Boleh aku beli waktumu, yah? Satu jam saja.
Aku tahu, menafkahi adalah kewajibanmu. Memenuhi kebutuhan istri dan anak adalah keharusan untukmu. Aku tahu kau laki-laki pekerja keras. Pantang bagimu diremehkan. Aku mengerti pekerjaanmu mengharuskan kau seharian di kantor. Atau terkadang meninggalkan kami untuk dinas keluar kota dalam waktu yang cukup lama.
Aku tak tahu serumit apa tumpukkan dokumen yang sering kali membuatku cemburu. Aku ingin jadi kertas-kertas yang mampu mengalihkan fokusmu dari sapaanku, hanya gumaman yang sering kudengar tanpa niat untuk menatap mataku.
Ayah.. waktu kita bertemu hanya di malam hari. Pagi jarang sekali aku berpapasan denganmu. Kadang aku masih di kamar belum siap mengenakan seragam, saat aku keluar kamar di meja makan ayah sudah tak ada lagi. Kata ib, ayah sudah berangkat. Hmm aku yang salah terlalu lama dikamar. Pulang sekolah, ayah masih di kantor. Jam berapa sih kantor ayah membatasi waktu kerja karyawannya? Aku pernah menunggu, lewat pukul lima. Kadang sampai aku terlelap, ayah tak kunjung pulang. Rumah tak lebih hanya sebatas tempat untuk tidur bagimu, yah.
Weekendmu adalah hak ku bukan tumpukan dokumen itu.
Kebahagian tersendiri bagiku, saat weekend tiba. Ayah tidak berangkat ke kantor. Banyak yang ingin aku sampaikan, banyak yang ingin aku ceritakan dan banyak yang ingin aku tanyakan.
Segelas teh dan setoples cemilan yang aku buat tadi siang bersama ibu, kuletakkan diatas nampan. Aku melangkahkan kaki ke ruang tengah , karena ku lihat ayah ada di sana . Kuletakkan nampan yang ku bawa di meja di hadapanmu. Ayah sedang menelpon seseorang, mungkin dengan rekan kerjanya. Aku duduk di sampingnya. Tangannya yang bebas merangkul bahuku. Membelai pucuk kepalaku. Aku rindu momen ini. Aku seperti terlahir sebagai bocah kecilmu lagi.
Dengan sabar kutunggu sampai ayah selesai dengan urusannya. 15 menit, 30 menit sampai 1 jam tak ada tanda ayah selesai menelepon, membahas urusan kerja. Ayolah, yah, ini hari libur. Sabtu dan minggumu adalah milikku. Waktumu bersamaku. Menebus lima hari yang selalu kau habiskan dengan rekan kerja dan tugas-tugas kantor yang tak pernah selesai. Aku kesal. Aku lepaskan rangkulan tangan di bahuku dengan sedikit hentakan. Ayah menoleh melihat aku yang beranjak pergi dari sisinya. Sepertinya dia sadar akan kesalahannya. Samar kudengar dia mengakhiri urusannya. Huh, kenapa tidak dari tadi. Apa aku harus bertingkah tak sopan tuk menarik perhatianmu, yah?
***
Dua puluh tiga tahun kemudian, ayahku masih sama. Laki-laki gila kerja. Workaholic garis keras. Masih suka membawa tugas kantor ke rumah. Aku salut pada ibu yang bisa menerima sikap ayah yang lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga. Aku bosan merajuk atau protes dengan sikapnya yang seakan mengabaikan kami. Jawabannya selalu sama,“ayah kerja buat kakak sama ibu”. Ayah terlalu sering membuatku kecewa dengan janji-janji yang selalu diundur dan ujung-ujungnya batal terealisasi dengan alasan yang sama, ada meeting penting dikantor, ada masalah dikantor, ayah gak bisa ninggalin kerjaan. Omong Kosong. Terserah ayah jika pekerjaan lebih penting dari anak dan istri, maka nikmatilah, yah. Ayah hanya akan menyesali waktu yang telah terbuang begitu saja. Seharusnya ayah mengumpulkan banyak kenangan bersama aku dan ibu bukan memupuk moment bersama kertas-kertas itu.
Jika ayah mengira kebahagian ku cukup dengan uang yang ayah beri, ayah salah. Aku tak menginginkan hidup bergelimang harta jika harus mengorbankan kebersamaan kita. Aku terima dengan lapang dada hidup sederhana tapi penuh kasih.
Ayah, aku senang ketika ayah naik jabatan. Itu artinya ayahku hebat, kerjanya diakui. Aku bangga pada ayah. Namun aku sedih, ayah tak menepati janji. Ayah bilang sesibuk apapun nantinya, waktu untukku tak akan berkurang. Nyatanya? Ayah sampai lupa hari ulang tahunku. Aku tak berharap pesta atau kue ulang tahun super mahal. Hanya doa ayah seperti biasanya, yang akan mencium keningku dan selalu bertanya,“Kakak, mau jadi apa di umur yang baru?” atau sekedar nasihat,“Kakak, bertambah umur ibadahnya harus tambah baik ya, jadi kebanggan ayah dan ibu.“ Jika aku tak terus mengingatkan, mungkin saat hari wisudaku ayah juga akan berangkat ke kantor. Hah, aku bersaing mendapat perhatianmu dengan benda-benda tak hidup.
***
Ayah, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dikantor.
Ayah saat kamu sakit, bukan dokumen-dokumen itu yang menemani. Bukan rekan kerjamu yang akan mengurusmu. Tapi anak dan istrimu. Yah, sisakan setidaknya satu hari dari tujuh hari yang selalu kau habiskan ditempat kerja untuk anak dan istrimu. Ayah, aku menyayangimu. Doa ku untuk mu selalu sama. Semoga Allah selalu menjagamu. Karena aku dan ibu hanya memiliki beberapa jam dari 24 jam yang kau miliki.
Putrimu yang menunggu ayah dirumah
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.