Inilah Keresahanku tentang Isi Amplop Kondangan yang Selalu Jadi Bahan Omongan Orang

keresahan isi amplop kondangan

Saya tidak tahu pasti dari mana dan siapa yang membuat peraturan tidak tertulis (setidaknya peraturan di kampung saya) bahwa jika si A datang ke sebuah pernikahan sebut saja pernikahan si B dan memberikan amplop berisi sejumlah uang (misanya Rp. 100.000), maka si B itu secara tidak langsung berutang kepada si A sejumlah uang tersebut dan wajib mengembalikannya ketika si A melangsungkan pernikahan. Simplenya, si A berharap nantinya si B juga memberikan amplop berisi uang Rp. 100.000  ketika si A menikah nanti.

Advertisement

Setahu saya, utang itu terjadi jika kedua belah pihak sudah melakukan kesepakatan seperti jumlah uang yang dipinjam dan jatuh tempo atau batas waktu pengembalian uang. Tapi melihat kondisi diatas sepertinya tidak memenuhi syarat bahwa si B telah berutang, karena tidak ada kesepakatan sebelumnya dan hanya berpegang pada peraturan tidak tertulis tersebut. Si A hanya berharap uangnya akan dikembalikan nanti ketika ia menikah (yang entah kapan).

Pernah terjadi peristiwa diatas tepatnya di kampung tempat saya tinggal. Sebut saja teman saya itu si Upin dan Ipin. Dua tahun sebelumnya, si Upin menikah dan si Ipin memberikan kado yang cukup mahal yaitu berupa sprei yang bahannya premium. Dua tahun kemudian, si Ipin menikah dan si Upin diketahui hanya memberikan kado berupa dua buah gelas yang harganya tidak lebih dari Rp. 20.000. Si Ipin mencak-mencak bercerita ke saya bahwa ia sangat rugi dulu memberikan sprei mahal ke si Upin tapi balasan yang ia dapat hanya dua buah gelas murahan. Si Ipin berharap si Upin bisa memberikannya kado yang lebih mahal atau setidaknya setara dengan harga spreinya.

Saya cukup menyayangkan sikap si Ipin yang berharap balasan atas pemberiannya. Padahal menurut saya, jika kita ingin memberi sesuatu kepada orang lain baik itu berupa uang atau hadiah maka ikhlaslah dan jangan mengharapkan balasan jika kesepakatannya bukan utang piutang.

Advertisement

Satu lagi cerita dari teman saya juga, sepasang suami istri. Seminggu lagi teman si istri (sebut saja si C) akan melangsungkan pernikahan tetapi saat itu kondisi ekonomi pasangan suami istri itu sedang krisis. Sehingga membuat si istri kelimpungan dan kebingungan akan memberikan apa kepada si C yang akan menikah itu. Karena saat pasangan suami istri itu menikah, si C memberikan uang yang jumlahnya Rp. 50.000. Istrinya meminta suaminya untuk mencarikan uang Rp. 50.000 untuk pernikahan si C, karena si istri merasa tidak enak jika tidak memberikan apa-apa. Tetapi si suami tidak bisa menyanggupinya karena keadaan ekonomi yang sedang buruk tersebut.

Sampai H-1 pernikahan si C, mereka hanya punya uang Rp. 20.000  yang akhirnya terpaksa diberikan kepada si C didalam sebuah amplop yang tidak diberi nama pemberinya. Kenapa tidak ditulis nama pemberinya? Tentu saja karena si istri malu karena hanya bisa memberikan Rp. 20.000 saja ke si C yang dulu memberinya Rp. 50.000.

Advertisement

Kadang saya merasa miris dengan adanya peraturan tidak tertulis tersebut. Karena di satu sisi akan memberatkan pihak yang ‘merasa berutang’. Pada cerita si Upin dan Ipin, bisa jadi si Upin saat itu memang hanya bisa membelikan kado tersebut karena kondisi keuangannya sedang tidak stabil, belum gajian, bonusnya belum cair dan sebagainya. Dan pasangan suami istri yang hanya bisa memberikan uang Rp. 20.000 itu, tanpa kita tahu bisa saja itu uang terakhir mereka yang seharusnya dipergunakan untuk makan. Namun akhirnya mereka tidak bisa makan karena uangnya harus diberikan kepada si C.

Hidup di tengah masyarakat Indonesia yang bisa dibilang perhitungan (saya tidak tahu harus menyebutnya dengan kata apa), ternyata masih saja ada yang membudayakan kebiasaan tersebut. Orang akan berpikir bahwa “saya pasti akan mendapatkan imbalan jika saya memberi sesuatu ke orang”. Padahal, berharap kepada manusia itu seringkali menimbulkan kekecewaan jika tidak sesuai dengan ekspektasi kita pada akhirnya. Sulit sekali menanamkan ilmu ikhlas kepada orang-orang yang berpikiran seperti itu.

Apa yang kita berikan kepada orang lain, itu adalah rezeki mereka dari Tuhan melalui kita sebagai perantara. Masalah balasan atau imbalan yang akan kita dapatkan tentu Tuhan sudah menghitungnya dengan rinci dan akan memberikannya pada waktu yang tepat dan tidak harus dengan jumlah yang sama.

Jujur, saya adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan peraturan tidak tertulis ini. Kalau memang tidak ikhlas dan mengharapkan imbalan yang sama ketika memberi uang atau kado untuk kondangan, lebih baik tidak usah datang sekalian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Masih berusaha untuk menulis ditengah kesibukan mengurus anak

Editor

une femme libre