Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin megucapkan duka sedalam-dalamnya untuk seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang mengalami kecelakaan pada Sabtu, 9 Januari 2021. Baru saja memuai tahun 2021 dan dalam keadaan pandemi global, sudah ada kejadian luar biasa seperti ini. 2021 tidak ada bedanya dengan 2020. Apakah Tuhan tidak mendengar doa kita?
Mengenai kekuatan doa, saya pikir, dinding bandara mendengar lebih banyak doa yang tulus dibandingkan dinding rumah ibadah. Saya adalah orang yang bisa dibilang tidak terlalu taat beribadah dan cenderung lalai dalam menjalankan perintah Tuhan. Paling tidak, saya hanya kedapatan salat Jumat satu kali dalam seminggu, sedangkan sisanya masih dalam keadaan bolong-bolong. Bahkan, sebuah jokes saya di tongkrongan adalah, “Saya itu hanya salat tiga waktu. Jumatan, Idul Fitri, dan Idul Adha”. Tentu bukan tindakan yang patut ditiru ya.
Dua tahun yang lalu, saya bekerja di salah satu kantor konsultan lingkungan hidup yang mengharuskan saya bolak-balik Kalimantan Timur dan Jakarta kira-kira satu atau dua bulan sekali. Pekerjaan saya di Kalimantan memang singkat, paling tidak hanya tiga atau empat hari, kemudian kembali ke Jakarta. Namun perjalanan yang mengharuskan saya naik pesawat tersebut memberikan saya sebuah pelajaran hidup yang berharga.
Sebejat-bejatnya saya, percaya atau tidak, saya selalu salat terlebih dahulu sebelum pesawat lepas landas, meskipun tingkatan salat saya belum sekusyuk para ulama yang saya hormati. Saya pun selalu menunggu sampai detik-detik terakhir sebelum memasuki pintu pesawat untuk menelepon orang-orang terdekat saya bahwa saya akan lepas landas.
Mengapa? Karena saya berpikiran bahwa bisa saja pesawat yang saya tumpangi tersebut adalah perjalanan saya yang terakhir di dunia ini. Dari sebuah film dokumenter National Geographic yang berjudul Air Crash Investigation yang kerap kali saya saksikan, secara statistik, angka probabilitas kecelakaan karena pesawat adalah 1 dari 9,2 juta yang sangat jauh dibandingkan kecelakaan menggunakan mobil yang berada di angka 1 dari 8.000. Namun kecelakaan pesawat biasanya jauh lebih berimbas pada hidup kita dibandingkan kecelakaan mobil. Setiap kali ada kecelakaan pesawat, media selalu memberitakannya besar-besaran dibandingkan kecelakaan mobil meskipun kecelakaan tersebut menewaskan puluhan atau ratusan orang.
Setelah beberapa kali melakukan perjalanan dengan pesawat, saya sadar kenapa di bandara perpisahan antar dua orang kekasih begitu khusyuknya seperti yang digambarkan Rangga dan Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Selain jarak dan biaya yang nanti memisahkan, bisa saja perpisahan tersebut benar-benar perpisahan yang terakhir. Saya sering melihat orang tua dan anak maupun pasangan muda-mudi saling berpelukan dan menangis mengantar orang yang mereka kasihi di Bandara Soekarno Hatta, terutama pada penerbangan internasional.
Saya sendiri adalah kategori penumpang pesawat yang selalu menghabiskan waktu dua atau tiga jam di ruang tunggu bandara agar tidak ketinggalan pesawat. Waktu tersebut biasa saya habiskan dengan berselancar internet di depan laptop sembari membereskan berbagai pekerjaan yang ada. Anehnya, ketika memasuki waktu salat, saya dengan sigap akan mencari mushala terdekat dan mengambil air wudhu dan berusaha untuk shalat dengan khusyuk seolah-olah itu adalah shalat terakhir saya karena saya begitu membayangkan ngerinya sebuah kecelakaan pesawat. Dinding-dinding bandara ini pasti mendengar doa-doa yang tulus dari hamba Tuhan dibandingkan dinding rumah ibadah. Tempat manusia lebih dekat dengan pecipta-Nya dibandingkan di rumah ibadah. Saya jamin.
Dinding-dinding bandara ini kelak akan menjadi saksi di Akhirat nanti ketika seorang Hamba Tuhan begitu takutnya bahwa perjalanan pesawat ini adalah perjalanannya yang terakhir sehingga begitu khusyuk berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan dibandingkan dinding rumah ibadah yang mana kebanyakan para Hamba Tuhan ini hanya melakukan ibadah rutin untuk menggugurkan kewajibannya. Bahkan dinding stasiun kereta api dan dinding pelabuhan laut saja tidak mendengar doa sekusyuk dinding badara. Saya sendiri beberapa kali melewatkan kewajiban saya kepada Tuhan jika melakukan perjalanan dengan kereta.
Sifat asli seseorang akan terlihat ketika dia mengalami kejadian yang mengancam nyawanya. Saya ingat dalam perjalanan pesawat yang saya alami, pesawat saya mengalami turbulensi dan bergoncang dengan dahsyat, saya melihat berbagai penumpang sibuk menyebut nama Tuhan sesuai kepercayaannya dibandingkan pengunjung rumah ibadah. Banyak diantara mereka yang saling berpelukan sambil menangis. Barangkali memang benar bahwa dinding bandara dan dinding pesawat yang mendengar doa yang paling tulus dibandingkan dinding rumah ibadah.
Namun, di balik semua itu, pesawat udara adalah kendaraan yang paling aman dibandingkan transportasi lainnya karena secara statistik, angka kecelakaan adalah 1 berbanding 9,2 juta. Standar pelayanan pesawat sangatlah ketat. Mulai dari rekrutmen pilot dan pramugari, rekrutmen mekanik pesawat, perawatan pesawat, dan berbagai serba-serbi lainnya dari dunia penerbangan yang sering saya saksikan melalui dokumenter Air Crash Investigation National Geographi. Standarnya sangat tinggi dibandingkan moda transporasi lainnya sehingga kita tidak perlu takut.
Sebagai penutup, sekali lagi, saya ucapkan duka yang mendalam bagi keluarga korban Sriwijaya Air SJ-182. Mudah-mudahan Tuhan memberikan kekuatan bagi mereka dan kita semua dalam menghadapi ini semua. Semoga Tuhan mengganti kehilangan mereka dengan sesuatu yang jauh lebih bernilai.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”