Sastrawan Indonesia, Danarto pernah menulis dalam hubungannya dengan proses menulis cerpen. “Dan segalanya ternyata suatu proses. Jagad kecil, tubuh kita berproses terus, menembus ruang dan waktu. Mentransformasikan dirinya menjadi apa saja. Itulah sebabnya bila kita bercermin makin lama makin nampak betapa tak adanya identitas kita. Di atas proses ide inilah muncul kebebasan sejauh kita tak tahu mengarungi ke mana. Membebaskan ide adalah dasar kerja bagi penulisan cerpen. Ia hanya lahir dari pengertian kebebasan itu. Itulah sebabnya sebuah cerpen bisa sangat abstrak”.
Hidup persisnya seperti yang ditegaskan Danarto adalah suatu proses. Darwin jauh-jauh hari menerbitkan teori proses evolusi atau Karl Marx menguar-uarkan revolusi tanpa kelas dalam lingkup hidup sosial. Singkatnya hidup tak akan dapat dipisahkan dari proses. Proses membawa kita masuk kepada hidup seperti kita dibawa renang ke asinnya lautan, merasakan tegar rimba garam dibiru pekat airnya untuk membuktikan bahwa itulah lautan bukan kolam susu. Sebab hanya melalui proses kita mengenal dan mengetahui kualitas kehidupan.
Kehidupan yang berproses ini, mengamini Danarto, bak menulis cerpen, merangkai cerita tentang pengalaman di singkatnya kehidupan. Terkadang cerpen itu begitu abstrak terkadang berisi uraian kisah nyata yang dibahasakan dengan indah. Lebih jauh kehidupan itu seperti cerpen itu sendiri. Ada saatnya hidup menjadi sangat pendek dan ringkas oleh sang waktu jika kita tiba-tiba tersadar di tengah keasyikkan menikmatinya berhadapan dengan kenyataan banyak orang mati muda, dianiaya dan lainnya. Begitulah, cerpen itu kehidupan. Kita menulis cerita perjalanan dengan tinta perjuangan tuk mengejar sebuah kesuksesan dengan goresan-goresan emas kepada sebuah cita-cita atau impian.
Namun entah kehidupan itu menjadi begitu abstrak atau nyata, hidup selalu meletakkan kita pada aneka pilihan dan tindakan. Di sana tersaji kebebasan dan batasan-batasan serta berbagai godaan yang senantiasa siap menjatuhkan kita cepat atau lambat. Justru pada tingkatan inilah kita berproses diantaranya membuat keputusan-keputusan penting terhadap pilihan hidup yang dihadapkan pada kita. Keputusan yang adalah tindakan pribadi di antara sekian banyak masukan, kritik, interupsi bahkan ancaman yang turut menentukan arah hidup kita baik secara pribadi atau dalam komunitas kehidupan. Sebab meski kita lahir sebagai individu kita tidak terlepas dari komunitas kehidupan (keluarga, agama, pendidikan, sosial) yang dewasa ini menyumbang pengaruh besar terhadap perkembangan jati diri dan identitas kemanusiaan kita.
Tentang keterlibatan kita dalam komunitas kehidupan, Aristoteles merumuskan suatu kriteria untuk menjadi anggota penuh dari satu komunitas yakni diantaranya kemampuan memilih dan bertindak tetapi juga adanya kebebasan. Memilih dan bertindak bagi Aristoteles dibedakan dari kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang dewasa dan tuan dengan yang dimiliki oleh anak-anak dan hamba. Melampaui Aristoteles kita diajak agar memiliki kedewasaan dalam menentukan pilihan dan tindakan kita. Dengan kedewasaan itu kita diharapkan mampu untuk menjadi hamba yang siap melayani bahkan berlaku seperti “anak-anak”. Kedewasaan yang dituntut lebih transendental yakni mengarah kepada pelepasan total atas prestise-prestise pribadi. Kedewasaan yang diharapkan untuk dicapai adalah yang mengarahkan kebebasan kita pada komitmen pribadi yang radikal untuk melayani orang lain.
Pilihan untuk melayani orang lain membutuhkan komitmen yang tidak kecil. Seorang sahabat dari masa lalu pernah mengatakan “There is a big difference between having many choices and making choice. Making a choice-declaring what is essential to you-creates a framework for a life that eliminates many choices but gives meaning to what remains”. Maka yang menjadi tuntutan adalah bagaimana memilih dan menghidupkan komitmen atas pilihan itu. Di sinilah kita perlu mengadakan suatu pembatasan diri (set limits) terhadap kebebasan kita. Kita mengambil dan meletakkan pilihan kita pada suatu prioritas hidup (life priority) yang pada akhirnya menghantar kita untuk mencapai pembentukan jati diri.
Benar bahwa dalam menunaikan komitmen akan pilihan, kita dihadapkan dengan godaan-godaan. Leon Agusta tokoh Sastrawan Indonesia mengatakan, “Pada mulanya adalah godaan, pada gilirannya tantangan. Godaan adalah sesuatu yang samar, sangat samar hanya sesekali ia muncul ke permukaan kesadaran. Begitu juga tantangan yang muncul sesudahnya”. Godaan adalah sesuatu yang sudah pasti bagi kita sebagai makhluk yang serba terbatas tetapi, haruskah kita tunduk dan terhanyut? Kita telah dianugerahi martabat yang begitu tinggi dari segala makhluk ciptaan Allah. Perlunya orang lain, percaya diri, berkomitmen, penyesuaian diri dan sejenisnya membantu kita membentuk diri, menantang godaan guna meraih apa yang kita cita-citakan.
Akhirnya adalah sebuah proses. Kita berkutat dalam proses itu. Apabila kita sungguh berkomitmen, kita bisa berteriak seperti Chairil Anwar “Aku mau hidup seribu tahun lagi!” atau seperti Sanusi Pane “kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita!” Pada akhirnya seperti kata Danarto, “Ada kunci untuk bisa hanyut dalam proses itu. Dan kunci dari padanya adalah sembahyang. Karena sembahyang menjejak hanyut di dalam kesemestaan yang tak bertepi, jagad kecil ini hanyut di dalam jagad yang sebenarnya. Menulis cerpen semacam menghanyutkan diri, makin tenggelam makin bagus, makin masuk makin bagus, makin lenyap makin bagus, makin entah makin bagus.
Akhirnya proses adalah ketika kita memasukkan tangan kita ke dalam bak mandi terasa nyes, basah oleh air. Proses adalah ketika kita berdiri di deras hujan dan tak hujan, separuh tubuh kita basah separuh masih kering. Proses adalah ketika kita….” dan seterusnya. Sudahkah anda berproses atau hanya berpose?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”