Ketika Kata Maaf itu terdengar Menjengkelkan dan Menyakitkan

Melihat kesalahan yang terselesaikan lewat maaf

Permohonan maaf, kesannya menjadi sangat murah. Melakukan pelanggaran, kesalahan bahkan pidana, selesai dengan kata maaf dengan dibubuhi materai 10.000. Kasusnya banyak, apa yang tampak dan viral hanya sebagian kecil dari realitas yang ada. Kelirukah fenomena ini?

Advertisement

Maaf, kata yang sarat makna. Mudah diucapkan, sulit untuk dilakukan. Seandainya pun mudah, kadang dibarengi dengan tekanan, ancaman dan konsekuensi yang lain. Bahkan, kata ini pula yang membuat banyak orang belakangan ini meradang. Marah. Meski dibalik itu semua, ada sesuatu yang sangat mulia. Siapa tidak meyakini bahwa memaafkan adalah tindakan mulia. Saya yakin, semua mengakui hal tersebut.

Sebagian masyarakat kecewa ketika Lesti Kejora memaafkan suaminya. Pengemudi Fortuner marah-marah dan merusak mobil Brio menggunakan pedang, akhirnya juga meminta maaf dan dimaafkan. Bahkan yang terbaru, sekelompok warga yang menodai perayaan nyepi di Bali dengan membuka portal, juga meminta maaf. Sangat mudah, enteng orang bilang. Tetapi sungguh, permintaan maaf dan pemberian maaf mereka bikin gemes.

Sebagai penganut ajaran kristiani, saya mencoba mencari tahu tentang apa dan bagaimana kata maaf ini harus dilakukan. Tentu darikacamata awam saya. Bukan telaah teologis.

Advertisement

Umat Kristen meyakini, bahwa manusia adalah umat yang mendapat pengampunan. Bukan karena sesuatu yang telah diperbuat kepada Tuhan. Tetapi karena Tuhan Allah mengasihi manusia. Ini artinya, manusia sudah dimaafkan dulu oleh Tuhan Allah. Biasanya dipahami,  manusia telah ditebus dari dosa.

Memaafkan sesama, berdasarkan hal tersebut semestinya tidak menjadi masalah. Orang yang sudah diberi pengampunan dan mampu memaknai pengampunan itu, semestinya mudah juga untuk mengampuni.  Ini bukan soal timbal balik, karena tidak dilakukan untuk membalas kebaikan Tuhan yang telah mengampuni. Melainkan ungkapan syukur, tahu diri bahwa sudah diampuni terlebih dahulu.

Advertisement

Dalam Injil dinyatakan bahwa mengampuni itu perbuatan tanpa batas. Meski sebagian dari kita sering mengatakan bahwa, kesabaran itu ada batasnya. Karena kesabaran memiliki korelasi langsung dengan kebisaan kita mengampuni atau memaafkan orang lain atas kesalahan yang telah diperbuat. Tetapi tidak demikian dengan pengajaran dalam kekristenan.

Lukas 17:3-4 mengatakan

Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.

Tidak cukup hanya dengan  ayat di atas saja. Ayat berikut juga mengatakan hal yang senada

Matius 18:21-22

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."

Bukan pada hitung-hitungannya yang saya yakin, ratusan kali itu, tetapi pada esensinya tentang memberi maaf atau memaafkan. Karena ternyata bukan hanya orang yang meminta maaf yang dituntut untuk melakukan dengan ketulusan hati. Ternyata memaafkan dituntut lebih dari itu. Karena perlu ketulusan dan kesungguhan hati dengan segala yang menyertai kata itu, sebab pemberi maaf dituntut untuk melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi, hingga tak terbatas. Menyakitkan bukan?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis lepas bisa ditemui di : juliusdeliawan@gmail.com