Sudah sekian lama aku menunggu di sini. Entah berapa lama, tak terasa. Hujan dan badai bahkan pernah juga rumahku kebanjiran aku berteriak hampir tenggelam tetapi tidak ada yang menghiraukan. Para tetanggaku hanya berkata dibalik dinding rumah mereka “Berisik sekali kamu, sudahlah nasib kita sama tidak usah mengeluh seperti itu,” ungkapnya.
Ya mau bagaimanapun dengan kondisiku yang sekarang rasanya sulit bagiku untuk beranjak. Jangankan pergi ke Mall, untuk hanya sekedar berdiri dan berjalan jalan di taman pun rasanya sangat sulit. Tetapi anjingku selalu setia menemaniku meskipun dalam auman kesedihannya.
Oh iya, perkenalkan namaku Nandar. Namun, mereka memanggilku dengan gelar lain yang sepertinya memang mudah sekali didapatkan. Aku tinggal di perumahan yang pasti bisa dijangkau oleh semua orang, kecuali perumahan di daerah Jakarta yang begitu mahal. Tempat tinggalku tidak begitu di perkampungan namun tempatnya begitu nyaman untuk beristirahat atau hanya sekedar tiduran.
Aku tidak akan pernah lupa kenangan beberapa bulan lalu, tepatnya di bulan Agustus di tahun lalu ketika aku pertama kali bertemu dengan anjingku yang cacat karena tertabrak motor. Pemotor itu hanya berhenti dan berkata “dasar anjing” aku yang melihat mengejar pengendara motor itu namun pengendara motor itu langsung lari penuh dosa. Karena tak tega akhirnya anjing itu aku bawa ke klinik hewan terdekat.
Petugas diklinik hewan itu sangat sigap dan cepat. Bahkan saking sigapnya luka si anjing dengan mudahnya diobati. Ya saya tahu dan saya paham memang tugas seorang dokter hewan itu mengobati bukan melukai. Tidak sepertiku yang hanya bisa menyakiti tanpa bisa memperbaiki semuanya.
Merasakan hal itu aku jadi teringat perkataan mantan pacarku dulu yang berkata bahwa aku itu seperti anjing. Tidak berprikemanusiaan, tidak punya hati, dan tidak bisa mengerti apa yang dia mau. Hujatannya menyentuh hatiku. Terkadang aku berpikir mungkin mantan pacarku dia pernah pacaran dengan anjing sehingga dia lebih mengetahui sifat anjing dari pada aku sendiri.
Beberapa bulan berlalu anjing yang selamatkan itu menjadi anjing yang sangat cantik atau mungkin tampan? Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana menentukan jenis kelamin anjing itu, sehingga aku tidak memberinya nama.
Hingga suatu saat hari itu tiba, tepat di bulan Februari di tahun ini aku bertemu lagi dengan seorang dokter wanita yang waktu itu merawat anjingku. Dia tersenyum kepadaku seakan dia ingat bahwa akulah superhero anjing yang sudah menyelamatkan anjingku ini dulu. Dia menyapa dengan senyuman manis.
Oh ya lesung pipinya seakan melubangi hatiku, kaca matanya dia perbaiki ketika merosot diatas hidungnya yang seperti gunung everst, kulitnya putih bersinar seperti matahari. Dia menanyakan kepadaku kabar anjingku, aku hanya berkata bahwa anjingku beranjak baik setelah pertolongannya dulu. Dalam hati aku berucap, ternyata dia lebih memperhatikan si anjing dari pada diriku, terkadang aku merasa ingin menjadi anjing agar bisa mendapatkan perhatiannya.
Berbagai pembicaraan terlontarkan dari mulut kami berdua hingga akhirnya kami memutuskan untuk berjalan bersama hingga sampai di rumahnya. Rumahnya tidak begitu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Bukan rumah dinas, tetapi rumah pribadi di sekitar kota. Setelah perjalanan panjang akhirnya kaki kita terhenti dan salam pamit darinya mengakhiri semua cerita panjang di jalanan ini.
Sebagai lelaki yang berniat modus aku meminta kontak teleponnya dengan alasan jika suatu saat aku menemukan anjing yang terlantar lagi aku bisa langsung mengontaknya dan anehnya tanpa banyak basa basi bibir merahnya mengungkapkan nomor kontaknya. Ya sebuah anugerah bagiku hari ini.
Hari demi hari kami lalui, seperti yang anda ketahui kita berpacaran. Ya mungkin bagiku ini merupakan langkah pertamaku dengannya. Baru pertama kalinya aku memiliki kekasih seorang dokter hewan. Biasanya jikalau tidak seorang mahasiswa, ya seorang pegawai swasta dan yang terakhir seorang model sebuah majalah. Memang dia mantanku yang paling cantik namun mulutnya setajam silet memanggilku seperti anjing merendahkan sekali.
Namun untuk yang kali ini sepertinya berbeda, sifatnya lembut, memang tak secantik mantanku yang seorang model tetapi ketulusan hatinya dapat aku rasakan. Entahlah, sepertinya aku ingin mengakhiri masa pacaran ini dengan komitmen yang lebih jauh lagi.
Musim panas berlalu hingga musim hujan kembali menjemput. Kita rencana akan bertemu ditaman kota yang sudah kita janjikan. Dengan penuh semangat rasanya aku ingin sekali dia cepat datang, dengan cincin pernikahan yang siap disambut oleh tangannya yang mulus, aku sudah siap mempersembahkan kepadanya. Hingga berjam jam aku tunggu lesung pipinya taksmedikit terlihat olehku.
Sudahlah mungkah dia lupa akan ada kencan denganku atau bagaimana? Aku mencoba berpikir positif bahwa dia bisa menjaga diri dan dia akan baik baik saja. Hingga satu jam selanjutnya kembali bergulir, keringat dinginku mulai mengalir mengikuti derasnya air hujan yang ikut melangkah didahiku.
Akhirnya aku menepi dan mencoba menelponnya “Halo sayang, kamu di mana? Kamu lupa dengan janji kita hari ini?” namun ternyata hanya teriakan dan tangisan yang aku dengar, “Sayang ada apa?” Sayang sayang?" Telepon dariku putus begitu saja, dengan rasa cemas akhirnya aku berlari, aku tahu ada yang tidak beres dengan pacarku. Tanpa berpikir panjang aku berlari bersama anjingku ke rumahnya.
Aku tidak peduli dengan mobil mobil yang berjalan begitu cepat aku hanya mencoba menyebranginya “Dasar bangsat, nyebrang hati hati anjing” teriak salah satu pengendara mobil. Tanpa berpikir panjang aku terus berlari dan berlari hingga aku merasa ada mobil yang menabrak tubuhku, tetapi aku tersadar itu hanya halusinasiku. Tubuhku masih baik baik saja aku masih berdiri dan melanjutkan perjalananku hingga akhirnya aku tiba di rumah pacarku.
Salam, sayang? Tok tok tok. Sayang? Teriakku didepan pintu rumahnya tetapi tidak ada jawaban dari dalam, ingin kudobrak pintu seperti di film film action tetapi apalah dayaku, sulit sekali untuk membukanya, akhirnya tidak ada opsi lain aku berputar ke pintu belakang dan benar saja, pintu kaca belakang tidak terkunci, aku mengendap ngendap di area dapur. Seperti insting seorang pria lainnya, aku mencari sesuatu untuk perlindunganku, akhirnya aku menemukan sebuah balok kayu yang aku bawa untuk perlindungan diriku.
Bletrak suara sesuatu jatuh di area ruang tamu. Akupun pergi untuk menghampiri namun betapa kagetnya aku melihat pacarku hanya terdiam duduk di kursi bersama seorang pria yang asing di mataku. Dia pria dengan kepal tangan yang besar sedang menangis sebari menutup matanya. Aku tidak tahu siapa dia, hanya saja aku melihat asbak dan piring-piring berserakan dilantai.
Mungkin saja telah ada perang antar mereka, aku hanya menepi dibalik dinding sebari mendengarkan pembicaraan mereka. Aku lupa di mana anjingku, apakah terlepas atau dia menungguku di taman? Entahlah aku hanya terfokus dengan pembicaraan mereka.
Hingga akhirnya aku tersadar, dia adalah pacar dari wanitaku. Mungkin dia pacar pertamanya dan aku hanya selingkuhannya. Atau sebaliknya? Aku tidak paham, yang pasti aku merasakan hatiku seakan dihujat seribu anak panah. Rasanya sakit tetapi tidak berdarah, tanpa banyak basa basi aku simpan balok kayu yang aku bawa.
Aku kembali ke rumah dan berharap bisa diam dan menyembuhkan lukaku sendiri. Hingga dalam perjalanan aku hampir saja terserepet sebuah ambulance namun dia dikejar oleh anjingku. Hei, anjing kamu kemana? Sahutku.
Anjingku hanya menggonggong sambil terus mengejar ambulan itu. Ya sudahlah aku hanya berjalan diiringi hujan yang seakan menembus tubuhku. Hingga aku tersadar ambulan itu berhenti tepat di depan rumahku. Dalam hati aku berteriak “Siapa yang meninggal?” aku hanya melihat ibu dan ayahku yang sedang menangis. Ditemani anjingku yang hanya terus mengonggong. Aku dekati dan betapa kagetnya aku melihat tubuhku yang sudah tak bernyawa dalam kantung kuning kepolisian.
Mereka berkata bahwa aku meninggal tertabrak mobil ketika akan menyebrang jalan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”