Kamu terlalu naif, ucap sahabatku dengan mengerutkan dahi. Ya, selama ini aku dianggap seorang yang polos, baik hati, dan suka membantu teman.
Semenjak duduk di bangku kuliah, aku hampir selalu mengerjakan sendiri tugas kelompok. Selain karena aku suka belajar, aku juga senang membantu orang yang sedang kesusahan. Teman-temanku selalu memiliki banyak alasan ketika dalam proses pengerjaan tugas. Aku yang sungguh muak menunggu kabar sebelum deadline pengumpulan. Akhirnya mau tidak mau berinisiatif mengerjakannya. Aku juga dikenal perfeksionis sebab hampir tidak pernah merasa cocok dengan hasil pekerjaan orang lain.
Bahkan beberapa kali, aku membantu mengerjakan tugas teman tanpa diminta secara langsung. Dengan mengerjakannya, ada kebahagiaan tersendiri. Hal ini juga ku lakukan sebagai upaya proteksi agar teman-temanku selalu senang berada di sisiku. Sebab, di masa sekolah, aku tidak memiliki teman yang cukup dekat.
Masa Menjadi Orang Baik ‘Bodoh’ yang Tidak Kusadari
Segala hal bisa ku lakukan, mulai dari mengerjakan tugas hingga memberikan wejangan terkait persoalan pacaran khas anak muda. Padahal aku sendiri tidak memiliki pengalaman yang baik mengenai urusan cinta. Namun entah mengapa teman-temanku begitu mempercayaiku untuk sekadar mendengarkan keluh kesah hingga diminta memberi saran.
Pasalnya aku dianggap sebagai sosok yang kuat dan pendengar yang baik. Nyatanya, setelah mendengarkan kisah yang kebanyakan duka dari mereka, aku menjadi lemah tak berdaya. Seketika itu aku menjadi cemas dan stress memikirkan persoalan yang dihadapi temanku. Aku berusaha memberikan saran yang tidak menyakiti hatinya. Namun dengan konsekuensi aku harus kehilangan energi berlebihan karena ikut menempatkan diri pada posisi temanku yang sedang ditimpa masalah.
‘Capek’ adalah satu kata yang cocok menggambarkan diriku saat itu. Aku bahkan rela begadang hanya untuk mendengarkan curhatan tentang perkelahian seorang teman dengan kekasihnya, mengerjakan tugas kelompok, hingga membantu mereka secara fisik. Yang ada di pikiranku saat itu ialah tak mengapa aku lelah asalkan semua temanku gembira.
Sadar Bahwa yang Katanya Teman Ternyata Lawan
Semua itu berubah tatkala aku sedang terpuruk dan berada di titik terendah dalam hidupku. Aku benar-benar hancur tak berdaya karena sebuah masalah besar. Alih-alih mendapatkan bantuan atau setidaknya dukungan dari teman-teman yang dulunya aku bantu. Mereka justru satu persatu menghilang ditelan bumi dengan dalih memiliki urusan masing-masing.
Hanya ada beberapa orang yang datang sekadar menyapa atau bahkan sebatas kepo dengan keadaanku saat ini. Sementara teman-teman yang dulu tidak aku hiraukan, justru datang membantu dan berada di dekatku ketika aku terjatuh. Seketika itu pula aku tersadar bahwa banyak serigala berbulu domba disekelilingku. Aku jadi tahu bahwa setiap orang hanya datang memelas bantuan untuk dirinya sendiri, tetapi enggan berbalas budi.
Marah? Jelas aku marah saat itu. Mengapa air susu yang ku berikan malah dibalas air tuba? Namun semakin lama aku mengetahui bahwa siapa-siapa saja teman disekitarku yang benar-benar teman sejati. Bahkan mereka menjelek-jelekkan, mengumbar aib, dan menyebar fitnah tentang diriku. Apakah aku benci? Tentu saja. Aku bisa memaafkan mereka, tetapi tidak bisa melupakannya.
Kali ini aku enggan mengulangi kesalahan yang sama untuk menjadi ‘kelinci manis’ atau biasa disebut People Pleaser. Tak mengapa orang menganggapku telah berubah, karena alasanku berubah juga karena perlakuan mereka. Mereka yang hanya datang untuk memanfaatkanku.
Daripada aku rugi waktu, tenaga, dan pikiran hanya untuk menyenangkan orang lain. Saat ini seluruh energi yang ku punya aku alihkan untuk kegiatan yang menguntungkan diriku sendiri. Bolehlah sesekali membantu sesama, tetapi tidak mau berlebihan. Dan aku memutuskan untuk lebih baik dicap ‘tidak baik’ daripada aku lelah tak berdaya. Aku telah belajar untuk tidak selalu mengiyakan permintaan orang lain. Bagaimana denganmu, kawan? Apakah juga masih berjibaku sebagai People Pleaser?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”