Terpicu oleh postingan mengenai pasangan di media sosial, pikiranku memutar ulang ingatan semasa sekolah dulu. Ketika aku dan kamu disatukan sebagai teman sekelas, lalu kita saling menjahili. Yang satu menggoda, yang satu kesal. Yang satu kesal, yang satu lagi tertawa. Tetapi ada saat kita akur duduk berdua, saling membantu, mengerjakan tugas diselingi candaan. Kita pun mulai bertukar pesan dengan intensitas yang terus meningkat. Sambil diselipi kode-kode halus, mewakili perasaan satu sama lain.
Hingga suatu waktu kamu menyatakan perasaan kepadaku. Bertatap muka, tidak lewat perantara chat di hape. Aku terkesan dengan sikapmu yang berani. Meski kutahu pada waktu itu kamu gugup luar biasa. Cengiran dan kata-kata yang terucap dengan patah-patah sudah cukup membuktikan kamu salting. Tidak apa, aku juga begitu kok.
Sebelum kamu mengucapkan hal itu, aku sudah tahu lebih awal karena mendapat bocoran dari teman-teman dekatmu. Waktu itu aku gugup sekaligus tak sabar. Tapi lebih gugup lagi ketika mendengarmu sendiri yang mengucapkan kata-kata itu.
Aku suka sama kamu.
Aku tak menyangka momen macam itu terjadi juga di hidupku yang kuanggap monoton. Masih kuingat wajahmu yang penuh harap sekaligus waspada. Ingin kubalas penyataanmu dengan lantang, aku juga suka sama kamu.
Tapi lantas aku tersadar. Kita masih terlalu muda untuk mengenal suka dan cinta. Aku takut terlalu gegabah mengambil keputusan. Mengartikan perasaan ini sebagai rasa suka yang serius, padahal bisa jadi hanya cinta monyet. Berikutnya aku membayangkan jika kita menjalin hubungan, akan seindah apa hubungan kita. Serta memikirkan ketika ada masanya kita berkonflik kemudian berpisah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi orang asing. Ketakutan-ketakutan tersebut membuatku tidak berani mengambil langkah lebih jauh.
Satu-satunya jalan yang terpikir olehku ialah berteman. Pasangan bila bertengkar bisa putus, sedangkan teman meski bertengkar tidak akan bisa putus. Saling mendiamkan beberapa hari, selanjutnya sudah dekat kembali. Apalagi di kedepannya kita akan menjumpai dan berkenalan dengan banyak orang baru. Bagaimana bila ada orang lain yang lebih menarik dariku? Bagaimana bila kita merasa bosan dan lelah dengan hubungan kita suatu saat?
Aku tahu aku terlalu berpikir berlebihan dan tidak perlu. Belum mencoba menjalani sudah menyerah. Atau mungkin itu karena aku yang belum siap hingga menciptakan berbagai alasan? Entahlah. Hingga pada waktu itu aku memberikan jawaban yang menyakiti hatinya. Aku menerima perasaannya, tapi aku belum mampu menjalin hubungan dengannya.
Sebenarnya aku tidak tega melihatnya murung dan diliputi kesedihan. Sampai di rumah, aku menangis karena telah menolaknya. Beberapa hari telah berlalu, aku mendapat kabar dari temannya kalau dia belum bisa menerima penolakanku. Dia berpikir kalau aku kejam, tanpa dia tahu kalau aku juga punya rasa yang sama dengannya. Aku jelas tidak mungkin mengatakan aku juga menyukaimu namun detik berikutnya aku menolaknya.
Jadi, perasaan itu kusimpan sendiri tanpa pernah memberitahu padanya. Sampai saat ini. Aku tidak tahu harus menyesal atau bersyukur. Karena akhirnya kami tidak bisa menjadi teman dan tidak bisa pula menjadi pasangan.
Terkadang aku berangan-angan, apa jadinya jika dulu aku menerimamu? Apakah kita masih bersama sampai saat ini? Akan seperti apa kita menjalani hubungan tersebut? Menurut sebagian orang, kita cocok bila bersama. Ada-ada saja.
Pada saat itu, ketika dalam masa awal remaja yang diwarnai konflik khas remaja dan proses mencari jati diri, kamu lah orang pertama yang membuatku merasa layak untuk dicintai. Bila ada kesempatan, aku ingin berterima kasih karena sudah mengenalmu. Serta meminta maaf karena banyak menyakitimu dan membuatmu terlibat masalah. Tenang, aku tidak akan mempeributkan hubungan kita. Aku hanya ingin kamu menjalani hidup dengan bahagia.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”