[CERPEN] Ketika Azan Subuh

Doni terkesiap dalam dosa-dosanya yang membiru, kepada Ibunya. ia termangu melihat perempuan yang melahirkannya terbaring tanpa nyawa.

Onggokan sampah plastik, bangkai kucing dengan perut gelembung, lalar-lalar berwarna hijau, hitam hingga biru berdansa di atasnya. Belatung bergeliat gemulai di dalam tubuh tikus yang sudah terkoyak karena sayatan waktu menghiasi nada-nada pada riak air yang mengalir di Kalikeruh. Aroma tengik, busuk bangkai bersatu-padu dengan asap nanakan nasi sisa kemarin, siulan teko yang merdu dengan semburan asap bergeming ketika azan subuh mulai bergemuruH.

Advertisement

Bu Welli menengadah dengan kedua tangan diangkat menatap muka di antara cahaya lampu yang tertempel di atas plafon rumah, sesekali mengeluarkan dengkuran rayap. Bangunan reyot, berdinding triplek dengan ukuran delapan kali empat di bagi menjadi dua ruangan. Tak lupa menyematkan kumpulan doa untuk kesuksesan anak-anaknya.Ia melakukannya sebelum muazin melengkingkan suaranya di toak musala.

"Le tangi, wis azan subuh, salat sek" 

"Wis ben ta Bu" tukas Lili. "Ayuk kita salat disek."

Kehidupan warga kampung Koneng yang  berada di bantaran Kalikeruh. Di mana mereka menjadikan Kalikeruh sebagai sarana untuk mandi, mencuci hingga buang air besar atau kecil. Beruntungnya keluarga Bu Welli memiliki seorang anak perempuan yang bekerja di salah satu pasar swalayan ternama di tengah kota. Lalu dengan upahnya yang  lumayan bisa membangun jamban di samping rumah serta membeli air bersih untuk keperluan mencuci, mandi dan buang air besar atau kecil. Tidak hanya itu ia pun menjadi tulang punggung keluarga setelah suami Bu Welli meninggal dunia tiga tahun yang lalu.

Advertisement

"Mangan opo koe" sergah Lili dengan sangat gusar. "Iku nasi uduk untuk Ibu, koe mangan sego sing neng buri ngono loh"



"Walah sego opo? sego sisaan wingi to, raenak," Doni memasukan suapan nasi terakhir ke mulutnya

"Jancuk koe, ramikir blas. Cah lanang ratau kerjo. Isone nyusakno keluarga ae"



"Ono opo to? kalian kui tukaran ae jek isu," tukas Bu Welli yang menghambur ke dalam rumah

Advertisement

"Lho Ibu habis dari mana? dari tadi aku cariin," sambat Lili. "Iku lho Bu sego aku tuku arep Ibu sarapan disambar Doni," seraya menatap lekat ke wajah Doni dengan mengernyitkan dahi

"Tadi Ibu habis antar Rani ke Sekolah. Anake wis siap budal Ibue raono. Yawis rapopo, Ibu mangan sego sing neng buri ae" melaju menuju dapur. "Kalian mangkat kerjo jam piro?"



"Krom-pyang" pecahan piring terdengar keras Doni dan Lili lekas menuju dapur. Melihat Ibu mereka terkapar dengan wajah pucat pasih dan tak sadarkan diri. Doni dan Lili mengangkat tubuh Ibu mereka untuk dibaringkan di ruang depan. Mereka menepakkan tangan ke pipi Bu Welli; namun Bu Welli belum juga sadarkan diri. Segala upaya mereka lakukan dari memberi minyak angin sampai menangis dengan pekikan yang mengelegar. Bu Welli tak jua membuka matanya. Lili berlari keluar memanggil ojek pangkalan. Lalu membawa Bu Welli ke puskesmas terdekat dengan bonceng tiga. Setelah mereka pergi Doni masih memikirkan keadaan Ibunya, ia jadi teringat pesan Ibunya yang sedari ia kecil untuk selalu menjaga salat lima waktu.

Ketika Ayahnya meninggal ia sangat menyesali karena tidak ikut menyolatkan lantaran asyik berjaga parkir di ruko seberang Kalikeruh. Azan dzuhur berkumandang kali ini Doni tak ingin melewatkannya, mengingat Ibunya masih di puskesmas dan belum ada kabar. Ia tak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

Ia pun meninggalkan lapak parkir yang dijaganya lalu bergegas pergi ke musala untuk melaksanakan salat. Setelah selasai ia pun tak lupa berdialog dengan Tuhan: agar tidak terjadi hal yang buruk dan sesegera mungkin Bu Welli balik ke rumah dengan keadaan sehat walafiat.

******

Sementara itu Lili tidak masuk kerja demi mengantarkan Ibunya ke puskesmas. Sesampainya di puskesmas. Mendapat rujukan untuk segera diperiksa di rumah sakit, untungnya jarak puskesmas dan rumah sakit tidak terlalu jauh. Bu Welli pun sadarkan diri setibanya di rumah sakit dengan tangan diinfus dan tubuh terkapar di atas ranjang yang serba berwarna putih. Saat Bu Welli membuka matanya Lili tidak ada disampingnya ia pun menanyakan kepada perawat yang berjaga. "Siapa yang membawa saya ke sini dan saya sakit apa?"

"Seorang perempuan Bu sama seorang laki-laki"

Pikir Bu Welli laki-laki itu adalah Doni dan yang Perempuannya adalah Lili.

"Penyakit yang Ibu derita lagi diperiksa sama dokter. Nanti hasilnya segera kami kasih tahu," lanjut perawat.

Setengah jam kemudian Lili  bersama anak kecil berumur lima tahun berhambur ke ruang rawat.

"Salim sama Nenek," lirih Lili

"Eyang kenapa?" ucap Rani

"Nggak papa kok,"

"Itu kok ada selang masuk ke tangang eyang,"

"Rani berdoa aja ya sama ALLAH. Supaya selang di tangan eyang bisa dilepas terus eyang bisa pulang bareng kita hari ini," pungkas Lili.

Rani pun mengangkat tangan lalu berdoa dengan gaya dan bahasa yang lucu serta menggemaskan. Tak lama selesai berdoa Rani pules dipangkuan Ibunya. Jika teringat Ayahnya Rani. Lili sangatlah murkah karena ia lebih memilih janda kaya yang menyukainya, lalu meninggalkan Rani saat masih berusia dua tahun.

Bersamaan dengan Rani yang terlelap Bu Welli membisikan sesuatu ke Lili. 

Lili terisak dalam gumam tidak bisa berkata-kata dan menahan airmata saat mendengar kata yang terucap dari mulut Bu Welli.

****

Bakda magrib mereka sampai di rumah. Melihat Doni terlelap dalam duduknya di dipan teras rumah. Mungkin ia menunggu kedatangan Ibunya. Lalu Bu Welli membangunkannya. Menyuruhnya melaksanakan salat magrib. Tidak seperti biasanya ia langsung terbangun lalu melaksanakan salat magrib. Sehabis melaksanakan salat isya lalu makan malam keluarga kecil itu memutuskan untuk segera memicingkan mata karena sudah lelah dengan hiruk-pikuk hari ini.



****

Seperti biasanya Bu Welli bangun pukul empat pagi sebelum azan subuh untuk melaksanakan salat tahajud dua rakaat. Tiba di sujud terakhir Bu Welli tidak mengangkat kepalanya kembali.

Azan subuh berkumandang, berselang lima menit Lili terbangun, saat membuka matanya ia melihat Bu Welli sedang dalam keadaan sujud pikirnya: Ibunya telah melaksanakan salat subuh duluan

Tapi ada yang menjanggal di hati Lili tidak seperti biasanya: Bu Welli tidak membangunkannya. Dalam keadaan berbaring Lili langsung tertegun mengingat pesan Ibunya di rumah sakit. Lili pun memperhatikan Ibunya yang sedang sujud menilik dengan lekat selama tiga menit.

Dengan rasa penasaran Lili menghampiri Ibunya yang hanya berjarak sepuluh jengkal dari ia berdiri. Lalu menepakkan tangannya di pundak belakang Ibunya. Bu Welli pun tidak merespon. Detik berikutnya Lili memeluk tubuh Ibunya yang sudah tidak bernyawa.

"Bu..Bu..Bu. Bangun Bu," sergah Lili dengan terisak.

Isakan Lili membuat gaduh sehingga Doni terbangun.

"Kenapa Mbak? Ibu Kenapa?" sergah Doni

"Ibu udah nggak ada"

Doni terkesiap dalam dosa-dosanya yang membiru, kepada Ibunya. Ia termangu melihat perempuan yang melahirkannya terbaring tanpa nyawa. Membayangkan hari-harinya tanpa cuitan di pagi, sore, siang hingga malam saat mengingatkan dirinya agar melaksanakan salat.

"Ibu terkena kanker hati stadium akhir itu yang disampaikan Ibu. Lalu Ibu meminta kepada Mbak untuk membawa pulang tidak mau dirawat, sebab Ibu tidak mau merepotkan Mbak, setelah berdialog panjang dengan dokter akhirnya Ibu diizinkan pulang dengan syarat harus berobat jalan. Di dalam perjalanan pulang Ibu berpesan: Jika ia sudah tiada Ibu pengin kamu yang menjadi imam salat jenazahnya. Terus alasan kedua Ibu memilih pulang ke rumah agar ia bisa menunggu azan subuh seraya bertahajud lalu membangunkanmu salat subuh agar kamu tidak kesiangan atau meninggalkan salat subuh." Lirih Lili dengan isakan yang semakin melengking.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku adalah mimpi yang patah. Raut wajahku tersimpan di dalam doa