Kisah yang Pernah Berada dalam Hubungan Toxic dengan Penggidap Narcissistic Personality Disorder (NPD)

Cepat putuskan mau bertahan atau tinggalkan!


Punya pasangan, teman, keluarga atau orang tua dengan gangguan Narcissistic Personality Disorder (NPD)?


Advertisement

Well nggak perlu khawatir, karena sebenarnya kalian nggak sendirian kok. Sebut saja namanya Tasha, gadis berusia 20-an tahun ini pernah menjalin hubungan dengan laki-laki yang mengidap NPD. NPD sendiri adalah gangguan kepribadian dimana seseorang merasa dirinya sangat penting, dan harus dikagumi.

Awal pertemuan, pacarnya ini adalah sosok laki-laki yang baik, sweet, romantis, pokoknya cowok idaman para gadis. Hubungan mereka baik-baik saja, sampai akhirnya cowok ini mulai menunjukan sifat aslinya. Setiap obrolan selalu didominasi oleh si cowok. Always about me, me, and me. Tasha nggak diberi kesempatan untuk menceritakan tentang dirinya sendiri dan bahkan dipaksa untuk mendengarkan ocehan cowoknya ini. Caranya bercerita pun berlebihan. Dia punya super power ,keturunan bangsawan, dan semacamnya. Awalnya Tasha mengira itu cuma sekedar bercanda, jadi Tasha nggak terlalu ambil pusing. Tapi lama-kelamaan sikap cowoknya ini semakin aneh.

Selain suka menceritakan tentang dirinya, cowok ini juga senang dipuji dan selalu menuntut perhatian lebih ke Tasha. Pujian dan perhatian adalah sebuah keharusan untuknya. Ketika Tasha nggak memuji cowoknya ini, atau nggak perhatian, maka dia akan menyalahkan atau merendahkan Tasha.

Advertisement


“Kamu ngayal ya?"

“Kamu sebagai pacar memang nggak berguna ya. Masa hal kayak gini aja nggak bisa sih?”

“Baju ini bagus deh. Beliin ya pas aku ulang tahun.”

“Kamu ini sensitif banget sih. Aku nggak pernah kok ngomong kayak begitu. Kamu salah dengar kali.”


Kata-kata seperti itu sudah sering Tasha terima. Lama-kelamaan Tasha jadi capek dengan hubungan mereka yang bisa dikatakan toxic ini. Sementara Tasha nggak pernah menerima apapun. Entah itu dalam bentuk perhatian, kado ulang tahun, atau lainnya. Nggak cuma itu, cowoknya juga selalu menyalahkan Tasha atas setiap kejadian yang sebenarnya bukan salah Tasha, membuat Tasha jadi ragu dengan dirinya sendiri, menuntut ini-itu, dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya Tasha baca sebuah artikel di internet tentang gangguan kepribadian NPD, dan setelah Tasha baca, ia sadar kemungkinan cowoknya ini mengidap NPD.

Advertisement

Semua jadi terasa masuk akal. Sifat cowoknya yang selalu ingin diperhatikan, nggak memedulikan perasaan orang lain, suka memanipulasi (gashlighting), memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan sendiri, dan sering merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain adalah ciri-ciri dari NPD. Namun hal ini nggak membuat Tasha serta merta memutuskan cowoknya. Ia sadar ini nggak akan mudah. Berpisah dengan orang yang kita cintai memang nggak pernah mudah. Tapi berlama-lama dalam suatu hubungan yang toxic pun juga nggak baik untuk kesehatan mental kita sendiri.

Tasha sadar sifat cowoknya ini secara nggak langsung udah memengaruhinya secara psikologis. Ia jadi merasa nggak dicintai, dan dihargai, kesepian, selalu menyalahkan dan meragukan diri sendiri. Intinya Tasha hampir nggak mengenali siapa dirinya lagi. Akhirnya dengan keyakinan penuh, Tasha mengakhiri hubungan mereka. Dan sesuai dengan dugaan Tasha, cowoknya nggak bisa menerima keputusan Tasha. Ia mengeluarkan segala macam argument yang semuanya menyalahkan Tasha, melontarkan segala janji, tapi Tasha nggak peduli. Keputusannya sudah bulat.

Setelah putus, langkah pertama yang dilakukan Tasha adalah memulihkan diri dari trauma akibat hubungan toxic ini, dan sampai sekarang pun Tasha masih menjalani terapi dengan Psikolog. Dari kisah Tasha ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Ketika kita berada dalam hubungan yang toxic baik dengan pasangan, teman, keluarga, bahkan orang tua, ada baiknya kita menjauh, atau menjaga jarak dengan mereka.


“Loh tapi nanti aku jadi anak durhaka, nggak berbakti sama orang tua?”


Kalau kata dr. Jiemi Ardian, psikiater RS. Siloam Bogor,


”Nanti dulu. Jadi anak yang sehat dulu itu lebih penting, baru setelah itu jadi anak yang berbakti.”


Menjauh bukan berarti kita memutus tali silahturahmi, apalagi dengan orang tua ya. Menjauh artinya kita memberikan ruang untuk diri sendiri. Kita perlu memahami gimana sifat narsistik ini memengaruhi hidup kita, dan memutuskan sampai kapan kita bisa bertahan dengan orang narsistik ini. Saran dari dr. Jiemi adalah ketika kita berada dalam hubungan dengan orang narsistik adalah membuat batasan (boundaries) supaya orang narsistik ini nggak bisa asal menerobos, karena pada dasarnya orang narsistik suka menerobos batasan yang sudah kita buat. Mereka jadi mudah mengendalikan kita, karena tahu apa kelemahan kita dan tahu gimana caranya bikin kita jadi merasa bersalah. Semakin tegas kita membuat batasan, maka semakin sulit orang narsistik untuk memanipulasi perasaan kita. Pokoknya, jangan sampai kita bergantung secara emosional dengan orang narsistik ini.


“Tapi aku yakin bisa mengubah dia jadi orang yang baik kok. Dia janji bakalan berubah demi aku.”


Well, mengubah sifat seseorang itu bukan tugas dan kewajiban kita. Yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri sendiri, dan memberikan saran ke orang tersebut. Mau atau nggak orang narsistik ini menjalani terapis dengan psikolog atau psikiater. Kalau memang dia mau dan ada keinginan untuk sembuh, mungkin bisa dipertimbangkan, tapi kalau dia menolak, lebih baik putuskan hubungan dan menjauh.


“Kalau hubungannya dengan orang tua gimana?”


Dr. Ramani Durvasula, guru besar psikologi di California State University sekaligus psikolog yang mendalami narsisme, dan penulis buku “Should I Stay  Or Should I Go? Surviving a Relationship with a Narcissist mengatakan,


”Jangan banyak berharap. Kalau orang tua nggak peduli denganmu waktu kecil, mereka tetap nggak akan memedulikanmu saat dewasa. Buang saja semua harapanmu. Solusi terbaiknya kadang dengan menjauhi mereka. Anggap saja orang tuamu tempat pembuangan sampah beracun. Memangnya kamu mau punya rumah di sebelahnya?”


Jangan mudah terpengaruh dengan embel-embel “Mau berubah demi kamu”. Keinginan untuk berubah itu harus berasal dari dalam diri sendiri bukan karena orang lain. Ketika orang yang jadi alasan perubahan itu sudah nggak ada, kemungkinan besar kebiasaan lama akan kembali lagi. Jadi berubahlah karena kesadaran diri sendiri yang ingin menjadi lebih baik.

Terakhir bangun self-love yang kuat. Dengan begitu, kita bisa melindungi diri sendiri ketika ada orang lain yang mau merendahkan kita, memanipulasi, atau mau memengaruhi kita secara emosional, kita nggak mudah terpengaruh. Self-love bukan berarti kita menjadi egois, cenderung lebih mementingkan diri sendiri. Self-love berarti kita mencintai diri sendiri, tapi juga nggak lupa untuk mencintai orang lain. Jika dirasa trauma yang dialami cukup berat, nggak ada salahnya buat minta bantuan ke profesional ya.

So, Do you want to stay with NPD people or let them go?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini