Ketika engkau belum menyelesaikan studi dan cita-citamu, jangan terburu-buru untuk menikah
Ini sebuah tulisan nyata tentang seseorang yang masih ingin menggapai cita-cita tetapi terbuai dengan virus bucin. Bahkan Bully-an karena jomlo, ada juga yang terpaksa menikah karena desakan orangtua. Tetapi perjalanan menikah tidak seperti dalam film Cinderella yang berakhir dengan happy ending dan bahagia selamanya.
Aku memang berencana menikah di usia 22 tahun, karena bagiku usiaku udah cukup matang untuk mengurus diri, anak atau rumah tangga. Tetapi, jodoh yang hadir bukan yang aku harapkan. Ia masih kuliah dan katanya, kalau sudah menikah tambah semangat menyelesaikan tugas akhirnya (Skripsi) daripada lama menjomlo.
Awal perjalanan menikah sungguh indah, namun aku mengalami masa transisi setelah menikah seperti perubahan biologisku. Saat itu aku tidak tahu kalau hamil, makanya aku sering marah, mood swing, tidak tenanglah hidupku. Apalagi tinggal seatap dengan mertua, ipar, keponakan dan setiap tetangga berdempetan saling berbisik.
Aku tahu suamiku kuliah sekaligus bekerja di salah satu sekolah namun masih belum diangkat menjadi PNS. Ia seringkali pulang larut malam, tapi begitu kutanya kuliahnya berjalan lancar. Aku tidak mengerti kenapa kuliah sampai larut malam. Aku menunggu setiap malam sampai ketiduran.
Aku benar-benar hamil, fokus pikirannya dia mulai terpecah tentangku yang mengalami keluhan macam-macam. Juga tugasnya sebagai pengajar. Sampai anakku lahir, ia belum menemukan judul yang tepat untuk tugas akhirnya. Aku pikir mungkin karena ia kecapekan, karena ikut begadang tiap malam.
Kadang aku merasa bersalah, ketika tiap orang meneror tentang status kuliah suamiku yang belum kelar. Kadang aku sediri merasa kurang memberikan dukungan, sehingga ia malah abai sama studinya.
Time so fast berjalan hampir tiga tahun, ia mulai menggeluti hobinya sebagai fotografer, aku tidak melarang. Malah aku mendukung untuk membeli perlengkapan fotografi seperti stabilizer, box untuk foto produk, tripod dan ponselnya pun sudah upgrade kamera yang mupuni untuk mengambil gambar.
Aku pun sibuk dengan bisnis baruku, berjualan makanan. Ia pun tidak segan-segan membantu mengirim pesanan. Kadang ikut membantu membuat produk masakanku. Hari berganti, di mana kita sudah mulai mandiri. Namun, aku juga diberi tanggung jawab baru yaitu merawat orangtua asuh yang sedang sakit keras. Akhirnya kami LDR, selama hubungan jarak jauh kupikir dia akan menyelesaikan skripsinya. Tetapi, nihil. Bahkan di aplikasi ponselnya malah ada salah satu penghalang untuk menyelesaikan skripsi yaitu game.
Awalnya aku tidak melarang, aku pikir bisa menjadi sebuah hal yang membuatnya lupa tentang kebosanan. Tetapi satu-persatu aktivitasnya terhenti. Ia sudah tidak lagi mengambil fotogenik, setiap saat hanya fokus sama permainan itu. Apalagi soal skripsi, bahkan teman-teman seangkatan kuliah pada kecanduan bermain game.
Anakku sudah mulai mandiri, aku sudah berusaha stimulasi perkembangan motorik dan psikologisnya. Malah sebentar lagi akan ada adiknya lagi, ya aku hamil lagi. Di sela-sela kehamilan aku juga fokus merawat orangtua asuhku. Bisnisku berhenti, aktivitas menulisku jarang kulakukan. Terlebih menjalani LDR. Jadi aku benar-benar menjadi ibu rumah tangga.
Sudah hampir 3 tahun, namun skripsi tidak kunjung sempro. Kadang di tengah perbincanganku dengan orangtua dia. Aku bingung cara membalas kebaikannya, sudah membayari, memfasilitasi, dan memberikan apa saja yang dibutuhkan. Tetapi, nyatanya ia mulai abai tentang dirinya dan masa depannya. Ia malah lebih sering tenggelam dalam dunia permainan itu. Sampai lupa waktu mandi, makan, ibadah bahkan tidur pun selalu lewat tengah malam.
Masa depan dia kini berantakan, istri mana yang tidak sedih melihat tingkah suaminya lupa akan tugasnya. Memberi nafkah keluarga dan menyelesaikan pekerjaan/ tanggung jawabnya.
Setiap aku tanya soal skripsi, dia marah. Marahnya, dengan mendiamkanku saja. Padahal aku peduli, aku berusaha untuk mendukung cita-citanya, kariernya namun ia merasa aku sebagai pengganggu. Ia merasa terusik, ia bilang buntu pikirannya kalau sering aku komentari.
Aku kan hanya bertanya soal progresnya, apakah salah? Kalau aku boleh jujur, aku juga ingin kuliah dari dulu. Tapi sayang kendala keuangan membuatku surut. Aku relakan cita-citaku, demi menjadi seorang ibu, Aku bahkan rela tidak tidur untuk mencari pemasukkan tambahan. Seperti menulis, membuat konten, ikut lomba-lomba menulis. Dia memang mendukung sepenuhnya, tetapi aku tidak diizinkan untuk membantunya.
Kata terakhir yang membuatku sedih, yaitu ia merasa terganggu kalau aku tanya soal skripsinya. Ia pun hanya membeku, seakan aku tidak berbicara apa pun. Ini masa kehamilan tua yang harus aku hadapi, sebentar lagi aku akan menjalani persalinan dan itu butuh banyak pengeluaran lagi. Aku memang menabung, tetapi setelah melahirkan aku akan lebih fokus mengurusi anak. Apakah ia mau menyelesaikan skripsinya? Atau lebih mementingkan permainan game itu? Bahkan ponselnya kini dikunci, ia bilang ia tidak suka ponselnya diotak-atik.
Jangan menikah sebelum selesai tugas-tugasmu, karena manusia diberi kapasitas terbatas sesuai kemampuannya. Kalau enggak ingat dengan visi-misinya, lantas bagaimana bisa menyelesaikan studinya sambil mengerjakan peran ganda, sebagai suami dan ayah.
Menikah ketika sudah siap dan selesai tugas-tugasmu, jangan membebani pasangan dan orangtua lagi tentang tugas yang harusnya sudah selesai.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”