Bulan Juli dan Agustus ini, ada saja yang membuat ingatanku padanya begitu pekat. Bagaimana tidak, pada akhir Juli, tepatnya tanggal 24 Juli dengan pria pilihanmu, kau mantab menucapkan sumpah janji sehidup semati bersamnya.
Sudut-sudut kota, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi bersama dulu, serta bebauan mengenaimu menghampiriku bertubi-tubi. Aku tak kuasa menahan itu semua, nyeri dibuatnya.
Tahukah kamu, aku sudah cukup lelah dihantui bayang-bayangmu yang tak kunjung berakhir. Bagaimana aku bisa melanjutkan siklus hidup sepertimu di sana. Seperti orang-orang di sekelilingku. Gagal move on.
Beberapa hari lalu, aku melihatmu di akun media sosial facebook temanmu yang tak sengaja muncul di beranda seenaknya. Walau membuatku nyeri, tapi melihat senyum bersama putramu di satu sisi membuatku “adem”. Aku senang kau telah hidup bahagia.
Belum cukup sampai di situ, pagi tadi (21/08), ketika aku mencari berkas di ruang kerjaku sehelai kertas jatuh dari novel yang tak sengaja jatuh tersenggol dari rak buku. Mau tahu apa isi kertas itu? Walaupun hanya secarik kertas, namun ini membuatku terpental beratus-ratus meter jauhnya.
"Ya Tuhan, secarik kertas ini tulisan tangan miliknya," ucapku setengah berbisik sembari mengusap mataku yang tiba-tiba basah.
Awalnya aku tidak percaya akan apa yang aku temukan, karena kertas ini seingatku : kau berikan padaku pada awal tahun 2000-an silam, saat kita masih belia di desa.
Asal-Usul Secarik Surat Berisi Tulisan Tanganmu
Pada kesempatan ini, izinkan aku untuk menuliskan asal-usul kertas berisi tulisan tanganmu yang kutemukan dan ternyata masih tersimpan.
Ingatkah kamu? Jika tidak ingat, aku akan coba menguraikan kisahnya padamu. Kelak jika kau membacanya, anggap saja kau tengah membaca sebuah roman fiksi dari negeri antah berantah.
Tahun 1999 hingga 2003 silam beberapa kali setiap Sabtu dan Minggu aku "pulang kampung", maklum anak kos. Saat itu aku sedang menempuh pendidikan SMA di Kota Bandar Lampung, sekitar 3 jam perjalanan menggunakan moda transportasi umum dari desa kelahiranku. Way Gelam nama desaku, terletak di Kecamatan Candipuro, Kalianda, Lampung Selatan.
Beberapa kali aku melihatmu melintas di depan rumah saat berada di desa itu. Saat pertama melihatmu, jujur aku telah jatuh cinta padamu. Saat melihatmu dalam hati aku hanya berujar “Ya Tuhan, cantik sekali, siapa dia? apakah surga bocor?”
Tapi waktu itu aku belum terlalu “kepo” mencari tahu tentangmu. Setibanya di Bandar Lampung, bayangan wajahmu menggangguku bertalu-talu. Dimana-mana, kau seperti hantu.
Aku pun memutuskan mencari tahu saat kembali pulang pada minggu berikutnya. Saat itu aku baru tahu namamu “Maimunah”. Tapi orang-orang di desaku memanggilmu dengan panggilan “Mumun” si kembang desa yang tak pernah sepi dibicarakan. Harum namamu dibicarakan hingga ke dasa-desa lain.
Satu tahun selepas menyelesaikan bangku sekolah menegenah atas, aku memutuskan “menepi” di desa. Karena tak lolos seleksi anggota Polri jalur Secaba, alasannya, sedikit depresi. Bahkan karena itu, aku sempat melarikan diri ke Provinsi Banten, lontang-lantung di sana.
Singkat cerita, tahun 2004 aku memutuskan kembali ke Lampung dan lontang-lantung di desa, keluyuran tak karuan, jadi “sampah masyarakat” kalau kata orang-orang di sana. Melalui "perjuangan" akhirnya aku berhasil berkenalan denganmu, walau prosesnya pun dorongan teman-teman “seperbotolan”.
Aku sudah cerita padamu beberapa tahun lalu, aku ngebet berkenalan denganmu karena “taruhan” dengan teman-teman. Taruhannya begini : jika aku berhasil mendapatkan hatimu, aku akan ditraktir mereka minum sepuasnya, tapi kalau tidak berhasil, sebaliknya. Tanpa pikir panjang "siap," ucapku menerima tantangan mereka.
Pada suatu malam, ku beranikan diri berkunjung (apel) ke rumahmu yang terletak di pinggiriran desa, Bedelan, begitu nama dusunmu. Dengan rasa hati tak karuan, detak jantung pun seolah mau copot ku bernaikan berkenalan dengamu. Ingatkah?
Di bawah cahaya lampu temaram, pada ruang tamu rumahmu, kau menemuiki dengan ogah-ogahan. Terlihat betul dari sikap jutekmu, sifat khasmu. Bodohnya aku waktu itu, langsung melontarkan rasa cinta padamu tanpa basa-basi. Dorongan alkohol, membuat nyaliku bertambah puluhan kali lipat.
Walau endingnya tak seperti yang diharapkan, namun aku puas bisa mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku juga tahu pasti kau membaca mataku dan hatimu berkata “aku main-main mengungkapkan cinta padamu”.
Aku berjalan gontai dan kembali menghabiskan bergelas-gelas anggur setelah tak berhasil mendapatkan hatimu. Namun aku bertekad : "Tunggu, suatu saat, pasti aku bisa merebut hatimu," sumpahku.
Hubungan kita tak sampai di situ saja, kita berdua menjalin pertemanan. Bahkan beberapa kali kita bertemu walau bersama teman yang lain.
Aku ingat waktu itu ada pembukan pendaftaran baru CPNS, kisaran tahun 2004 atau 2005 kalau tidak salah (sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah).
Denngan hati deg-degan aku memberanikan diri menawarimu mendaftar lowongan itu bersama, walau jujur hanya sebagai “modus” semata agar bisa bertemu denganmu.
Saat bertandang ke rumahmu, apes, aku tak bisa menemuimu, jadi kutitipkan saja lembar pengumuman itu pada orangtuamu. Bicara mengenai orang tuamu, selalu menyambutku dengan tak ramah. Ya aku dapat memaklumi itu, karena "image buruk" yang melekat padaku.
Selang beberapa hari ternyata tanpa disangka kau mengunjungi balik rumahku. Namun juga belum beruntung, kau mengalami hal serupa, tak berhasil berjumpa. Nah, kau pun meninggalkan pesan lewat surat yang kau tulis spontan serta dititipkan pada kakakku. Hanya beberapa kalimat, nampaknya kau tulis pada secarik kertas folio.
Tapi sayang, surat pertama berisi tulisan tanganmu telah kuserahkan padamu bersama buku harian milikku beberapa tahun lalu. Ingatkah? Yang menjadi ciri khas, kau panggil aku dengan sebutan "Jelek". (Oh iya, bicara sebutan sayangmu ini, aku masih menyimpan cincin perak yang kau ukir untukku bertuliskan "Jelek". Tapi nanti aku akan ceritakan pada artikel lain)
Masih ingat isi surat yang kau tulis untukku? Surat itu berisi motivasimu padaku agar mengikuti formasi itu, jangan putus asa. Pont yang kedua adalah permintaan maafmu karena tak bisa mendaftar bareng dan berjuang bersama. Kau sertakan secarik kertas yang aku temukan pagi ini, ingatkah secarik kertas itu?. Namun siapa sangka, beberapa tahun kemudian malah Tuhan yang memberikan profesi itu padamu, yaitu PNS. (Proses ini nanti akan aku ceritakan lagi di lain kesempatan, karena aku ada sedikit andil).
Maklum zaman dulu, handphone menjadi barang mewah, hanya orang-orang berduit yang memilikinya. Jadi hiburanpun terbatas.
Aku masih ingat kegemaranmu menulis, baik itu puisi, lirik lagu dan lain-lain. Ingatkah kau? Lirik lagu yang kau tulis itu kau bubuhkan bersama surat pertamamu padaku. Masih belum ingat juga?
Aku tahu kau pasti tahu kebiasaanku “jrang jreng – jrang jreng” bersama teman-temanku tiap malam. Kertas satu lebar berisi dua lirik lagu sekaligus itu, kau tulis pada kertas yang sama (bolak-balik). Satu lirik berjudul “Kejujuran Hati” dari Band Kerispatih, sisanya “Demi Waktu” dari grup band Ungu.
Tahukah kamu, aku sangat bahagia sekali menerima surat dan lirik lagu yang kau tulis khusus untukku? Kertas itu selalu aku bawa kemana-mana saat nongkrong dengan teman-teman di desa.
Kertas itu selalu berada di kantung celana, kunyanyikan dua lagu itu untukmu setiap malam. Bahkan dengan sengaja, kadang aku bernyanti di dekat rumahmu agar kau bisa mendengarnya.
Entah apakah kamu mendengarnya? Semoga saja mendengar, tapi aku sangat senang menyanyikan lagu itu untukmu. Jika aku dapat menggambarkan suasana waktu itu, itulah "surga". "Surga bagiku".
Kita Tak Ditakdirkan Hidup Bersama
Itu sepotong cerita yang terlewatkan saat beberapa tahun kemudian aku bisa meraih hatimu, dan kita menjalin cinta. Seperti yang aku katakan dari awal, anggap saja kau tengah membaca novel roman dari negeri antah berantah saat membaca narasi ini.
Inilah kisah nyata kita. Salah satu kisah indah pernah mengenalmu dalam perjalanan hidupku.
Namun ternyata Tuhan memiliki rencana berbeda untuk hidup kita. Aku harus menelan mentah-mentah kenyataan pahit bahwa kau tidak ditakdirkan sebagai teman hidup. Pahit sih, namun harus kutelan utuh-utuh (takdir).
Perlu kau tahu, beberapa tahun ini aku sudah dapat menerima kenyataan pahit ini. Aku yakin, Tuhan memiliki rencana lain di depan sana untuk kehidupanku.
Terimakasih telah mengukir kisah indah bersama denganku di masa lalu, walaupun endingnya tak sesuai yang diharapkan. Namun kau harus tahu, "aku bahagia saat bersamamu".
Selamat berbahagia, hanya itu yang bisa kusampaikan. Lantunan doa selalu kupanjatkan pada Tuhanku demi kebahagianmu bersama keluarga kecilmu sekarang.
Masih ada kisah-kisah kita lainnya, aku berjanji akan menuliskan spesial untukmu (semoga juga bisa kubuat sebuat novel, untukmu). Tidak ada maksud untuk mengusik kehidupanmu sama sekali, kamu harus memakluminya.
Menulis, menjadi salah satu caraku berdamai dengan alam semesta, dengan jalan Tuhan untuk hidupku, (selain menaklukan gunung-gunung). Menyembuhkan hati yang sedang terluka, karenamu.***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”