebu bak seorang pecandu yang tingkat ketergantungannya begitu tinggi. Tingkat percaya diri Asri perlahan-lahan mulai anjlok. Ia sudah tidak yakin kondisi Ayah sedang dalam keadaan baik-baik saja. Sayangnya, Asri tak punya pilihan lain untuk menanyakan di mana ia dapat mendapatkan informasi tentang ayahnya.

Dalam kondisi Asri yang semakin dilematis, aku mendapatkan kabar buruk untuk keluarga Asri. Aku mendapati informasi dari dinas tenaga kerja kabupaten bahwa dalam waktu dekat akan tiba satu kiriman peti mayat dari negeri Jiran.

Aku mencari lebih detail soal kejelasan jasad yang dikirim. Sialnya, setelah mencari informasi lebih jauh ternyata jasad yang dikirim merupakan ayah dari Asri. Aku kalap. Sungguh aku tak sanggup menceritakan kabar sialan itu untuk Asri, kekasih hatiku.

Sekuat apapun kebusukan ditutup akan tercium pula bangkainya. Asri akhirnya mengetahui bahwa ayahnya sudah tak bernafas lagi. Tetangga dekat mereka yang menginformasikan kabar buruk tersebut pada Asri.

Asri pupus semangatnya. Gadis desa yang memiliki pesona yang cantik itu pun murung. Kepergian sang ayah membuat ia hilang semangat untuk melanjutkan hidup. Ia benci dengan dirinya sendiri. Kepedihan semakin bertambah setelah pihak perusahaan yang mempekerjakan ayahnya tidak memberitahukan sama sekali apa derita yang dialami oleh ayahnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.

Setelah jasad ayahnya tiba, keluarga besar tak membutuhkan waktu lama untuk menguburkan jasadnya. Isak tangis dari keluarga mengiringi kepergian ayah. Asri tidak bisa berkata-kata. Aku hadir untuk menyatakan turut berbelasungkawa atas duka yang merundung keluarga Asri.

Di tengah situasi duka yang menyelimuti Asri, aku sempat berbisik untuk memberikan peneguhan untuknya. “ Tetap kuat. Kamu pasti bisa” bisikku. Asri hanya tertegun. Ia tak menjawab sama sekali. Matanya berbinar-binar.

Rasa pedih melanda Asri tampak dalam tatapannya yang hampa. Ia amat merasakan kehilangan, bahkan Asri gagal untuk menyeduhkan kopi terakhir. Kepulangan Ayah kali ini merupakan kepulangan yang tak diharapkan. Aku sadari duka yang dialami Asri membuat ia kian sukar menerima kenyataan yang terjadi. Entah hubunganku dengan Asri berujung kemana dan bagaimana, sungguh aku tidak bisa menebaknya sama sekali.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kopi Colol dan Sopi Kobok. Tinggal di Manggarai Timur, Flores. Amat mencintai tenunan Mama-mama di Bumi Flobamora.