Maaf, sebenarnya aku tidak pernah mencintai kamu. Dari awal, aku hanya kasihan melihatmu terbaring lemah di rumah sakit.
Aku menghabiskan dua setengah tahun dengan sia-sia. Laki-laki yang ku kira mencintaiku, rupanya adalah pengkhianat. Laki-laki yang sangat ku banggakan, ternyata adalah pengecut. Kalimat di atas cuma disampaikan tertulis, dikirim lewat Whats'App. Kamu bilang hanya kasihan, tapi masih berani-beraninya mengutip bahwa orang tuamu tak suka karena aku seorang pengidap Lupus. Masih juga sempat beralasan bahwa strata sosialmu ada di bawahku. Bah, pembual besar!
Waktu berlalu, aku masih juga belum berdamai dengan peristiwa itu. Aku masih menyimpan kekecewaan, saat menyadari bahwa selama ini kata-kata manismu hanya bualan. Kepedulianmu terhadap sakitku cuma kepura-puraan. Tak bisa ku pungkiri, aku tidak dapat melupakan pesanmu. Ku akui, aku marah, aku dendam. Kepahitan itu terus menghuni hatiku, membatu di pikiranku, mengakar di jiwaku. Rasanya tidak ada hal yang lebih membuatku puas selain melihatmu celaka dan hancur.
Bersiap Berbenah
Aku mengerti, aku harus berbenah. Aku harus berdamai. Masa lalu sudah terlewatkan, tak ada guna terus-menerus dirutuki. Butuh proses lama untuk mengikhlaskan kesalahanmu. Ku coba bermacam cara, tapi tak bisa. Malangnya aku. Ku pikir waktu akan berpihak padaku dan membantuku meninggalkan luka lama itu. Tapi kenangan pahit itu hanya terpendam, ditumpuk dengan ragam peristiwa anyar. Kepahitan itu masih ada dan belum sembuh. Aku mengabaikan itu. Meski aku tahu betul, kalau lukaku tak segera diurus, aku tak akan pernah mengalami kisah asmara yang lebih baik.
Akhirnya ku bawa hatiku yang berdarah-darah itu kepada Tuhan. Sambil menangis tersedu-sedu ku sampaikan pada-Nya semua uneg-uneg hatiku. Segera setelah aku berucap 'Amin' aku lega. Tak ada lagi kemarahan yang menyelimuti tiap teringat padamu. Kini dapat ku sebut namamu dengan enteng, padahal dulu aku tak mau menyebutkannya.
Beberapa sahabat memotivasiku dengan kalimat: "Jangan menunggu jodoh yang pantas. Tapi jadilah jodoh yang pantas." Tepat sekali nasihat itu. Aku bersyukur karena Tuhan telah menunjukkan kesetiaanNya padaku. Dengan cara-Nya, aku diperdamaikan. Aku diajak untuk bangkit. Aku dibimbing untuk menjadi lebih baik. Berubah tidak mudah, butuh waktu, butuh usaha, butuh pengorbanan, juga butuh dukungan.
Tuhan, silakan pimpin 'proyek' ku dalam rangka memantaskan diri, menjadi versi terbaik diriku seperti yang Kau kehendaki.
Menjadi Perempuan dengan Jiwa Merdeka
Menghalau galau akan kedatangan pangeran pujaan hati adalah sebuah konsekuensi. Aku memilih untuk mempercayai takdir dan kehendak Tuhan. Kalau aku mendandani jiwaku dan memantaskan diriku, aku melakukannya demi diriku sendiri, sebagai ungkapan syukurku pada-Nya.
Menghempaskan ketakutan akan kesepian, termasuk dalam list to do dalam rangka memantaskan diri. Dulu saat bersamamu, aku merasa aman tenteram. Aku merasa diriku utuh. Tapi itu semu. Kini aku mengerti bahwa hanya bersama Tuhan, ketakutan akan sepi itu surut. Tuhan tak biarkan hidupku kosong dan diisi hal-hal fana. Dia menawarkan isi hidup yang lebih menarik. Bahkan rasa utuh sebagai perempuan ku dapat dari pada-Nya.
Mensyukuri hari-hari yang berlalu kini ku kenakan sebagai gaya hidup. Prinsip cukup, prinsip puas dengan pemberian Tuhan ku terapkan. Orang yang tidak puas dengan dirinya sendiri, pasti tak kan bisa dipuaskan dengan keberadaan pasangannya kelak. Orang yang tidak puas, akan selalu menuntut. Orang yang tidak percaya pada dirinya sendiri, jelas tak bakal bisa meletakkan kepercayaan pada orang lain, bahkan juga pasangannya. Orang seperti ini akan memasang kecurigaan setiap waktu. Aku tak ingin jadi orang yang seperti itu.
Dulu ketika aku bersamamu, aku terus mengeluh, mengasingkan diri dan mengasihani diri sendiri. Pantulan cermin di kamarku terus berkata bahwa aku perempuan lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Penyakit Lupus yang ada padaku, ku jadikan tameng demi mendapat dispensasi, demi mengamankan diriku dari zona bahaya. Kamu ku hormati sebagai hero yang tulus menerimaku.
Kini ku sadari bahwa semua itu tidak benar. Bagaimana bisa kamu (atau pasanganku kelak) menerima kelemahanku, kalau aku sendiri menampiknya? Dari Tuhan-lah aku mendapatkan rasa kepuasan dan kepercayaan diri yang utuh. Sebab Tuhan adalah pihak pertama yang meletakkan kepercayaan padaku. Kini cerminku sudah dibersihkan, dan pantulannya jernih. Aku melihat diriku yang lebih baik, benar-benar lebih baik. Seperti metamorfosa dari ulat menjadi kupu-kupu.
Menjadi Perempuan yang Cantik Terawat
Definisi cantik selalu berbeda di tiap tempat dan zaman. Tapi arti cantik yang diamini semua bangsa adalah cantik dari dalam alias inner beauty. Hati yang berdandan tak pernah mengalami pengerutan dan penuaan dini, jiwa yang bersolek itu abadi. Tapi cantik yang ku maksud di sini adalah cantik secara fisik. Dulu penampilanku seadanya: rambut kusut masai, wajah kusam berminyak, kulit kering kerontang. Iya dulu saat bersamamu aku tak peduli dengan penampilan fisik, karena aku terlalu yakin kamu mencintaiku.
Tuhan tidak hanya menjamah hatiku untuk diperbaharui. Tuhan juga memintaku untuk memperhatikan penampilan. Bukan supaya aku menghabiskan waktu di salon kecantikan dan membelanjakan uang untuk menebus make up dan fashion terkini. Maksud Tuhan adalah, supaya aku menghormati tubuhku sendiri dan memperlakukannya dengan baik.
Apalagi aku punya Lupus. Ah lagi-lagi dulunya aku menuduh Lupus adalah biang jeleknya tampilan fisikku. Tapi sekarang aku melihat Lupus dari sudut pandang berbeda. Aku pribadi sudah menerima Lupus dan segala konsekuensinya. Pasanganku yang dari Tuhan pasti juga akan seratus persen tulus menerimanya. Tapi aku realistis, Lupusku manja, kerap berulah dan merepotkan. Lupus dapat saja memaksaku tak bisa mengandung dan melahirkan anak. Inilah yang harus disadari olehku dan pasanganku kelak.
Urusan punya anak toh masih nanti. Aku punya kesempatan untuk memperbaiki kesehatanku. Mimpiku adalah remisi obat sebelum menikah. Artinya, aku punya harapan agar dosis obatku bisa dikurangi bahkan dinihilkan. Tubuhku pun ku rawat agar sehat. Sebab sehat bukan hanya membuatku senang, tetapi dampaknya akan ku rasakan nanti ketika sudah menikah. Ku upayakan mengikuti terapi ini itu, tak lain agar kelak kandunganku siap dihuni calon buah hati, juga supaya aku siap menjelma jadi mama rempong.
Aku berdandan ayu untuk diriku sendiri, untuk pasanganku kelak. Aku memperbaiki tubuhku agar aku siap menjadi calon ibu. Ku pastikan Lupusku tidak rewel ketika aku dipercaya menjadi ratu di rumah suamiku kelak.
​Menjadi Perempuan yang Mandiri Bekerja
Aku terlalu percaya bahwa aku tak bisa bekerja walau pun aku seorang sarjana. Kamu pun menanggapi santai dan tak mempermasalahkan statusku yang menganggur. Waktu itu juga kamu memaklumi kalau aku ini ringkih. Lagi-lagi Lupus yang jadi alasan bagiku untuk mengurung diri di rumah.
Untungnya Tuhan tidak menyerah padaku. Tuhan menanamkan hasrat untuk bekerja. Terutama demi membahagiakan ibuku yang sudah susah payah membiayai kuliahku. Maka kesana kemari menyebar CV dan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan kian giat ku lakoni. Sambil menjajal jualan produk tas rajut secara online, kalau perlu juga ku datangi rumah calon pembeli jika memungkinkan. Tak cuma itu, aku dibukakan jalan untuk mulai menulis artikel di sebuah situs berita. Perlahan-lahan ku petik hasilnya. Aku suka mengerjakan tugasku, dan aku dapat penghasilan dari situ.
Setahun kemudian, pintu rejeki dibukakan lagi untukku. Aku menjajal ikut seleksi penerimaan calon pegawai negeri. Berbulan-bulan aku belajar demi bisa mengerjakan soal ujian. Sementara menahan diri tak jajan agar laba jualan tas dan honor menulis dapat ku pakai membeli tiket ke ibu kota, lokasi tesku. Terbayar sudah semua rintangan yang ku hadapi demi pekerjaan tetap, akhirnya aku lolos seleksi. Aku jadi pegawai kantoran.
Tuhan tak hanya menolongku mapan secara finansial. Aku bisa menabung, untuk keperluanku sendiri, dan untuk masa depan bersama pasanganku kelak. Terlebih lagi, Tuhan membuka mata dan melihat ke dalam diriku sendiri: aku bukan perempuan menyedihkan.
Menjadi Perempuan yang Bahagia
Sekarang, bahagiaku tidak ditentukan oleh ada tidaknya pasangan. Dunia terlalu sempit kalau hanya untuk memikirkan pasangan. Sejak ku pasrahkan diriku pada Tuhan, hidupku jauh lebih baik. Cukup dua setengah tahun saja aku makan hati gara-gara kamu. Makan hati tak pernah kenyang, tetapi sekarang aku kenyang dengan limpahan rahmat.
Ku nantikan waktu-Nya untuk berjumpa dengan tekun. Tanpa keresahan akan usia yang terus bertambah, tanpa iri hati dengan orang lain yang sudah berpasangan. Pasangan tidak mungkin terlambat, karena aku tak mengadakan perjanjian dengan pasanganku tentang kapan waktu untuk ketemu. Namun yang pasti aku perempuan apa adanya, bukan lagi perempuan seadanya.
Hari ini aku punya pacar. Aku disayangi dan aku pun menyayangi. Sensasinya jauh berbeda dengan jatuh cinta kanak-kanak yang terdahulu. Tuhan lagi-lagi memberi kejutan, dia yang datang, ternyata sangat bertolak belakang dengan kriteria yang ku idamkan. Tuhan tidak memenuhi keinginanku, tapi Tuhan memenuhi kebutuhanku akan pasangan. Aku tahu jalan masih panjang. Dengan rendah hati ku buka hatiku terhadap segala kemungkinan di masa depan.
Tuhan, kalau dia laki-laki yang Kau ciptakan untukku dan aku perempuan yang Kau jadikan untuknya, maka tunjukanlah tandanya. Seperti saat Kau membiarkan mantanku pergi sebagai isyarat agar aku memantaskan diri demi menyambut ketetapan-Mu yang lebih baik.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.