“Orang hanya akan percaya pada apa yang ingin ia percaya. Jadi sudahlah, abaikan saja apa kata mereka yang bisa menghancurkan hidupmu.”
“Mudah memang bicara, faktanya kamu juga tidak bisa begitu kan mas?”
Mendengar itu, aku berusaha tersenyum, kecut. Kulihat sosok cantik di sampingku masih menatap serius pada baris-baris iklan di punggung kursi tepat di depannya. Sesuatu yang terpaksa suka atau tidak harus dinikmati sepanjang perjalanan. Ide cerdas menjadikannya space promosi. Bis Semarang Solo mulai melaju meninggalkan Salatiga, gerbang perbatasan kulihat sudah mulai samar terlihat. Hari ini aku beruntung bisa menikmati perjalanan dengan sosok yang tidak biasa. Bagiku ia bidadari.
…
“Mas mau pulang Solo nggak? Bareng yuk !”
Duh, pucuk dicinta ulam tiba. Begitulah kira-kira ungkapannya. Apa artinya, coba saja tanya sama guru Bahasa Indonesia. Meski nggak lagi pengin ke Solo pun, pasti aku akan dengan sigap menjawab, oke ! Apalagi, siang ini, memang aku lagi pengin ke Solo. Dapat pesen bapak untuk menjenguk nenekku.
Namanya Sisca, sejak masa orientasi, gadis dengan rambut cat pirang itu memang banyak diperbincangkan. Mahasiswa baru jurusan Bahasa Inggris itu memang beda. Dalam banyak hal, ia istimewa. Cuma ada satu hal kata mereka, pasukan yang suka bicara banyak tentang cinta dan gadis-gadis istimewa di kampus, tetapi faktanya jomblo, sikapnya dingin. Senyumnya adalah keajaiban.
Kali ini, aku melihat keajaiban itu. Ia menghampiriku, menegur dan mengajakku bersamanya. Tidak perlu berpikir lama bagiku untuk mengiyakannya. Dan tidak perlu punya dorongan apa-apa aku segera dapat mengkhayalkan kisahku bersamanya. Setidaknya aku bisa memulai dari hal itu, tidak ada salahnya kan berharap?
“Eh, malah bengong, mau nggak?”
“Iya, iya, oke !” Jawabku tergagap.
“Jam dua ya, aku tunggu di Halte Kauman.”
Aku mengangguk, lantas ia berlalu, meninggalkanku yang masih mematung di ujung lapangan kampus. Bingung meyakini fakta yang tidak biasa ini. Sebab aku memang benar-benar sedang tidak bermimpi.
..
“Sejak kapan sih mas suka menulis?”
“Tahu dari mana kamu Sis?”
“Aku langganan majalahnya mas. Lagian, mas tidak pakai nama samaran di situ seperti penulis lain.”
Aku tersenyum. Mengangguk, mengiyakan.
“Kapannya aku lupa, tetapi honor menulis pertamaku Ketika masih duduk di bangku SMA.
“Wuih keren.”
“Apanya yang keren, yang keren itu kamu. Jadi idola.” Meluncur begitu saja kalimat itu, aku juga terkejut mengatakannya.
Di antara tatapan iri para penumpang, aku menduganya begitu, kami mencoba berbincang. Tidak ada bangku tersisa Ketika kami naik. Bergelantungan di tengah kecepatan, biasanya membuatku pusing. Tetapi kali ini rasanya beda. Jika perlu malah bisa lebih lama. Meski akhirnya menjelang masuk Boyolali kami dapat tempat duduk juga. Ajaibnya, kursi yang kosong itu bersebelahan. Kadang kehendak Tuhan itu memang sulit dimengerti.
…
“Mas diam diam mengidolakan aku ya, ups ! Salah ngomong.” Sambil tersenyum ia mengatakannya.
Kalimat itu terasa menggoda. Apalagi itu keluar dari antara bibir yang selama ini banyak jadi bahan diskusi. Mereka bilang bibir Sisca itu A plus. Meski sikapnya dingin, ia tetap istimewa, begitu teman-temanku bilang. Apalagi jika ia sedang mengulum bibir tipisnya itu, ehm, sulitlah mendiskripsikannya.
Mungkin ini yang namanya tersipu. Untung tidak ada cermin, jika ada mungkin aku juga malu melihat wajahku mendengar kalimat Sisca barusan. Tetapi okelah meski aku tersipu, kalimatnya menggoda, aku berusaha tegar. Berulang-ulang meyakinkan diriku; aku berusaha sadar diri, Sisca itu rembulan, sementara aku, mungkin pungguk pun bukan. Sudahlah !
Aku heran dengan pandangan teman-teman terhadap Sisca, aku sama sekali tidak menemukan anggapan mereka itu benar. Sedikitpun. Sepanjang perjalanan, aku melihat keajaiban itu, lengkap dengan sikapnya yang hangat.
“Di mataku mas beda. Tak acuh. Dingin.”
Lah, kenapa sekarang justru Sisca yang menuduhku begitu.
“Kok kamu bisa menyimpulkan begitu?”
“Itu yang kurasakan mas, maaf kalau salah.”
Sepertinya ini bertambah rumit. Seorang Sisca merasakan sikapku? Apakah aku nggak salah dengar? Faktanya orang itu sekarang masih ada di sampingku. Seorang bidadari yang selama ini aku anggap terlalu jauh dari jangkauan. Kini mengatakan sesuatu yang sepertinya sedang membukakan pintu harapan. Tapi nggak ! Aku tidak boleh terlena, untuk apa jika semuanya ini hanya akan meninggalkan luka. Sama sepertri masa-masa sebelumnya.
…
Sisca mengenalku karena aku Ketua Senat Fakultasnya. Bukan karena yang lain, sebab aku bukan orang yang gampang bergaul. Memang sesekali waktu kami bertemu di acara-acara santai, tetapi aku tidak banyak berbincang dengannya. Aku tahu, ada begitu banyak temanku yang mencoba menarik perhatiaannnya. Setahuku, belum ada satu pun yang berhasil mengajaknya keluar makan malam. Makanya aku ini benar-benar beruntung, duduk disampingnya tanpa harus ribet membuat janji.
“Maaf kalau aku terlihat begitu. Sebab aku hanya ingin menikmati hidupku.”
“Aku sekarang juga mulai bisa melihat kok, mas tidak seperti yang kurasakan, sepertinya. Meski aku juga belum sepenuhnya yakin dengan pengalaman yang hanya satu jam ini.”
Terdengar kalimat ini menggantung. Ada bagian yang belum ia selesaikan. Aku merasa Sisca ingin aku yang menyelesaikan kalimat itu.
…
“Mas, bolehkan aku belajar menulis kapan-kapan.”
Kalimat itu menjadi penutup kebersamaan kami. Setelah tadi kami turun di proliman dekat rumahnya, kawasan Manahan. Berjalan menyusuri trotoar, panasnya sengatan matahari sore tidak membuat ademnya hati terusik. Langkah-langkah ini rasanya sangat singkat. Sekejap, Sisca sudah harus menuju arah yang berbeda.
Menjawab keinginannya aku hanya mampu mengangguk. Melambai, meski belum sepenuhnya percaya denga apa yang baru saja terjadi. Aku masih berharap, ini bukan mimpi. Namun dalam hati bersyukur, untung aku jadi penulis.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”