Dulu, mungkin kita suka kesal jika melihat seorang ibu sedang memarahi atau bahkan memukul anaknya sendiri. Dalam hati kadang suka bertanya: Aduh, kasihan banget anaknya dimarahin dan dipukulin. Apa ibunya tidak bisa lebih sabar menghadapi anaknya?
Ya. Pertanyaan itu datang dari kita yang dulu belum pernah merasakan yang namanya merawat dan mendidik anak. Beberapa tahun kemudian setelah kita menikah dan memiliki anak, harus diakui kalau hal itu juga terjadi kepada kita. Hal di mana kita diuji dengan segala tingkah dan perilaku anak yang sering kali membuat kita kehilangan kontrol sehingga tanpa sadar kita membentak bahkan menyakiti anak secara fisik.
Hal ini tentu saja tidak dibenarkan dan tidak diperkenankan untuk dilakukan karena dapat berdampak buruk pada perkembangan anak. Tapi yang namanya orang tua, kadang rasa ingin marah itu ada dan itu wajar. Yang harus ditekankan adalah bagaimana kita bisa mengatur dan mengelola emosi kita agar anak paham akan kesalahannya dan tidak menimbulkan trauma pada anak.
Saya juga adalah seorang ibu yang dikaruniai satu orang anak yang sedang dalam masa aktif-aktifnya. Yang sedang senang mengeksplor segala hal yang ada di depannya. Yang terkadang tingkahnya membuat saya mengelus dada. Apa lagi jika anak saya mulai mencoba hal-hal berbahaya seperti mengambil gelas beling di meja dan melemparnya sampai pecah berkeping-keping.
Begitu mengetahui bahwa ada sesuatu yang pecah di dapur, refleks mulut saya ini langsung berteriak dan memarahi anak saya. Walau pun maksud dari kemarahan saya itu karena khawatir anak saya terkena pecahan gelas tersebut, tetap saja intonasi suara saya yang terkesan membentak sukses membuat anak saya menangis kencang. Padahal saya bisa memilih untuk menjauhkan anak saya dari pecahan gelas itu tanpa memarahinya. Padahal saya bisa memilih untuk menahan diri dan bersabar untuk tidak membentaknya.
Saat itu saya langsung sadar bahwa anak kecil apa lagi di bawah tiga tahun belum sepenuhnya mengerti apa saja hal-hal berbahaya buat mereka. Mereka belum kenal benda apa saja yang  bisa jadi melukai mereka, mereka belum paham kalau bermain di pinggir jalan raya itu berbahaya, mereka belum paham bahaya-bahaya apa saja yang mengintai mereka.
Saya bukanlah ibu yang sempurna, tetapi saya masih terus belajar untuk menjadi ibu terbaik bagi anak saya. Jika anak saya melakukan hal yang menguji kesabaran saya, sebisa mungkin saya menahan diri untuk tidak marah dan membentaknya. Stok sabar saya mungkin kadang naik turun. Tapi itu bukanlah alasan saya untuk membenarkan tindakan meluapkan emosi kepada anak.
Saya percaya, ibu-ibu sekalian juga diuji dengan tingkah laku anaknya masing-masing. Jika saya boleh berpendapat, bagi saya anak adalah guru terbaik bagi ibunya dalam mata pelajaran kesabaran. Dan ibu yang mampu melalui mata pelajaran itu adalah sebaik-baiknya murid. Salam buat ibu-ibu sabar dan hebat di luar sana.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”